Seringkali kita mendengar istilah trauma dengan pemahaman yang kurang tepat di masyarakat. Beberapa orang salah mengira bahwa kesulitan atau kesusahan biasa dalam kehidupan sebagai trauma. Kesalahpahaman umum lainnya adalah trauma tidak bisa disembuhkan dan ini menghancurkan hidup selamanya. Ada juga yang beranggapan bahwa trauma hanya mempengaruhi individu yang lemah. Kekeliruan dalam memandang konsep trauma perlu untuk diluruskan agar kita dapat memahami trauma secara menyeluruh dan bisa melakukan perawatan yang tepat untuk bisa pulih dari trauma.
Istilah trauma telah digunakan dalam dunia medis sejak akhir abad ke-17. Trauma diartikan sebagai cedera fisik yang ditimbulkan dari sumber eksternal, yang biasanya timbul dari senjata atau kecelakaan yang mengakibatkan kejutan (shock) yang luas atau kerusakan pada seluruh sistem tubuh. Dalam konteks ini, dokter dan ahli bedah melakukan pengobatan terhadap trauma melalui pembedahan untuk memperbaiki luka fisik.
Pada pertengahan hingga akhir abad ke-19 konsep trauma diperluas menjadi tidak hanya mengacu pada cedera fisik, tetapi juga pada dampak psikologis dan emosional. Leys (2000) menjelaskan bahwa trauma adalah “luka pikiran” yang disebabkan oleh peristiwa yang mengejutkan secara emosional dan terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga. Substance Abuse and Mental Health Services Administration (SAMHSA) Amerika Serikat menjelaskan bahwa trauma muncul dari peristiwa, rangkaian peristiwa, atau rangkaian keadaan yang berbahaya secara fisik maupun emosional atau mengancam jiwa dan itu memiliki efek samping yang bertahan lama pada fungsi dan kesejahteraan mental, fisik, sosial, emosional, atau spiritual individu.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) 5 menjelaskan bahwa trauma bisa disebabkan oleh peristiwa yang memberikan ancaman ekstrim, baik secara fisik, maupun psikologis. Contohnya, bencana alam, kebakaran, peperangan, kecelakaan, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual masa kanak-kanak, pemerkosaan, perundungan, kematian secara mendadak dari orang yang dicintai, dan sebagainya.
Peristiwa yang menyebabkan pengalaman traumatik bisa terjadi satu kali atau berulang kali. Ini meliputi pengalaman yang dialami secara langsung, menyaksikan secara langsung peristiwa yang terjadi pada orang lain, mengetahui bahwa peristiwa traumatik terjadi pada anggota keluarga dekat atau teman dekat, atau mengalami paparan berulang atau ekstrem terhadap detail yang tidak menyenangkan dari peristiwa traumatis. Makna peristiwa traumatik ditentukan oleh pemahaman dan kognitif individu, serta reaksi emosional individu terhadap peristiwa tersebut. Pengalaman tertentu bisa menjadi hal yang traumatik bagi individu, namun bisa jadi tidak traumatik bagi orang lain.
Secara umum, pengalaman traumatik terjadi saat ada kekuatan atau kekuasaan lain yang melebihi kekuatan/kekuasaan yang dimiliki individu. Oleh karena itu, respons umum yang muncul saat individu mengalami trauma adalah merasa takut atau ngeri yang intens, tidak berdaya, rasa malu, marah, sedih, merasa bersalah, atau merasa dikhianati. Pada kasus trauma karena kekerasan fisik atau seksual, individu atau korban merasa malu, jijik atau kotor dengan dirinya sendiri, dan mengarah pada self-blaming atau menyalahkan diri sendiri. Pada kasus kekerasan terhadap anak dan kekerasan dalam rumah tangga yang disertai dengan ancaman, korban trauma menjadi bungkam dan takut untuk mencari bantuan.
Bidang ilmu saraf (neuroscience) menjelaskan tentang dampak trauma pada perkembangan dan fungsi otak. Individu dengan trauma mengalami peningkatan respons kortisol dan norepinefrin terhadap stres, perubahan pada aktivitas hipokampus yang mempengaruhi memori dan pembelajaran, dan terjadi stimulasi berlebihan pada amigdala sehingga mengakibatkan kewaspadaan yang berlebihan terhadap ancaman.
Trauma juga memberikan efek jangka panjang terhadap kehidupan individu. Penderita trauma jangka panjang dapat mengalami gangguan emosional, seperti kecemasan ekstrim, kesedihan dan depresi, kemarahan, dan rasa bersalah yang berkepanjangan; disosiasi (kilas balik, dimana individu merasa atau bertindak seolah-olah trauma peristiwa itu berulang); ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan (anhedonia) dan emosi positif (kepuasan atau cinta). Selain itu, mereka juga mengalami ketidakmampuan dalam menghadapi stress dan ketegangan kehidupan sehari-hari; sulit untuk membangun kepercayaan dan relasi sosial dengan orang lain; memiliki keyakinan atau harapan negatif yang persisten dan berlebihan tentang diri sendiri, orang lain, atau dunia; mengalami sakit fisik; mengalami masalah tidur, misalnya tidur gelisah atau mengalami mimpi buruk yang terus-menerus; dan merasakan penurunan harga diri.
Bagi survivor atau penyintas yang telah berhasil menghadapi trauma, trauma memberikan dampak secara positif dalam membangun ketahanan (resiliensi), pengembangan keterampilan coping stress yang efektif, dan pengembangan rasa self-efficacy (efikasi diri). Beberapa orang mungkin mengalami pertumbuhan pasca-trauma, menjalin hubungan yang lebih kuat, mampu mendefinisikan kembali hubungan mereka dengan makna baru dan/atau tujuan spiritual, dan mendapatkan apresiasi yang lebih dalam terhadap kehidupan.
Mindfulness. Saat Anda merasa bersalah, gelisah, cemas, atau sedih di luar kendali, Anda dapat mengubah sistem gairah (arousal system) dalam tubuh Anda dan menenangkan diri. Ini dapat bermanfaat untuk meringankan kecemasan yang terkait dengan trauma dan menimbulkan kontrol diri yang lebih besar. Kegiatan mindfulness yang bisa Anda latih adalah pernapasan penuh perhatian (mindful breathing. Ambil nafas dalam dan fokuskan perhatian Anda pada setiap nafas yang keluar. Ulangi beberapa kali hingga Anda merasa rileks dan tenang. Anda bisa lihat cara mempraktikkan mindful breathing disini Video 1: Deep Breathing)
Meningkatkan fungsi sensorik juga bisa membantu Anda untuk tenang. Contohnya, melihat pemandangan indah, mencium aroma yang wangi, mengecap rasa dari makanan/minuman tertentu, membelai binatang, atau mendengarkan musik. Anda juga bisa mencoba teknik grounding, misalnya duduk di kursi. Rasakan kaki Anda berpijak di tanah dan punggung bersandar pada kursi. Lihatlah ke sekeliling dan temukan benda dengan warna tertentu, hijau atau biru misalnya. Perhatikan dengan seksama benda-benda di sekeliling Anda dan rasakan bagaimana pernapasan Anda menjadi lebih dalam dan lebih tenang. Lihat teknik grounding disini Video 4: Teknik Grounding
Perubahan gaya hidup. Menerapkan perawatan diri (self-care) dengan mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat dapat membantu meringankan gejala trauma. Misalnya, makan dan minum yang sehat, olahraga teratur, tidur yang berkualitas, menghindari rokok, alkohol dan obat-obatan, bertemu dengan orang-orang yang dicintai secara teratur.
Ambil waktu untuk diri sendiri. Pulih dari trauma membutuhkan waktu. Beri kesempatan untuk menyadari pikiran dan perasaan Anda, dan biarkan diri Anda merasakan apapun yang muncul tanpa ada penilaian, rasa bersalah atau malu. Jika Anda ingin sendiri, beritahu keluarga dan teman untuk memberi ruang dan privasi. Temukan keseimbangan yang tepat antara mendapatkan dukungan sosial dan tidak merasa kewalahan oleh orang lain.
Mencari dan menerima dukungan. Hindari menolak dukungan. Jujurlah dengan diri sendiri saat Anda merasa tidak kuat atau tidak mampu. Jangan berusaha terlihat kuat atau mencoba mengatasinya sendiri, Bicaralah dengan orang yang Anda percaya, yang memiliki pengalaman serupa, yang memahami apa yang Anda alami dan bisa membantu memberikan masukan, sudut pandang baru atau bantuan psikoterapis, seperti psikolog, psikiater dan terapis. Psikoterapi dan medikasi obat dapat membantu mengatasi perasaan yang belum terselesaikan dan dampak trauma yang masih dirasakan, membangun ketahanan (resiliensi), dan mengembangkan keterampilan coping stress. Ada berbagai terapi pemulihan trauma, baik dengan pendekatan biologis, kognitif, perilaku, psikodinamika, psikologi positif, maupun pendekatan integratif (gabungan).
Berbelas kasih terhadap diri sendiri. Bersikap baik dan welas asih terhadap diri sendiri akan membantu Anda untuk berdamai dan membuat Anda berada di jalan menuju pemulihan. Anda bisa melakukan latihan praktik self-compassion seperti di artikel ini.
Menemukan makna baru. Mencari makna baru dari proses pemulihan Anda, bagaimana cara pandang Anda terhadap diri sendiri, orang lain, dan kehidupan. Mulailah memperhatikan perubahan-perubahan dalam diri Anda dan berikan apresiasi atas progres atau kemajuan sekecil apapun. Membantu orang lain, berbuat kebajikan, dan aktif terlibat dalam kegiatan yang Anda senangi atau menjadi sukarelawan (volunteer) dapat memberikan penguatan atas makna baru dari kehidupan Anda.
Pulih dari trauma mungkin akan membutuhkan waktu yang lama. Namun yakinlah, pilihan Anda untuk berjuang pulih dari trauma akan berakhir indah dan bernilai. Sebagaimana kutipan bijak dari Michelle Rosenthal,
“trauma creates change you don’t choose. Healing is about creating change you do choose”.
American Psychiatric Association. (2013). Posttraumatic Stress Disorder. In Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.).
Gold, S. N. (2017). APA handbook of trauma psychology: foundations in knowledge, Vol. 1. American Psychological Association.
Gold, S. N. (2017). APA handbook of trauma psychology: Trauma practice, Vol. 2 (pp. xi-599). American Psychological Association.
Joseph, S. (June 24, 2017). Some advice on coping following trauma, six things you can do to help yourself promote recovery after trauma. https://www.psychologytoday.com/us/blog/what-doesnt-kill-us/201706/some-advice-coping-following-trauma
Robinson, L., Smith, M., & Segal, J. (November, 2021). Emotional and Psychological Trauma. https://www.helpguide.org/articles/ptsd-trauma/coping-with-emotional-and-psychological-trauma.htm
Substance Abuse and Mental Health Services Administration. (2014). SAMHSA’s Concept of Trauma and Guidance for a Trauma-Informed Approach. HHS Publication No (SMA) 14-4884. Rockville, MD: Substance Abuse and Mental Health Services Administration.
Puput Mariyati merupakan Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang kesehatan mental dewasa dan keluarga. Isu-isu psikologi yang ia gemari adalah depresi dan stress; parenting; perkembangan anak, khususnya anak berkebutuhan khusus (special needs); serta pendekatan terapi kognitif-perilaku dan psikologi positif. Bagi pemilik motto hidup “man jadda wajada” ini, mendalami dan berperan sebagai praktisi di bidang psikologi adalah salah satu jalan baginya untuk bisa menebar manfaat pada orang lain.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3358-21-2-1