Mengapa Sebagian Besar New Year’s Resolution Gagal?

Tak terasa, tahun 2021 sudah berakhir dan kita telah masuk ke tahun 2022. Di tahun 2021 kita melalui banyak sekali rintangan. Namun, sebagian dari kita juga mendapatkan hal-hal yang membahagiakan. Di awal tahun 2021, banyak orang yang berusaha membuat daftar pencapaian yang ingin dicapai di tahun ini. Bagaimana Sahabat Harapan, apakah resolusi kalian di tahun 2021 sudah tercapai sepenuhnya? Atau justru hanya menjadi semangat di awal tanpa realisasi nyata? Atau jangan-jangan Sahabat Harapan membuat resolusi hanya karena mengikuti trend yang selalu muncul di awal tahun?

Kita cenderung mencari momentum tertentu dalam hidup ketika akan melakukan perubahan, misalnya “nanti setelah saya lulus, saya akan mulai lebih banyak membaca buku” atau “saya akan lebih rajin nanti setelah saya menikah.” atau “di tahun depan, saya akan berhenti merokok.” Fenomena ini disebut fresh-start effect. Fresh-start effect merupakan kecenderungan individu untuk mengambil tindakan dalam proses pencapaian tujuan setelah acara khusus atau tanggal penting, dalam hal ini adalah tahun baru. Banyak di antara kita menjadikan momen tahun baru sebagai momen yang tepat untuk memulai lembaran baru di dalam hidup. Membuat resolusi tahun baru menjadi sangat populer setiap tahunnya, saat inilah banyak orang membuat resolusi untuk meningkatkan perilaku baik, menyelesaikan projek yang belum terselesaikan, mencapai tujuan yang belum tercapai. 

Mengapa Kita Cenderung Gagal dalam Mencapai atau Mempertahankan Resolusi Tahun Baru Kita?

Resolusi yang telah dibuat meningkatkan motivasi, terutama pada hari atau minggu pertama tahun baru. Motivasi ini cenderung menurun, bahkan tidak jarang diabaikan seiring berjalannya waktu. Membuat resolusi tahun baru berarti menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam periode satu tahun. Resolusi tahun baru cenderung memiliki fokus yang luas dan memerlukan perubahan perilaku jangka panjang, yaitu setelah tujuan tertentu tercapai, kita perlu terus mempertahankan perilaku yang sesuai dengan tujuan itu sendiri, mempertahankan motivasi jangka panjang, menahan diri dari godaan-godaan yang akan muncul dalam proses mempertahankan tujuan, dan memperkuat diri apabila terjadi kemunduran atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Pemenuhan tujuan yang bersifat luas dan jangka panjang membutuhkan kombinasi antara subordinate goals (tujuan spesifik) dan superordinate goals (tujuan besar yang tidak spesifik). Kedua tujuan ini saling berhubungan satu sama lain, sehingga dapat melancarkan atau menghambat satu sama lain.

Superordinate goals memiliki kriteria, yaitu:

  1. Tujuan ini mendasari atau berpengaruh terhadap sense of self seseorang sehingga menjadi lebih penting dibandingkan dengan subordinate goals.

Tujuan ini dapat meningkatkan komitmen dari tujuan yang dibentuk seseorang sehingga membuat individu menjadi lebih termotivasi untuk meningkatkan perilaku untuk mencapai tujuan ini. Menghubungkan subordinate goals dengan superordinate goals dapat meningkatkan komitmen dalam mencapai tujuan tertentu sehingga keberhasilan dapat tercapai dan dipertahankan.

  1. Tujuan ini mendorong pencapaian tujuan yang bersifat jangka panjang.

Tujuan ini bersifat terbuka sehingga tidak memiliki akhir yang jelas atau tidak dicapai hanya dengan satu langkah khusus, misalnya tujuan menjalani hidup sehat. Hal ini menyebabkan kita mengalami dilema antara pencapaian tujuan dan situasi kita saat ini yang memberikan sinyal bahwa (a) tujuan belum tercapai, (b) kinerja yang kita lakukan untuk mencapai tujuan belum maksimal, dan/atau (c) terdapat kelemahan dalam proses pencapaian tujuan sehingga setelah mencapai satu langkah kecil untuk mencapai tujuan, kita tidak merasa cukup dan berusaha lebih baik lagi.

Apabila tujuan yang kita buat berfokus pada satu jenis tujuan saja, yaitu misalnya superordinate goals saja, kita mengalami kesulitan untuk mencapainya karena sifat tujuan yang tidak konkret. Apabila kita hanya berfokus pada tujuan yang bersifat spesifik dan konkret (subordinate goals), kita kehilangan motivasi dan merasa sudah cukup dalam berusaha setelah tujuan spesifik itu tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa kita perlu mengkombinasikan keduanya agar tercapai tujuan jangka panjang yang dapat memberikan perubahan dalam kehidupan kita.

Niat Tidak Selalu Diiringi Tindakan

Kecenderungan untuk membuat resolusi tahun baru yang tidak diiringi dengan aksi untuk mencapai tujuan yang telah kita tetapkan pun dapat terjadi. Banyak dari kita memiliki niat yang kuat untuk berhenti merokok, atau lebih banyak berolahraga, namun tidak melakukan apapun untuk mencapai tujuan yang telah kita tetapkan itu. Kesenjangan antara niat dan tindakan seringkali ditunjukkan dalam fenomena new year’s resolutions ini sendiri. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Niat adalah peristiwa mental yang bersifat pribadi dan tidak selalu dapat ditunjukkan dengan tindakan. Terkadang, niat bukanlah niat, melainkan keinginan terpendam dalam diri kita. Banyak faktor yang memotivasi perilaku manusia. Kita semua memiliki fantasi, namun tidak semua orang memiliki nilai dan kemampuan yang cukup kuat untuk mewujudkan fantasi tersebut.

Jebakan yang Harus Dihindari dalam Membuat Resolusi Tahun Baru

  1. Membuat Resolusi yang Membuat Kita Kewalahan

Sering kali, karena fenomena ini terjadi setahun sekali, kita membuat resolusi yang sangat tinggi sehingga membuat kita kewalahan dalam proses untuk mencapainya. Tujuan yang tidak realistis dapat merusak motivasi sehingga kita perlu membuat tujuan yang kita rasa mampu untuk kita capai. Daripada membuat satu tujuan besar, buatlah tujuan-tujuan kecil yang dapat mengarahkan kita pada tujuan besar itu untuk menghindari kehilangan motivasi karena tujuan yang terasa mustahil untuk dicapai.

  1. Tidak Mengantisipasi Rintangan

Saat kita berusaha untuk mencapai tujuan yang telah kita tetapkan, kita pasti akan menghadapi rintangan yang menghalangi proses pencapaian tujuan itu. Oleh karena itu, pada saat kita membuat resolusi, perhatikan juga kemungkinan hambatan-hambatan yang dapat terjadi dan bagaimana kita akan melalui hambatan-hambatan itu.

  1. All-or-Nothing Thinking

Salah satu kecenderungan manusiawi kita adalah berpikir all-or-nothing (semua-atau-tidak sama sekali). Kita harus mendapatkan nilai A, kalau tidak itu berarti kita gagal. Pikiran seperti ini dapat memberikan kekecewaan kepada kita dan membuat kita tidak menghargai setiap progres yang telah kita buat, sekecil apapun itu. 

  1. Menyalahkan Diri Sendiri Saat Kita Keluar Jalur

Pemikiran kritis yang tidak perlu terhadap diri sendiri sering kali kita lakukan ketika kita tidak melakukan sesuai dengan tujuan yang telah kita tetapkan. Hargai setiap perubahan kecil yang telah kita lakukan, dan maafkan diri kita sendiri apabila sedikit keluar dari jalur untuk mencapai tujuan. Sadarilah bahwa kita manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan (baca juga: https://lembarharapan.id/artikel/berbelas-kasih-kepada-diri-sendiri-untuk-hidup-yang-lebih-bahagia/).

Resolusi tahun baru tidak kita buat untuk menjadi manusia yang sempurna, namun menjadi lebih baik dari diri kita saat ini. Kita tidak harus menunggu tahun baru untuk memulai setiap langkah kecil ke arah yang lebih baik. Kita bisa memulainya hari ini, besok, atau kapanpun kita merasa siap.

References:

  • Feldman, D. B. (January 2, 2021). So You Set a New Year’s Resolution, Now What?. Psychology Today. Retrieved from https://www.psychologytoday.com/us/blog/supersurvivors/202101/so-you-set-new-year-s-resolution-now-what
  • Höchli, B., Brügger, A., & Messner, C. (2020). Making New Year’s resolutions that stick: Exploring how superordinate and subordinate goals motivate goal pursuit. Applied Psychology: Health and Well‐Being, 12(1), 30-52.
  • McManus, C. (2004). New Year’s resolutions. Bmj, 329(7480), 1413-1414.
  • Oscarsson, M., Carlbring, P., Andersson, G., & Rozental, A. (2020). A large-scale experiment on New Year’s resolutions: Approach-oriented goals are more successful than avoidance-oriented goals. PLoS One, 15(12), e0234097.
2021 © All Rights Reserved. LembarHarapan.id