Pada artikel “It’s on Us: Kita Adalah Penyebab Terbesar Korban Kekerasan Seksual Bungkam” (baca disini: https://lembarharapan.id/artikel/its-on-us-kita-adalah-penyebab-terbesar-korban-kekerasan-seksual-bungkam/), kita disadarkan bahwa kita sebagai masyarakat ternyata berperan besar dalam memberikan kontribusi negatif terhadap kesehatan mental korban pelecehan/kekerasan yang sudah mencoba “speak up” dengan pengalaman trauma mereka. Fakta bahwa kita cenderung melakukan victim blaming adalah sebuah fenomena yang memprihatinkan dan kita harus melakukan sesuatu untuk menghindari perilaku victim blaming. Oleh karena itu, penulis ingin mengajak Sahabat Harapan untuk memikirkan kembali dan mengenal lebih dekat tentang apa yang terjadi pada korban saat mereka mengalami pengalaman kekerasan/pelecehan yang traumatis.
Banyak dari kita mungkin bertanya-tanya, mengapa korban tidak bisa keluar dari hubungan yang eksploitatif dengan pelaku? Hubungan yang eksploitatif antara pelaku dan korban bisa terjadi dalam waktu yang lama sehingga ini memunculkan sebuah fenomena yang disebut trauma bonding. Dutton dan Painter (1981) mencoba menguraikan teori tentang siklus trauma bonding. Trauma bonding adalah ikatan emosional antara korban dan pelaku penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi dalam berbagai hubungan eksploitatif. Ikatan trauma dapat terjadi pada berbagai jenis hubungan eksploitatif yang mengandung kekerasan/pelecehan emosional, fisik atau interpersonal, seperti hubungan penyanderaan atau penculikan, doktrinasi kultus, kekerasan pasangan, pelecehan seksual masa kanak-kanak, dan perdagangan seks atau prostitusi.
Ikatan trauma biasanya ditandai oleh kerumitan siklus paradoks (pertentangan) antara penyalahgunaan kekuasaan, kontrol dan ketergantungan, dan perasaan cinta, kekaguman, dan rasa terima kasih pada korban untuk pelaku. Penelitian menemukan bahwa ikatan trauma telah menjebak orang-orang yang disandera/dianiaya/dilecehkan (korban) dengan penghargaan positif dari pelaku. Trauma bonding menyebabkan korban “tersandera” pada hubungan yang kasar secara fisik dan/atau emosional yang berkembang dari siklus pelecehan/kekerasan dan penguatan positif yang berulang.
Apa saja ciri atau karakteristik dari trauma bonding?
Ciri khas dari ikatan trauma adalah manipulasi yang disengaja oleh pelaku yang kemudian bergantian dengan penguatan positif. Pelaku sengaja merancang atau memanipulasi perilaku pelecehan/kekerasan yang ia lakukan kepada korban untuk membuat korban mempertanyakan realitas dirinya yang menjadi kunci utama sehingga ikatan trauma bisa terbentuk. Contoh dari manipulasi pelaku adalah memberikan penguatan positif yang berulang dengan “menghujani” korban dengan kasih sayang dan jaminan cinta, misalnya dengan komunikasi yang intens, pujian yang berlebihan, janji-janji kasih sayang, komitmen, atau hadiah. Fase ini dikenal sebagai “bom cinta” yang yang membuat ikatan trauma menjadi sulit untuk ditinggalkan. Selain itu, Reid dkk. (2013) menjelaskan bahwa ada empat ciri atau kondisi dalam ikatan trauma: 1) ancaman yang dirasakan korban bahwa kelangsungan hidup fisik dan psikologis dirinya berada di tangan pelaku, 2) kebaikan yang dirasakan dari pelaku kepada korban, 3) isolasi, dan 4) ketidakmampuan untuk melarikan diri.
Mengapa ikatan trauma lebih banyak dialami oleh perempuan daripada laki-laki?
Wanita lebih mungkin terpengaruh oleh ikatan trauma. Wanita merespons trauma dengan peningkatan kebutuhan terhadap relasi sosial untuk mendapatkan perlindungan. Kebanyakan pelaku yang menyebabkan trauma bonding adalah orang yang membuat korban merasa lega atau aman. Persepsi dan harapan tentang laki-laki sebagai sosok pelindung, pemberi rasa aman dan nyaman meningkatkan kerentanan bagi wanita untuk menjadi terikat pada pelaku, terutama dalam situasi isolasi sosial di mana pelaku adalah satu-satunya orang yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan lega pada korban.
Bagaimana trauma bonding bisa terbentuk dan berkembang?
Ikatan trauma terjadi antara 2 pihak, yaitu dominator (pelaku) dan subordinate (korban). Dutton dan Painter melihat bahwa ikatan trauma mengembangkan keterikatan emosional yang kuat yang terbentuk dari dua ciri hubungan eksploitatif: ketidakseimbangan kekuatan (power imbalance) dan perlakuan baik-buruk yang berselang-seling (intermittent):
Power imbalance
Ini merupakan hubungan yang tidak setara di mana korban menganggap dirinya telah ditundukkan atau didominasi oleh orang yang memiliki kekuasaan yang lebih kuat. Psikolog sosial menemukan bahwa hubungan kekuasaan yang tidak setara dapat menjadi semakin tidak seimbang dari waktu ke waktu, sampai pada titik di mana dinamika kekuasaan itu menghasilkan patologi pada individu. Ketidakseimbangan kekuatan yang parah mengakibatkan isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan bagi korban. Saat ketidakseimbangan kekuatan meningkat, orang yang ditaklukkan (korban) merasa lebih negatif dalam penilaian diri mereka, lebih tidak mampu memikirkan atau melindungi diri mereka sendiri, dan dengan demikian, semakin lebih membutuhkan dominator. Siklus ketergantungan yang dihasilkan oleh hubungan ini dan penurunan harga diri yang berulang akhirnya menciptakan ikatan emosional yang kuat.
Kekuasaan dominator didasarkan pada kemampuan dominator untuk mempertahankan kontrol mutlak dalam hubungan dengan orang yang ditaklukkan (korban). Penting untuk dicatat bahwa ketidakseimbangan kekuatan membesar karena adanya rasa kekuatan dan ketidakberdayaan dari kedua belah pihak yang muncul dengan sendirinya. Misalnya dalam hubungan yang kasar, kekerasan fisik dapat berfungsi untuk mempertahankan perbedaan kekuasaan dan ketika ditambah dengan pelecehan emosional, termasuk ancaman terhadap korban dan perasaan ketidakberdayaan yang dirasakan oleh korban, dapat berfungsi untuk mempertahankan homeostasis atau stabilitas hubungan.
Intermittency of Abuse
Ini mencakup sifat intermiten dari hubungan pelecehan/kekerasan. Umumnya pelecehan/kekerasan terjadi “sebentar-sebentar”. Artinya, dominator sesekali dan secara berkala menganiaya korbannya dengan ancaman, kekerasan verbal, dan/atau kekerasan fisik. Kemudian dominator akan “menetralkan” ketidakseimbangan dengan perilaku positif yang dijelaskan oleh Walker (1979) sebagai “fase penyesalan”. Fase penyesalan terdiri dari janji untuk berubah, janji untuk tidak mencaci maki atau menyakiti lagi, proklamasi cinta, dan lain-lain. Jadi, korban tunduk pada siklus atau periode bergantian dari perasaan permusuhan/kebencian dan kelegaan/kebebasan pada akhirnya menghapus perasaan permusuhan/kebencian. Situasi bergantian antara permusuhan dan kelegaan ini dalam paradigma eksperimental teori belajar dikenal sebagai intermittent reinforcement yang sangat efektif dalam menghasilkan ikatan emosional yang sangat kuat dan pola perilaku yang sulit untuk dipadamkan atau diakhiri
Apa dampak trauma bonding terhadap kognisi dan afeksi (emosi) korban?
Insiden pelecehan/kekerasan terjadi secara berulang dengan tingkat keparahan yang lebih besar cenderung menyebabkan kognisi (otak) sulit berpikir untuk melakukan sesuatu untuk mencegah atau menghadapinya. Saat korban mulai menyadari bahwa pelecehan tak terhindarkan, ikatan emosional yang dihasilkan secara traumatis telah berlangsung cukup kuat sehingga sulit untuk keluar dari ikatan tersebut.
Patrick J. Carnes, ahli di bidang trauma yang merupakan founder dari the International Institute for Trauma and Addiction Professionals (IITAP) menjelaskan tentang efek trauma pada otak. Ketika orang sangat ketakutan, trauma menciptakan perubahan biologis pada otak. Brain stem yang mengatur mode fight/flight saat terjadi krisis tidak mampu berfungsi penuh. Lobus temporal yang mengatur emosi dan menerima masukan dari indera menjadi tidak mampu menghubungkan sirkuit otak ketika terjadi trauma. Sirkuit otak di dalam lobus temporal terganggu sehingga mengakibatkan masalah emosional dan kognitif. Ketika stimulasi trauma masuk ke otak, otak dibanjiri oleh neurokimia. Ketika sumber ketakutan hilang, neurokimia pergi sehingga orang tersebut mengalami craving atau “ngidam”. Ini yang pada akhirnya membuat mereka bisa menjadi terikat pada trauma. Orang menjadi reaktif, mudah beralih dari rangsangan ke tindakan tanpa berpikir.
Kebanyakan pelaku yang menyebabkan trauma bonding adalah orang yang diharapkan oleh korban bisa memberikan rasa lega atau aman. Otak korban menempel pada pengalaman positif atau kenyamanan/kelegaan yang diberikan oleh pelaku daripada dampak negatif dari pelaku sehingga mematikan bagian otak yang berfungsi untuk bisa berpikir jangka panjang saat sedang krisis. Ini menciptakan perasaan bahwa korban membutuhkan pelaku untuk bertahan hidup. Misalnya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, Walker (1979) menggambarkan pola siklus kekerasan sebagai pola hukuman-penghapusan hukuman yang terjadi secara bergantian. Awalnya dimulai dengan ketegangan yang meningkat secara bertahap (fase satu), kemudian terjadi ledakan dalam bentuk insiden pemukulan (fase dua) dan berlanjut dengan jeda yang tenang dan penuh kasih sayang (fase tiga). Bagi pelaku, terkadang muncul dampak emosional dari insiden pemukulan berupa rasa bersalah dan penyesalan yang menuntunnya untuk mencoba menebus kesalahan melalui perlakuan yang sangat penuh kasih terhadap pasangannya. Perlakuan yang penuh kasih ini pada akhirnya memenuhi harapan/fantasi korban bahwa pelaku bisa berubah sehingga korban memaafkan pelaku. Hal ini memberikan penguatan baik bagi korban untuk tetap berada di hubungan yang kasar/melecehkan.
Secara psikologis, ikatan trauma sulit berhenti karena pelaku menggunakan berbagai taktik untuk mengkondisikan korban dengan paksaan, manipulasi, dan penekanan otonomi sehingga menyebabkan korban berubah menjadi ketergantungan terhadap pelaku. Korban menjadi tidak mampu untuk mengidentifikasi diri bahwa ia mengalami keterikatan yang kuat dengan pelaku. Selain itu, korban merasa takut akan mengalami kekerasan lebih lanjut yang lebih parah dari pelaku ketika ia mencoba mengungkap kejahatan pelaku atau saat korban kerjasama dengan pihak berwenang. Korban juga mengalami kebingungan tentang keterlibatan mereka sendiri dalam kejahatan yang dilakukan terhadap mereka dan merasa cemas mengenai kepercayaan pada penegak hukum. Belum lagi stigma dan persepsi sosial dari lingkungan yang cenderung melakukan victim blaming yang membuat korban merasa takut untuk mengungkap atau membuka diri dari ikatan trauma yang mereka alami.
Kesimpulan.
Trauma bonding yang dialami korban pelecehan/kekerasan dapat bergulir dalam waktu yang lama sehingga korban mengalami kesulitan untuk keluar dari siklus tersebut dan menjadi terikat dengan pelaku. Kita tidak tahu seberapa keras korban melakukan upaya perlawanan kepada pelaku dan seberapa besar usaha mereka untuk menyembuhkan diri dari pengalaman traumatis yang mereka alami. Tentu tidak ada seorang pun yang menghendaki untuk terlibat dalam hubungan eksploitatif yang menyebabkan trauma bonding hadir dalam kehidupannya. Sebagaimana kita yang hanya menjadi “penonton” dari kisah penuh luka yang dialami korban. Luka yang dialami korban tidak hanya raga, tetapi juga jiwa. Mari kita berempati pada korban tanpa menunggu kita sendiri yang mengalami kisah yang serupa, karena mereka juga sama berharganya seperti diri kita.
Referensi
Casassa, K., Knight, L., & Mengo, C. (2021). Trauma bonding perspectives from service providers and survivors of sex trafficking: a scoping review. Trauma, Violence, & Abuse, 1524838020985542.
Clayton, I. (September 16, 2021). What Is Trauma-Bonding? A Personal Perspective: Why you keep choosing unavailable or abusive partners. https://www.psychologytoday.com/us/blog/emotional-sobriety/202109/what-is-trauma-bonding
Contreras, P. M., Kallivayalil, D., & Herman, J. L. (2017). Psychotherapy in the aftermath of human trafficking: Working through the consequences of psychological coercion. Women and Therapy, 40(1–2), 31–54. https://doi.org/10.1080/02703149. 2016.1205908
Dutton, D. G., & Painter, S. (1993). Emotional attachments in abusive relationships: A test of traumatic bonding theory. Violence and victims, 8(2), 105-120.
Hopper, E. K. (2017). Polyvictimization and developmental trauma adaptations in sex trafficked youth. Journal of Child and 14 TRAUMA, VIOLENCE, & ABUSE XX(X) Adolescent Trauma, 10(2), 161–173. https://doi.org/10.1007/ s40653-016-0114-z
Raghavan, C., & Doychak, K. (2015). Trauma-coerced bonding and victims of sex trafficking: Where do we go from here? International Journal of Emergency Mental Health, 17(2), 583–587.
Reid, J. A., & Jones, S. (2011). Exploited vulnerability: Legal and psychological perspectives on child sex trafficking victims. Victims and Offenders, 6(2), 207-231.
Reid, J. A., Haskell, R. A., Dillahunt-Aspillaga, C., & Thor, J. A. (2013). Contemporary review of empirical and clinical studies of trauma bonding in violent or exploitative relationships. International Journal of Psychology Research, 8(1), 37–73
Strentz, T. (1979, April). Law enforcement policy and ego defenses of the hostage. FBI Law Enforcement Bulletin, 2, 2-12
Taylor, S. E., Klein, L. C., Lewis, B. P., Gruenewald, T. L., Gurung, R. A. R., & Updegraff, J. A. (2000). Biobehavioral responses to stress in females: Tend-and-befriend, not fight-or-flight. Psychological Review, 107(3), 411–429. https://doi.org/10.1037/0033- 295X.107.3.411
Puput Mariyati merupakan Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang kesehatan mental dewasa dan keluarga. Isu-isu psikologi yang ia gemari adalah depresi dan stress; parenting; perkembangan anak, khususnya anak berkebutuhan khusus (special needs); serta pendekatan terapi kognitif-perilaku dan psikologi positif. Bagi pemilik motto hidup “man jadda wajada” ini, mendalami dan berperan sebagai praktisi di bidang psikologi adalah salah satu jalan baginya untuk bisa menebar manfaat pada orang lain.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3358-21-2-1