Kata trauma sepertinya sudah tidak asing lagi bagi sebagian orang, namun apakah sebenarnya definisi dari kata trauma? Apakah trauma sama dengan Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stres pasca trauma?
Bila melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2024), trauma didefinisikan sebagai keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani. Kemudian di KBBI juga disebutkan bahwa trauma merupakan luka pada tubuh dan fisik. Definisi trauma ini akan berbeda dengan posttraumatic stress disorder (PTSD). PTSD adalah gangguan stres pasca mengalami atau menyaksikan kejadian traumatis seperti bencana alam, perang, kejadian kekerasan, kecelakaan, kematian orang disekitar, dan peristiwa lain yang menimbulkan emosi tidak nyaman. Mengalami sedih, cemas, ataupun stres setelah mengalami kejadian traumatis adalah wajar bagi individu. Namun apabila berlangsung hingga lebih dari 1 bulan, maka kondisi tersebut dapat digolongkan sebagai PTSD.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder V (DSM V) yang dipublikasikan oleh American Psychiatric Association (2013), gejala yang khas dari PTSD adalah mengalami ingatan dan mimpi buruk tentang kejadian traumatis. Ingatan ini terasa sangat nyata dan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Yang kedua adalah menghindari stimulus yang mengingatkan akan kejadian traumatis. Hal ini bisa disadari ataupun tidak disadari oleh individu. Sebagai contoh, individu mengekspresikan perilaku menghindar untuk berobat ke rumah sakit dan lebih memilih untuk berobat tradisional karena rumah sakit dan dokter mengingatkan akan kematian orang tercintanya. Gejala berikutnya adalah individu dengan PTSD biasanya kehilangan minat untuk melakukan kegiatan yang menyenangkan dan cenderung memiliki pikiran negatif yang berkepanjangan. Gejala terakhir menurut DSM V adalah kesigapan yang berlebihan dan sulit merasa rileks. Misalnya, stimulus yang merupakan hal biasa bagi sebagian besar orang, seperti suara musik yang volumenya sedikit lebih keras atau aroma alkohol menjadi stimulus yang sangat mengganggu bagi individu dengan PTSD karena membuatnya terkejut atau membeku dan tidak dapat berkata-kata.
Bila melihat perbandingan penjelasan mengenai trauma dan PTSD, maka keduanya merupakan hal yang berbeda. Trauma adalah luka atau cedera baik fisik dan psikis yang dialami oleh individu, sementara PTSD adalah kondisi psikologis yang khas yang dialami individu setelah kejadian traumatis. Individu yang mengalami pengalaman traumatis bisa saja mengalami berbagai macam masalah kesehatan mental, salah satunya adalah PTSD.
Mari beranjak ke istilah trauma antargenerasi, atau juga dikenal sebagai intergenerational trauma. Trauma antargenerasi merupakan proses di mana keluarga yang masih memiliki trauma yang belum terselesaikan, menurunkan trauma tersebut kepada generasi berikutnya, yakni anak-anak mereka melalui pola hubungan keterikatan, yang memunculkan dampak trauma tanpa mengalami langsung peristiwa traumatis tersebut (Hesse & Main, 2000).
Trauma antargenerasi mencakup trauma individual dan trauma kolektif yang memengaruhi beberapa generasi. Proses kolektif dan sistemik yang terkait dengan aspek sejarah, politik, sosial, dan budaya, seperti eksploitasi, penindasan dan proses penjajahan, juga memainkan peran penting dalam trauma antargenerasi. Keluarga yang terpapar dampak trauma antargenerasi dapat mengalami kesulitan untuk mengenali diri sendiri sebagai sosok yang terpisah dari orang lain (self-differentiation), stres traumatis, serta gangguan emosi dan psikososial selama tiga generasi setelah peristiwa traumatis (Giladi & Bell, 2013; O’Neill, Fraser, Kitchenham, & McDonald, 2016). Dampak dari trauma antargenerasi tertanam dalam ingatan kolektif dan budaya yang diteruskan dengan cara yang sama dengan budaya itu sendiri. Trauma antargenerasi diteruskan melalui (Kellerman, 2001): 1) emosi tidak disadari yang terbawa ke dalam relasi interpersonal; 2) normal sosial yang diwariskan melalui pembelajaran sosial; 3) hubungan dengan batasan yang tidak jelas dan komunikasi nonverbal yang ambigu dan; 4) terganggunya keseimbangan neurokimia yang memengaruhi perkembangan otak, reaksi hormonal, dan cara individu berinteraksi dengan lingkungannya. Maka dari itu trauma antargenerasi bersifat unik karena prosesnya bersifat relasional, bukan hanya peristiwa tunggal (Salberg, 2015). Dengan kata lain, proses trauma antargenerasi dapat diwariskan kepada anak, cucu, dan generasi penerus selanjutnya, khususnya jika tidak mendapat penanganan yang tepat. Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua dampak peristiwa traumatis akan otomatis diturunkan, karena terdapat faktor lain seperti lingkungan dan dukungan sosial yang juga memainkan peran penting.
Trauma antargenerasi memiliki keterkaitan yang lebih erat dengan trauma daripada PTSD. Trauma antargenerasi mencakup dampak pengalaman traumatis yang dialami oleh suatu generasi yang kemudian diturunkan kepada generasi berikutnya. Tidak semua trauma antargenerasi menyebabkan PTSD. Orang tua yang mengalami peristiwa traumatis tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis PTSD masih dapat menurunkan dampak trauma yang mereka alami kepada anak-anaknya.
Risiko individu untuk mengalami dampak trauma antargenerasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut (Doi et al., 2022; Dozio et al., 2020; Iyengar et al., 2014; Raypole & Kubala, 2022; Ryan et al., 2016; Sangalang & Vang, 2017; Starrs & Békés, 2024).
Individu yang tumbuh dalam keluarga yang sebelumnya mengalami dampak trauma antargenerasi, memiliki pola komunikasi yang tidak teratur, menghindari pembicaraan tentang trauma, menerapkan pola asuh yang tidak sehat dan tidak memberikan ruang aman bagi anak (merendahkan, menghina, tidak mampu menentukan batasan), umumnya akan menjadi individu dengan koping menghindar, merasa bertanggung jawab atas perasaan dan permasalahan keluarga, dan meningkatnya rasa cemas dan stres akibat trauma keluarganya.
Epigenetik merujuk pada pengaruh lingkungan dan pengalaman individu terhadap cara kerja gen tanpa mengubah urutan DNA. Perubahan tersebut dapat diturunkan ke generasi berikutnya yang memengaruhi cara mereka merespons situasi yang serupa dengan pendahulunya.
Riwayat trauma yang tidak terselesaikan pada sosok ibu ibu dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk menanggapi kebutuhan anak secara sensitif dan efektif. Umumnya sosok ibu cenderung menanggapi anak dengan gerakan, tatapan, dan vokalisasi, sementara anak akan menyesuaikan dan menganggap bahwa hal tersebut sebagai kondisinya sendiri. Ibu dengan trauma yang tidak terselesaikan dapat menyalurkan respons negatif yang memicu reaksi berlebihan atau mengabaikan. Anak yang melihat dan merasakan respons tersebut akan kesulitan mencari kenyamanan saat tertekan serta merasa takut dan khawatir ketika berada di dekat ibunya, sehingga meningkatkan risiko kelekatan yang tidak aman dan meningkatkan dampak trauma antargenerasi pada anak.
Dampak trauma antargenerasi dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan individu yang terdampak (Sangalang & Vang, 2017; Roche et al., 2019; Yehuda, & Lehrner, 2018).
Berdasarkan studi literature review yang dilakukan oleh Isobel, Goodyear, Furness dan Foster (2019) ditemukan bahwa penanganan paling efektif dari trauma antargenerasi adalah dengan melakukan upaya preventif. Pencegahan dilakukan dengan memulihkan trauma pada orang tua, kemudian intervensi penanganan dilakukan untuk memperbaiki pola attachment antar keluarga. Penanganan yang dilakukan bersamaan untuk memastikan kebutuhan anak terpenuhi dan menciptakan pola keterikatan aman serta meningkatkan responsivitas orang tua. Upaya preventif dalam penanganan trauma antargenerasi terbagi menjadi tiga:
Referensi:
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). American Psychiatric Association.
Doi, S., Isumi, A., & Fujiwara, T. (2022). Association between maternal adverse childhood experiences and child resilience and self-esteem: Results from the K-CHILD study. Child Abuse & Neglect, 127, 105590. https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2022.105590
Dozio, E., Feldman, M., Bizouerne, C., Drain, E., Laroche Joubert, M., Mansouri, M., Moro, M. R., & Ouss, L. (2020). The transgenerational transmission of trauma: The effects of maternal ptsd in mother-infant interactions. Frontiers in Psychiatry, 11. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2020.480690
Giladi, L., & Bell, T. S. (2013). Protective factors for intergenerational transmission of trauma among second and third generation Holocaust survivors. Psychological Trauma: Theory, Research, Practice, and Policy, 5(4), 384–391. https://doi.org/10.1037/a0028455
Hesse, E., & Main, M. (2000). Disorganized infant, child, and adult attachment: Collapse in behavioral and attentional strategies. Journal of the American Psychoanalytic Association, 48(4), 1097–1127. https://doi.org/10.1177/00030651000480041101
Isobel, S., Goodyear, M., Furness, T., & Foster, K. (2019). Preventing intergenerational trauma transmission: A critical interpretive synthesis. Journal of Clinical Nursing, 28(7–8), 1100–1113. https://doi.org/10.1111/jocn.14735
Iyengar, U., Kim, S., Martinez, S., Fonagy, P., & Strathearn, L. (2014). Unresolved trauma in mothers: intergenerational effects and the role of reorganization. Frontiers in Psychology, 5. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2014.00966
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2024, August 24). Trauma. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/trauma
Kellermann, N. P. F. (2001). Transmission of Holocaust trauma – An integrative view. Psychiatry: Interpersonal and Biological Processes, 64(3), 256–267. https://doi.org/10.1521/psyc.64.3.256.18464
O’Neill, L., Fraser, T., Kitchenham, A., & McDonald, V. (2018). Hidden burdens: A review of intergenerational, historical and complex trauma, implications for indigenous families. Journal of Child & Adolescent Trauma, 11(2), 173–186. https://doi.org/10.1007/s40653-016-0117-9
Raypole, C., & Kubala, K. (2022, April 22). Understanding intergenerational trauma and its effects. Healthline.
Roche, A. I., Kroska, E. B., Miller, M. L., Kroska, S. K., & O’Hara, M. W. (2019). Childhood trauma and problem behavior: Examining the mediating roles of experiential avoidance and mindfulness processes. Journal of American College Health, 67(1), 17–26. https://doi.org/10.1080/07448481.2018.1455689
Ryan, J., Chaudieu, I., Ancelin, M.-L., & Saffery, R. (2016). Biological underpinnings of trauma and post-traumatic stress disorder: Focusing on genetics and epigenetics. Epigenomics, 8(11), 1553–1569. https://doi.org/10.2217/epi-2016-0083
Salberg, J. (2015). The texture of traumatic attachment: Presence and ghostly absence in transgenerational transmission. The Psychoanalytic Quarterly, 84(1), 21–46. https://doi.org/10.1002/j.2167-4086.2015.00002.x
Sangalang, C. C., & Vang, C. (2017). Intergenerational trauma in refugee families: A systematic review. Journal of Immigrant and Minority Health, 19(3), 745–754. https://doi.org/10.1007/s10903-016-0499-7
Starrs, C. J., & Békés, V. (2024). Historical intergenerational trauma transmission model: A comprehensive framework of family and offspring processes of transgenerational trauma. Traumatology. https://doi.org/10.1037/trm0000505
Yehuda, R., & Lehrner, A. (2018). Intergenerational transmission of trauma effects: Putative role of epigenetic mechanisms. World Psychiatry, 17(3), 243–257. https://doi.org/10.1002/wps.20568
Zafirah adalah seorang psikolog klinis dengan spesialisasi pada psikologi klinis anak dan dewasa. Zafirah menyelesaikan pendidikan Sarjana Psikologi di Universitas Tarumanagara dan pendidikan Magister Psikologi Profesi Klinis di Universitas Airlangga. Zafirah memiliki ketertarikan pada berbagai permasalahan psikologis, seperti kecemasan, depresi, permasalahan perilaku dan intelektual pada anak, permasalahan dalam hubungan dan pernikahan, serta permasalahan psikologis lainnya.
Zafirah percaya bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk menghadapi segala permasalahan yang dihadapi dalam hidup, mereka hanya memerlukan orang yang tepat untuk diajak berdiskusi mengenai permasalahan itu.
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3357-21-2-1