Toxic productivity adalah sebuah kondisi dimana individu terobsesi untuk mengembangkan diri dan merasa bersalah apabila tidak melakukan aktivitas yang produktif.
Mengapa orang selalu berusaha untuk tampil produktif? Kenyataannya, usaha kita untuk berperan pada berbagai aspek kehidupan seringkali dipandang “positif” oleh lingkungan sekitar. Tanpa disadari, semakin seseorang terlihat sibuk, maka banyak pula yang meyakini bahwa individu tersebut adalah sosok yang berprestasi, kuat, tangguh, bisa diandalkan hingga memiliki banyak penghasilan. Namun, aktivitas yang banyak dan di luar batas kemampuan kita, sebenarnya dapat menjadi boomerang dan merugikan diri secara fisik maupun psikologis. Mari kita simak lebih dalam mengenai toxic productivity berikut.
Mungkin Sahabat Harapan sering mendengar orang yang menghabiskan waktunya untuk bekerja disebut dengan sosok workaholic. Namun, individu yang mengalami toxic productivity lebih dari sekedar workaholic. Mereka merasa sangat terdorong untuk menjadi produktif setiap saat, tidak hanya di tempat kerja tetapi di semua bidang kehidupan mereka.
Toxic productivity ini sangat sulit diidentifikasi karena lingkungan seringkali memberikan reward kepada seseorang yang terlihat “produktif”. Seseorang yang produktif mendapatkan pandangan yang positif dari lingkungan bahkan dirinya sendiri. Hal ini yang terkadang membuat individu mengesampingkan adanya penurunan kesehatan fisik maupun psikologis pada diri mereka.
Seperti penjelasan sebelumnya, adanya reward dan perasaan akan pencapaian yang individu dapatkan dari produktivitasnya, akan meningkatkan produksi hormon dopamine pada tubuh dan membuat individu merasakan sebuah kepuasan/kesenangan. Ketika produksi dopamin ini sering didapatkan dengan melakukan aktivitas yang produktif, maka secara otomatis tubuh juga akan menggunakan cara yang sama untuk mendapatkan kepuasan tersebut, yaitu dengan cara melakukan aktivitas produktif. Seiring waktu, tubuh akan mengembangkan toleransi dan membutuhkan lebih banyak dopamin dan adrenalin sehingga aktivitas produktif semakin meningkat dan ingin lebih sering dilakukan. Hal ini sama seperti ketika seseorang kecanduan narkoba, dimana kebutuhan mereka pada narkoba akan semakin meningkat ketika semakin sering dikonsumsi.
Bekerja terlalu keras dalam jangka waktu yang lama akan menguras energi kita. Hal itu memberi banyak tekanan pada tubuh yang menyebabkan kelelahan mental dan fisik. Kita bisa mengalami stres kronis yang menjadi salah satu faktor resiko terjadinya depresi dan kecemasan dan peningkatan risiko penyakit jantung, kanker, diabetes tipe 2, dan penyakit yang disebabkan oleh “gaya hidup” tidak sehat lainnya.
Terdapat pula kondisi-kondisi ekstrem yang tidak dapat diprediksi. Seperti kisah Ferszt yang buta setelah 22 tahun bekerja dengan performa tinggi sebagai eksekutif periklanan. Dia mengalami stress related vision loss, dimana dirinya mengalami permasalahan penglihatan karena stress dan kelelahan yang tinggi.
Ketika kita memiliki waktu libur, menonton film, jalan-jalan atau melakukan hobi adalah hal yang membebani dan membuat kita merasa bersalah/gelisah.
Ketika seorang teman mengajak kita untuk jalan-jalan ke taman, kita akan berespon “untuk apa berjalan-jalan di taman?”. Orang dengan toxic productivity terbiasa melakukan sesuatu untuk mendapatkan tujuan dan pencapaian yang jelas, sehingga seringkali aktivitas yang dirasa tidak memiliki “pencapaian” tertentu, adalah sebuah aktivitas yang tidak boleh dilakukan.
Penampilan sering terlihat berantakan, mungkin kita jadi sering melewatkan waktu mandi, makan, tidur siang dan merawat diri. Kita bisa juga melewatkan kegiatan wajib rutin seperti membayar tagihan listrik, tagihan kontrakan, dan lain-lain.
Sekedar duduk-duduk menikmati udara segar dengan orang yang kita cintai menjadi sesuatu hal yang dianggap membuang-buang waktu karena merasa bahwa kegiatan tersebut tidak memiliki pencapaian.
Menjadi sukses adalah inti dari menjadi seorang yang produktif, tetapi orang-orang yang mengalami toxic productivity cenderung terjebak untuk terus “merasa produktif”. Hal ini berarti bahwa ketika kita berhasil mencapai tujuan, kita hanya merasa hampa, kosong, atau tidak cukup baik. Atau kita mungkin merasa terlalu lelah/tidak ada cukup waktu untuk menghargainya.
Ketika terlalu fokus pada sebuah pencapaian, seringkali aktivitas kecil yang bisa menumbuhkan perasaan senang terlewatkan untuk dirasakan. Hal ini bisa membuat kita akan sulit untuk merasakan kesenangan atau kebahagiaan kecil dari hidup kita.
Orang dengan toxic productivity seringkali menuntut orang di sekitarnya untuk produktif. Ketika menjadi orangtua, mungkin kita akan memaksa anak kita untuk mengikuti berbagai kegiatan dalam satu minggu.
Toxic productivity dapat menjadi sangat ekstrem ketika kita memiliki standar yang sangat tinggi. Bisa saja kita merasa sangat “jijik” ketika melihat orang “membuang-buang” waktu melakukan sesuatu yang tampaknya tidak produktif bagi kita.
Seleksi aktivitas kita, produktif bukanlah memiliki “banyak pekerjaan” melainkan, mampu bekerja dengan tepat dan menghasilkan sesuatu yang baik. Maka dari itu, carilah keseimbangan antara waktu beraktivitas dengan waktu untuk diri kita atau untuk orang yang kita cintai. Anda yang paling mengetahui batas dan kemampuan diri Anda. Bijaklah menentukan aktivitas, meskipun Anda memiliki niat yang besar untuk “melakukan aktivitas” tersebut, namun kajilah kembali apakah aktivitas ini akan mengganggu tugas-tugas Anda sebelumnya maupun aspek kehidupan Anda yang lain.
Buatlah upaya secara sadar untuk meluangkan waktu di siang hari untuk tidak melakukan sesuatu dengan “tujuan”. Anda bisa sekedar menatap awan di langit, berjalan tanpa tujuan, menulis puisi di jurnal, merenung, dan lain-lain.
Tanyakan pada diri sendiri apa yang benar-benar penting bagi Anda. Tuliskan nilai-nilai Anda (bukan tujuan). Kemudian lihat bagaimana Anda menggunakan waktu Anda selama ini, apakah aktivitas tersebut selaras dengan nilai-nilai hidup Anda?
Misalnya, nilai utama dalam hidup Anda adalah keluarga. Selama ini Anda bekerja keras untuk dapat menghidupi keluarga dan memiliki citra baik untuk mengangkat martabat keluarga Anda. Namun ternyata aktivitas dan pekerjaan Anda membuat Anda malah tidak pernah meluangkan waktu bersama keluarga. Hal ini tentu tidak selaras dengan nilai kehidupan Anda sehingga perlu diidentifikasi kembali apa yang perlu Anda lakukan untuk bisa memenuhi nilai-nilai dalam hidup Anda.
Jadwalkan waktu setiap hari untuk melakukan sesuatu yang menenangkan dan memanjakan diri sendiri, seperti mandi air panas, mewarnai, mengerjakan teka-teki, atau berolahraga ringan.
Toxic productivity berkembang pesat dalam budaya digital modern, jadi mencabut akses pada media sosial dan teknologi adalah kunci untuk melepaskan stres itu. Jadwalkan waktu setiap minggu untuk menghabiskan setidaknya satu jam tanpa elektronik, termasuk gadget, media sosial dan telepon Anda.
Toxic productivity sering terjadi karena didorong oleh ketakutan mendasar akan sesuatu yaitu: kegagalan, rasa bersalah, perasaan tidak layak. Belajarlah untuk mengakui emosi tersebut dibandingkan menghindarinya. Terimalah bahwa perasaan tersebut “wajar” dan tidak harus “dibayar” atau ditutupi dengan melakukan aktivitas produktif terus menerus. Jika Anda merasa kesulitan, tidak usah ragu untuk mulai mencari bantuan profesional seperti psikolog maupun profesional bidang kesehatan mental lainnya.
Referensi:
Anderson, Charlotte H. (2021, Juni 25). 9 Signs Toxic Productivity Is Impacting Your Life. The Healthy. https://www.thehealthy.com/mental-health/stress/toxic-productivity/
Merupakan seorang Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang perkembangan anak usia dini dan anak berkebutuhan khusus serta mengkaji kesejahteraan psikologis individu dalam lingkup karir dan kesehatan.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Udayana, Bali
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3356-21-2-1