Kemampuan untuk memusatkan perhatian atau berkonsentrasi merupakan salah satu masalah yang banyak dikeluhkan oleh orang tua. Beberapa orang tua merasa bahwa anaknya tidak mampu berkonsentrasi dalam waktu yang lama. Bagi anak yang sudah bersekolah, kondisi ini memiliki dampak negatif seperti anak mengganggu teman-teman di dalam kelas, berjalan berkeliling kelas, atau tugas-tugas di sekolah menjadi tidak selesai.
Konsentrasi adalah kemampuan untuk mempertahankan perhatian selama periode waktu yang lama atau lebih dikenal dengan sebutan sustained attention. Kemampuan ini memainkan peran kunci dalam memprediksi kinerja anak di sekolah, menentukan kapasitas anak untuk bisa mempertahankan konsentrasi dalam jangka waktu lama sehingga dapat memahami dan mengintegrasikan sejumlah besar informasi dari lingkungan (Betss, dkk, 2006).
Agar dapat memahami informasi, anak perlu fokus atau perhatian pada informasi yang datang. Setelah anak fokus, maka konsentrasi dapat terjadi dengan durasi waktu tertentu. Kegagalan anak untuk memusatkan perhatian dan mempertahankan konsentrasi menyebabkan informasi tidak dapat diterima dengan maksimal. Oleh sebab itu, anak akan kesulitan memperoleh dan mengintegrasikan keterampilan dan pengetahuan baru dari lingkungan. Pada ranah pendidikan, siswa dapat kesulitan untuk menerima, mengingat, dan mengolah pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Sejauh mana seorang anak mengabaikan informasi yang tidak relevan (menjadi tidak fokus dan konsentrasi) mungkin tergantung pada sejumlah faktor seperti usia, kompleksitas tugas, ketertarikan terhadap objek lain, kemampuan pemrosesan sensori, keadaan lingkungan, kesiapan belajar, rangsangan di luar individu (warna, suara, dll), dan berbagai faktor lainnya.
Sebagai contoh, semakin dini usia anak, semakin rendah pula kemampuan mereka untuk memusatkan perhatian. Hal ini karena beberapa fase perkembangan anak, usia balita misalnya, adalah mengeksplorasi lingkungan. Balita seringkali tampak sulit untuk duduk dengan tenang dalam jangka waktu tertentu. Mereka lebih senang melompat, berlari, memanjat. atau menyentuh benda-benda disekitarnya yang menarik perhatian. Contoh lainnya adalah penelitian menemukan bahwa ketika tuntutan tugas menjadi terlalu besar, anak tidak mampu mengatasinya dan kinerja menjadi memburuk. Artinya, semakin tinggi level kesulitan sebuah tugas, semakin mudah mendistraksi konsentrasi anak. Penelitian lainnya juga menemukan bahwa siswa yang lebih muda memerlukan lebih banyak waktu istirahat dibandingkan dengan anak usia 8–9 dan 11–12 tahun untuk meningkatkan kemampuan konsentrasi.. Anak usia 8-12 tahun dapat mengikuti jadwal istirahat belajar yang serupa.
Penelitian yang dilakukan oleh Betss, dkk (2006) menemukan bahwa sustained attention atau kemampuan berkonsentrasi ini berkembang sepanjang masa kanak-kanak antara usia 3-12 tahun. Semakin bertambahnya usia anak, semakin meningkat kemampuan mereka untuk berkonsentrasi atau mengembangkan sustained attention.
Pada anak, pertumbuhan kemampuan berkonsentrasi berkembang cepat pada usia 5–6 hingga 8–9 tahun. Perkembangan konsentrasi tampak stabil pada usia 8–9 hingga 11–12 tahun dengan hanya dengan sedikit perbaikan kemampuan berkonsentrasi. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa sustained attention berkembang selama masa kanak-kanak, dengan perbaikan cepat hingga usia 10 tahun, kemudian perbaikan kecil dan bertahap pada usia sesudahnya.
Anak-anak dengan masalah perhatian seringkali terbukti memiliki sejumlah tantangan berkaitan dengan pemrosesan regulasi sensori. Sulit bagai mereka untuk melakukan serangkaian tindakan yang terencana atau sistematis untuk memecahkan masalah kecuali ada banyak struktur yang memandu mereka. Selain itu, anak dengan masalah atensi dan konsentrasi mungkin juga memiliki kebutuhan yang besar akan rangsangan sensorik sehingga sangat aktif dan agresif untuk mencari rangsangan sensori tersebut. SPD didiagnosis berdasarkan adanya kesulitan dalam mendeteksi, menyesuaikan, menafsirkan, atau mengatur rangsangan sensorik sedemikian rupa sehingga defisit ini mengganggu fungsi dan partisipasi sehari-hari.
Tentu tidak, menegakkan diagnosis ADHD terkait dengan perilaku tidak fokus serta hiperaktif perlu mempertimbangkan banyak hal terkait usia, pola perilaku, konteks, dan beberapa gejala lainnya. Selain itu, tidak fokus bisa saja menjadi tanda anak memiliki masalah lain seperti sensori, kecemasan, masalah attachment, dan masalah lainnya.
Umumnya, menangani anak yang sulit fokus dan konsentrasi disesuaikan dengan diagnosis anak. Pada anak dengan ADHD misalnya, salah satu penanganan yang perlu dilakukan adalah memberikan struktur dalam belajar dan mengerjakan tugas-tugas. Pada anak dengan masalah sensori perlu dilakukan terapi sensori integrasi. Pada anak dengan masalah attachment perlu keterlibatan orang tua untuk membuat anak mengembangkan trust atau rasa percaya anak. Meskipun demikian, beberapa cara sederhana yang dapat dilakukan orang tua untuk meningkatkan kemampuan konsentrasi dan fokus pada anak adalah membiasakan menstimulasi sensori seperti bermain tekstur, berdiri di atas rumput, makan berbagai variasi menu, mengatur jadwal kegiatan sehari-hari untuk membiasakan adanya aturan, serta membiasakan anak bermain dengan aktivitas yang menuntut konsentrasi seperti menggunting, menempel, mewarnai, dan bermain puzzle.
Oleh sebab itu, diskusikan kepada profesional apabila Sahabat Harapan memiliki masalah atensi dan konsentrasi anak, termasuk psikolog-psikolog kami di LembarHarapan.id!
Referensi
Betts, J., Mckay, J., Maruff, P., & Anderson, V. (2006). The Development of Sustained Attention in Children: The Effect of Age and Task Load. Child Neuropsychology, 12(3), 205–221. doi:10.1080/09297040500488522
Brodeur, D. A., & Pond, M. (2001). Journal of Abnormal Child Psychology, 29(3), 229–239. doi:10.1023/a:1010381731658
Crasta, J. E., Salzinger, E., Lin, M. H., Gavin, W. J., & Davies, P. L. (2020). Sensory Processing and Attention Profiles Among Children With Sensory Processing Disorders and Autism Spectrum Disorders. Frontiers in integrative neuroscience, 14, 22. https://doi.org/10.3389/fnint.2020.00022
Paramita Estikasari adalah seorang psikolog klinis dengan spesialisasi pada bidang psikologi klinis anak dan remaja. Mita merupakan lulusan sarjana psikologi Universitas Diponegoro dan melanjutkan studi magister dan profesi psikolog di Universitas Indonesia. Selain mendalami parenting, tumbuh kembang anak, dan anak berkebutuhan khusus, Mita juga memiliki ketertarikan pada lingkup hubungan relasi romantis dan pernikahan. Umumnya Mita menggunakan pendekatan dalam konseling/terapi dengan menggunakan Cognitive Behavioral Therapy dan pendekatan Behaviorisme.
No.SIPP (Surat Izin Praktik Psikologi): 3692-21-2-1