Pernahkah Sahabat Harapan jatuh cinta pada teman sendiri? Teman adalah orang yang bisa memberikan kita kasih sayang, rasa percaya, keintiman dan kesetiaan. Meskipun perasaan kasih sayang, kepercayaan dan keintiman juga bisa kita dapatkan dalam hubungan romantis, namun pertemanan memiliki makna dan porsi yang berbeda dalam hati kita. Bagi Sahabat Harapan yang pernah merasakan jatuh cinta pada teman/sahabat sendiri, tentu pengalaman ini menjadi hal yang menarik. Pada artikel ini, penulis akan mengajak Sahabat Harapan untuk mengenal lebih dalam tentang pertemanan berbeda jenis kelamin atau disebut cross sex friendship dan bagaimana ini bisa berubah menjadi hubungan romantis.
Same-sex friendship
Berdasarkan jenisnya, pertemanan ada dua kategori, yaitu same-sex friendship dan cross-sex friendship. Same-sex friendship merupakan pertemanan yang terjalin antara dua pihak yang berjenis kelamin sama, misalnya wanita-wanita atau pria-pria, sedangkan cross-sex friendship adalah pertemanan yang terjalin antara wanita-pria. Same-sex friendship memiliki 5 dimensi, yaitu penghargaan, ekspresi apresiasi, perasaan bahagia, pembicaraan dan berbagi aktivitas bersama. Beberapa penelitian menemukan bahwa pertemanan sesama perempuan lebih ekspresif, emosional, intim, dan lebih membuka diri (self disclosure). Sementara, pertemanan sesama laki-laki lebih fokus pada aktivitas dan tujuan bersama. Terkait topik pembicaraan, pertemanan antar perempuan lebih banyak membahas tentang hubungan, laki-laki, pakaian/fashion, masalah dengan teman, kebutuhan dan perasaan mereka. Berbeda dengan perempuan, pertemanan antara lelaki lebih banyak membahas tentang perempuan, olahraga, pertarungan/pertengkaran, minuman, pekerjaan dan non-personal information.
Same-sex friendship terbentuk karena berbagai faktor. Ada empat faktor yang mempengaruhi pembentukan pertemanan sesama jenis, yaitu:
Pertemanan bisa terbentuk dari faktor lingkungan karena adanya unsur kedekatan area atau residential proximity, contohnya berteman dengan tetangga, orang di satu area perumahan, orang yang tinggal satu kamar/apartemen, atau orang yang satu kantor, dan sebagainya.
Pertemanan bisa terjadi karena adanya pengaruh atau alasan yang bersifat individual, misalnya karena ketertarikan secara fisik, karena orang tersebut memiliki keterampilan sosial yang bagus, dan lain-lain. Faktor individual ini termasuk kesamaan karakter, status, sikap, hobi dan sebagainya.
Pertemanan terjadi karena faktor kesempatan atau peluang situasi yang memungkinkan kedua belah pihak dapat bertemu atau berinteraksi. Ketersediaan waktu juga termasuk dalam faktor situasional. Ketika kedua belah sibuk atau tidak memiliki waktu yang memungkinkan untuk berinteraksi, maka pertemanan sulit terjadi.
Faktor ini merupakan faktor yang mengandung dua unsur (kesalingan), misalnya jika kita berpikir orang lain menyukai kita, maka pada akhirnya kita jadi menyukai orang tersebut. Salah satu contoh dari faktor ini adalah keterbukaan diri (self disclosure). Saat kita berbagi informasi personal tentang diri kita, orang lain juga tidak akan sungkan membuka diri pada kita.
Cross-sex friendship
Cross-sex friendship atau pertemanan lawan-jenis adalah hubungan sukarela, non-familial, non-romantic antara pria dan wanita yang keduanya memberi label hubungan mereka sebagai teman. Pertemanan lawan-jenis dianggap sebagai hubungan pribadi non familial dan non romantis, dimana pihak yang terlibat sengaja memisahkan fungsi hubungan ini dari ritual pacaran. Bleske-Rechek & Buss (2001) berpendapat bahwa pertemanan lawan-jenis terbentuk karena proses evolusioner. Perempuan membangun hubungan pertemanan dengan pria untuk perlindungan, sedangkan laki-laki berteman dengan perempuan karena alasan ketertarikan seksual. Reeder (2000) mengidentifikasi empat jenis ketertarikan yang ditemukan dalam persahabatan lawan-jenis:
Cross-sex friendship vs Romantic Relationship
Pertemanan lawan-jenis berbeda dengan hubungan romantis karena hubungan romantis melibatkan aspek seksual atau gairah. Gairah termasuk ketertarikan fisik dan seksualitas. Hubungan romantis ditandai dengan perasaan cinta yang intens, kerinduan, kegembiraan, dan komitmen jangka panjang untuk membangun hubungan eksklusif — karakteristik yang biasanya tidak hadir dalam pertemanan. Hubungan romantis, khususnya ketika telah bertahan lebih dari satu atau dua bulan, lebih intim daripada pertemanan lawan jenis.
Cross-sex friendship menghadapi isu atau tantangan yang berbeda dengan same-sex friendship. Kebanyakan dari pelaku cross-sex friendship melabel hubungan mereka sebagai teman. Dengan label “teman”, kedua belah pihak harus menyepakati batasan dalam ikatan emosional yang ada dalam hubungan mereka. Tantangan yang kedua adalah ketertarikan secara fisik. Meskipun terdapat kontak fisik dalam hubungan cross-sex friendship, namun kontak fisik tersebut tidak mengandung unsur romantis (seksual). Tantangan ketiga adalah kekuasaan (power). Ada ketidakseimbangan kekuasaan yang mungkin terjadi dalam pertemanan lawan-jenis karena umumnya laki-laki dianggap sebagai pihak yang lebih dominan daripada perempuan. Hal ini bisa menjadi masalah dalam pertemanan lawan-jenis karena kedua belah pihak harusnya memiliki posisi yang setara. Tantangan selanjutnya adalah isu tentang hubungan di depan publik. Pertemanan lawan-jenis harus menghadapi tantangan bagaimana hubungan mereka dipandang oleh publik. Publik mungkin menilai bahwa laki-laki dan perempuan tidak mungkin menjadi teman sehingga mereka mungkin mencurigai hubungan lawan-jenis secara diam-diam berkembang menjadi hubungan romantis.
Pertemanan lawan-jenis berkembang menjadi hubungan romantis
Beberapa penelitian menemukan bahwa laki-laki dan wanita mempertimbangkan satu sama lain sebagai pasangan romantis. Beberapa peneliti menganggap bahwa hubungan lawan-jenis pasti berkembang menjadi hubungan romantis. Monsour, Harris, dan Kurzweil (1994) menemukan bahwa 64% pria dan 44% wanita melaporkan teman lawan jenis mereka menjadi pasangan seksual. Hal ini dapat diartikan bahwa pria dan wanita sulit untuk berteman, apalagi berteman dekat.
Studi Lemay & Wolf (2016) menunjukkan bahwa persahabatan lebih mungkin untuk beralih ke hubungan romantis ketika individu terlibat dalam bias kognitif. Banyak orang memproyeksikan perasaan romantis yang kuat kepada teman mereka, bahkan ketika teman mereka tidak benar-benar tertarik. Dengan kata lain, individu dengan perasaan yang kuat sering kali melebih-lebihkan minat romantis kepada temannya. Pemikiran yang salah ini memotivasi individu untuk memulai perilaku nyata yang dapat menyebabkan teman lawan jenis membalas minat mereka.
Dalam bahasa sederhana, bias kognitif menyebabkan kita merasa “gr—gede rasa” sehingga kita melakukan proyeksi (pembalikan) bahwa teman kita juga memiliki perasaan atau minat romantis kepada kita. Saat kita yakin orang lain tertarik pada kita, kita mungkin melakukan perilaku yang benar-benar membuat mereka tertarik kepada kita untuk menegaskan keyakinan awal kita. Ini mungkin didukung juga dengan pengakuan cinta dan umpan balik sehingga menjadi legitimasi (pengesahan) bahwa status hubungan pertemanan telah berubah menjadi hubungan romantis.
Pandangan lain mengatakan bahwa pertemanan yang terjaga dengan baik dapat bertumbuh menjadi hubungan yang berkualitas tinggi. Perilaku pemeliharaan persahabatan, misalnya aktivitas bersama, pengungkapan diri, dan dukungan merupakan faktor fundamental yang terkait dengan kedekatan emosional dan kepuasan relasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin berkualitas hubungan pertemanan lawan-jenis maka semakin besar peluang hubungan ini dapat berubah menjadi hubungan romantis karena memberikan kedekatan emosional dan kepuasan relasional bagi kedua belah pihak.
Kesimpulannya, perasaan ketertarikan yang kuat kepada teman/sahabat bisa menjadi alasan dasar untuk menciptakan peluang untuk mengubah pertemanan menjadi romansa. Selama Anda dan sahabat Anda memiliki ketertarikan yang sama, maka ini menjadi berkah bagi kalian untuk menjalani hubungan yang bermakna. Bila ketertarikan atau perasaan ternyata hanya sepihak saja, maka Anda bisa memikirkan kembali konsekuensi dari perubahan hubungan dan mempertimbangkan kesiapan Anda dan teman Anda untuk menerima konsekuensi yang ada.
References
Afifi, W. A., Guerrero, L. K., & Egland, K. L. (1994, June). Maintenance behaviors in same and opposite-sex friendships: Connections to gender, relational closeness, and equity issues. Paper presented at the annual meeting of the International Network on Personal Relationships, Iowa City, IA.
Bleske-Rechek, A. L., & Buss, D. M. (2001). Opposite-sex friendship: Sex differences and similarities in initiation, selection, and dissolution. Personality and Social Psychology Bulletin, 27(10), 1310-1323.
Fehr, B. (1996). Friendship processes (Vol. 12). Thousand Oake, CA: Sage.
Furman W., and Buhrmester, D. (1992). Age and sex differences in perceptions of networks of personal relationships. Child Develop. 63: 103-115.
Gilchrist-Petty, E., & Bennett, L. K. (2019). Cross-sex best friendships and the experience and expression of jealousy within romantic relationships. Journal of Relationships Research, 10.
Lemay, E. P., & Wolf, N. R. (2016). Projection of Romantic and Sexual Desire in Opposite-Sex Friendships How Wishful Thinking Creates a Self-Fulfilling Prophecy. Personality and Social Psychology Bulletin, 42, 864-878.
Monsour M., Harris B., & Kurzweil N. (1994). Challenges confronting crosssex friendships: ‘Much ado about nothing?’ Sex Roles, 31, 55–77.O’Meara, J. D. (1989). Cross-sex friendship: Four basic challenges of an ignored relationship. Sex roles, 21(7), 525-543.
Monsour, M. (2002). Women and men as friends: Relationships across the life span in the 21st century. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Reeder H. (2000). ‘I like you … as a friend’: The role of attraction in cross-sex friendship. Journal of Social & Personal Relationships, 17, 329
Sternberg, R. J. (1987). Liking versus loving: A comparative evaluation of theories. Psychological Bulletin, 102(3), 331.
Puput Mariyati merupakan Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang kesehatan mental dewasa dan keluarga. Isu-isu psikologi yang ia gemari adalah depresi dan stress; parenting; perkembangan anak, khususnya anak berkebutuhan khusus (special needs); serta pendekatan terapi kognitif-perilaku dan psikologi positif. Bagi pemilik motto hidup “man jadda wajada” ini, mendalami dan berperan sebagai praktisi di bidang psikologi adalah salah satu jalan baginya untuk bisa menebar manfaat pada orang lain.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3358-21-2-1