Successful Marriage

Menjalani kehidupan pernikahan merupakan satu fase kehidupan yang menantang. Kita berkomitmen untuk hidup bersama dengan orang yang sama, yang mungkin akan berlangsung sepanjang hidup kita. Oleh karena itu, menikah adalah hubungan jangka panjang yang tidak selalu stabil dan tidak bisa diprediksi. Kita perlu mengenali faktor apa saja yang mempengaruhi stabilitas pernikahan dan upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga pernikahan menjadi langgeng dan harmonis.

Apa saja yang mempengaruhi stabilitas pernikahan? 

1. Usia

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepuasan pernikahan pasangan dapat dipengaruhi oleh usia. Seiring bertambahnya usia, kepuasan pernikahan menurun. Hal ini bisa menjelaskan mengapa pasangan paruh baya melaporkan lebih banyak masalah pernikahan daripada pasangan muda. Penurunan kepuasan pernikahan pada pasangan paruh baya dapat disebabkan oleh peningkatan tanggung jawab pasangan, kelahiran anak, dan masalah keuangan yang terkait dengan membesarkan anak.

2. Pencapaian pendidikan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pencapaian pendidikan dikaitkan dengan kepuasan pernikahan dan telah diakui sebagai prediktor kepuasan pernikahan. Ketika pasangan memiliki pencapaian pendidikan yang lebih baik, maka mereka memiliki pemahaman yang lebih baik tentang realitas kehidupan yang membuat mereka lebih siap untuk memecahkan masalah mereka dan menghindari konflik. Namun ada juga penelitian lain yang menemukan hasil yang berbeda bahwa tingkat pendidikan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pernikahan.

3. Pekerjaan dan kesehatan

Penelitian menemukan bahwa pekerjaan dan kesehatan menjadi faktor yang penting dalam mempengaruhi pernikahan. Kepuasan pernikahan berhubungan secara negatif dengan stres kerja bagi laki-laki dan perempuan. Semakin tinggi stres kerja yang dialami, semakin rendah tingkat kepuasan pernikahan bagi pasangan.

4. Keuangan 

Penelitian menunjukkan bahwa situasi ekonomi dan pendapatan keluarga berhubungan dengan kepuasan pernikahan. Ketika pasangan harus terus-menerus mengkhawatirkan uang, kepuasan pernikahan akan menurun. Namun, penelitian lain tidak menemukan adanya hubungan antara tingkat pendapatan dan kepuasan pernikahan atau bahkan menunjukkan korelasi terbalik di antara keduanya.

5. Kehadiran anak

Bagi pasangan yang sedang mengembangkan hubungan baru dalam pernikahan, kehadiran dan pengasuhan anak menjadi isu yang sering menjadi perdebatan atau pemicu konflik. Penelitian menemukan bahwa kehadiran anak dapat mencegah perpisahan bagi pasangan dan meningkatkan kepuasan pernikahan. Sebaliknya, ada penelitian lain yang juga menemukan kehadiran anak dapat menurunkan kepuasan pernikahan. Perbedaan hasil penelitian dapat kita simpulkan bahwa kehadiran anak memberikan makna tersendiri bagi pasangan yang menikah dan ini bergantung pada pandangan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh pasangan. 

6. Sikap terhadap pernikahan dan seksualitas

Di masa kini, pandangan dan sikap orang terhadap pernikahan dan seksualitas sudah jauh berbeda dengan masa dahulu. Perubahan pandangan dan sikap tentang pernikahan dipengaruhi oleh budaya dan berbagai faktor. Faktor-faktor ini sudah dibahas pada artikel sebelumnya (baca disini https://lembarharapan.id/artikel/takut-menikah/). Terkait seksualitas, penelitian menemukan bahwa ketidakmampuan pasangan untuk merasakan kesenangan dalam hubungan seksual dapat menjadi tekanan bagi pasangan. Di sisi lain, teknologi dan metode kedokteran yang semakin canggih telah membawa harapan baru bagi pasangan yang mengalami kesulitan terkait seksualitas dan fertilitas (kesuburan) untuk memiliki anak. Selain itu, alat atau metode kontrasepsi yang semakin beragam memungkinkan pasangan untuk menentukan waktu kehamilan. 

7. Tekanan budaya

Budaya dan tradisi memberikan sebuah inovasi dalam kehidupan, namun di sisi lain juga bisa menjadi sarana konflik interpersonal dalam pernikahan. Pengetahuan tentang budaya dari berbagai belahan dunia semakin mudah didapatkan melalui media teknologi informasi, misalnya lewat televisi dan internet. Ini berpengaruh terhadap perubahan peran gender, toleransi terhadap perceraian, penerimaan terhadap perubahan nilai-nilai keluarga dan pola perilaku keluarga. 

Faktor-faktor di atas dapat menjadi pertimbangan bagi Sahabat Harapan yang akan menikah sehingga kamu dan pasanganmu dapat mengantisipasi tantangan-tantangan yang ada dalam pernikahan dan mengupayakan apa saja yang dibutuhkan untuk mempertahankan stabilitas pernikahan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menjaga stabilitas pernikahan adalah meningkatkan kemampuan bernegosiasi timbal balik. 

Bagaimana melakukan negosiasi timbal balik untuk menjaga stabilitas pernikahan? 

Di bawah ini adalah langkah-langkah yang bisa kamu terapkan bersama pasanganmu untuk melakukan negosiasi timbal balik: 

  1. Fokus pada masa sekarang (present moment) dan menyederhanakan permintaan
    Pasangan perlu mengamati perilaku verbal dan non-verbal ketika saling berkomunikasi, mendengarkan detail dari kalimat dan fokus pada masa sekarang sehingga bisa bernegosiasi dan berkomunikasi secara empatik dan timbal balik. Pasangan dapat memulai dengan menyederhanakan permintaan sebagai langkah awal untuk melakukan negosiasi timbal balik. Misalnya, “Aku akan berhenti komplain ke kamu kalau kamu mau menaruh HP dan fokus mendengarkan ceritaku”.
  2. Fokuskan pada perilaku spesifik yang kamu tidak sukai dari pasangan
    Jika kamu ingin mengubah perilaku yang tidak kamu sukai dari pasanganmu, maka fokuslah pada bentuk perilaku secara spesifik. Hal ini diperlukan agar pasanganmu bisa menaruh perhatian pada perilaku mana yang harus dilakukan atau tidak dilakukan. Misalnya, mengucapkan “Aku harap kamu menaruh piring kotor di tempat cucian, bukan membiarkannya begitu saja di meja makan” lebih bisa dimengerti karena mengarah pada perilaku yang spesifik daripada perilaku secara global seperti kalimat ini, “Aku harap perilakumu bisa berubah”
  3. Memberikan kesempatan kepada pasangan
    Setelah pasanganmu mengetahui permintaanmu, kamu bisa berbalik memberikannya kesempatan untuk menyampaikan permintaan sehingga negosiasi berjalan secara timbal balik. Jangan lupa, permintaan yang disampaikan kepada pasangan bukan hanya jelas, tapi juga bisa diamati (observable) dan dilakukan (achievable). Jangan menuntut sesuatu yang “mengawang-awang” dan tidak bisa dilakukan karena hanya akan menjadi sumber kekecewaan jika permintaan ini tidak tercapai. Misalnya, kamu meminta pasanganmu untuk tidak mengangkat telepon dari teman lawan jenis. Hal ini tidak mungkin untuk dilakukan oleh pasanganmu karena bisa saja ia mendapatkan telepon dari temannya untuk tujuan pekerjaan atau professional.  
  4. Mengubah ”komplain” menjadi “permintaan”
    Saat sedang marah dengan pasangan, kamu mungkin tidak sadar kalimat yang kamu ucapkan lebih banyak mengandung konten yang negatif. Kalimat yang terucapkan berbentuk komplain, bukan permintaan. Oleh karena itu, mengubah kalimat komplain menjadi kalimat permintaan akan lebih mudah diterima oleh pasangan. Contohnya, “Aku nggak suka kamu menaruh handuk basah di atas kasur” bisa diubah menjadi “Aku lebih senang kalau kamu menaruh handuk basah di jemuran jadi kasurnya tidak basah.”
  5. Melakukan tugas atau permintaan secara bersama-sama, bukan hanya satu pihak. 
    Setelah satu sama lain menyampaikan permintaan secara jelas, kamu dan pasanganmu perlu berkomitmen untuk melakukan apa yang menjadi permintaan masing-masing. Misalnya, ketika kamu meminta pasanganmu untuk membuang sampah camilan, kamu juga berkomitmen melakukan permintaan pasanganmu agar kamu merapikan alat make up di kamar. Permintaan dari kedua belah pihak harus dapat diterima satu sama lain sehingga proses negosiasi bisa berjalan timbal balik dan semua pihak berkomitmen untuk memenuhi permintaan masing-masing. 
  6. Mengevaluasi pelaksanaan dari tugas/permintaan
    Hasil dari negosiasi antara kamu dan pasanganmu bisa ditulis dalam sebuah catatan di kertas atau di handphone masing-masing sebagai materi evaluasi. Evaluasi meliputi penilaian tentang permintaan mana yang berhasil dilakukan secara konsisten, mana yang belum konsisten, mana yang tidak bisa dilakukan sama sekali, penilaian tentang hambatan atau kendala yang kalian alami, bagaimana perasaan masing-masing saat melakukan permintaan dan upaya-upaya apa yang telah dilakukan atau perlu dilakukan bersama-sama untuk mengatasi kendala yang ada. Proses evaluasi juga harus berjalan dua arah sehingga pasangan bisa saling mendapatkan masukan yang membangun dari berbagai sudut pandang. 

Pernikahan tidak selalu membawa kebahagiaan dan keharmonisan. Ada kalanya pasangan mengalami konflik dan berselisih paham sehingga perlu kemampuan negosiasi untuk saling mengekspresikan perasaan dan pikiran sekaligus saling mendengar dan memahami. Melakukan negosiasi secara timbal balik sangat penting untuk pasangan agar kedua belah pihak merasa didengarkan dan dihargai. Kemampuan ini menjadi kunci keberhasilan dalam pola komunikasi dalam pernikahan karena hubungan yang sehat membutuhkan kejelasan, bukan menerka pikiran (mind reading). 

References:
Crowe, M., & Ridley, J. (2008). Therapy with couples: A behavioural-systems approach to couple relationships and sexual problems. John Wiley & Sons.

Tavakol, Z., Nikbakht Nasrabadi, A., Behboodi Moghadam, Z., Salehiniya, H., & Rezaei, E. (2017). A review of the factors associated with marital satisfaction. Galen Medical Journal, 6(3).

2021 © All Rights Reserved. LembarHarapan.id