Pernahkah Sahabat Harapan merasa marah atau kecewa saat anak berbuat kesalahan atau masalah? Sebagai orang tua, kita mungkin merasakan kemarahan atau kekecewaan kepada anak karena kesalahan itu sudah dilakukan berulang kali atau sudah kita prediksi sebelumnya. Misalnya anak Anda menumpahkan air dari gelas yang tidak mereka kembalikan ke meja. Anda mungkin sudah memperingatkan anak Anda untuk mengembalikan gelas tersebut ke meja dengan mengatakan, “Awas nanti tumpah, Nak!”. Ternyata setelah beberapa menit kemudian, hal itu benar-benar terjadi dan ini memicu kemarahan Anda.
Tentu kita tidak ingin memberikan respon dengan berteriak atau membentak anak dengan kata-kata yang penuh amarah saat anak berbuat kesalahan. Kemarahan tidak akan membantu menyelesaikan masalah karena justru membuat masalah atau situasi menjadi lebih buruk. Dengan kemarahan, kita memberi pesan yang salah kepada anak-anak bahwa konsekuensi logis dari berbuat kesalahan atau mengacau membuat orang dewasa marah. Anak-anak seharusnya belajar tentang konsekuensi dari perilaku atau kesalahan mereka, bukan berfokus pada kemarahan tersebut. Jika mereka menumpahkan air, maka konsekuensinya bukanlah mendapatkan kemarahan dari orang tua, tapi lantai menjadi basah dan mereka harus membersihkannya. Oleh karena itu, kita perlu bersikap bijak dengan berfokus pada konsekuensi, bukan pada kemarahan untuk memperbaiki kesalahan anak.
Selain menyebabkan situasi menjadi semakin buruk, kemarahan juga dapat menimbulkan masalah baru pada anak. Penelitian menemukan bahwa membentak dan disiplin verbal yang keras saat anak melakukan kesalahan dapat menyebabkan dampak negatif yang serupa dengan hukuman fisik. Anak-anak yang terus-menerus dimarahi lebih cenderung memiliki masalah perilaku dan masalah emosional, serupa dengan anak-anak yang sering dipukul. Anak-anak ini cenderung mengalami gejala depresi dan masalah relasi sosial, seperti masalah dalam hubungan dengan orang tua dan teman sebaya, misalnya berkelahi dengan teman sebaya dan masalah di sekolah.
Apa manfaat yang diperoleh anak ketika mereka membuat kesalahan atau masalah? Ketika anak berbuat kesalahan atau masalah, mereka memiliki kesempatan untuk belajar dan bertumbuh dari pengalaman. Belajar dari kesalahan adalah bagian dari bagaimana anak menantang diri mereka untuk melihat situasi secara berbeda. Anak bisa belajar tentang perilaku bertanggung jawab, berpikir tentang konsekuensi dari suatu perilaku, belajar mengambil keputusan, menemukan penyelesaian dari suatu masalah, mengembangkan kebijaksanaan (wisdom) dan memungkinkan anak untuk mengembangkan rasa percaya diri dan self-esteem. Anak-anak yang berurusan langsung dengan masalah akan tergerak untuk menyelesaikannya segera dan mereka mengetahui bahwa tidak ada orang lain yang akan menyelesaikan masalah atau memperbaiki kesalahan mereka kecuali mereka sendiri. Ketika anak dapat melakukannya, tentu ini akan memberikan rasa senang dan bangga kepada mereka bahwa mereka mampu.
Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi kesalahan anak? Pertama, orang tua dapat menyikapi kesalahan anak dengan menjelaskan konsekuensi yang relevan dengan situasi, menetapkan batasan yang tegas dan penuh kasih menggunakan pernyataan yang tidak menunjukkan kemarahan, ceramah, atau ancaman. Ketika seorang anak menyebabkan masalah atau melakukan kesalahan, orang tua menunjukkan empati dan kepedulian dengan penuh kasih untuk memvalidasi emosi mereka dan kemudian menyerahkan masalah dan konsekuensinya kembali ke anak. Ketika anak berbuat kesalahan, anak mungkin merasa sedih, takut, khawatir, kaget dan emosi negatif lainnya sehingga kita perlu memvalidasi perasaan mereka untuk memberikan dukungan kepada mereka. Misalnya, kita bisa mengucapkan kalimat seperti ini, “ooh Adik pasti kaget ya air di gelas tumpah (sambil memegang tangan atau memeluk anak). Sekarang apa yang bisa kita lakukan untuk membersihkan pecahan gelasnya ya?”
Jika anak belum tahu solusi yang harus diambil untuk mengatasi situasi/permasalahan atau memperbaiki kesalahan mereka, orang tua dapat memberikan pilihan melalui pertanyaan tertutup, “Adik mau ambilkan kain untuk mengelap atau mengambil tisu untuk membersihkanya?” Memberikan batasan yang jelas seperti ini dapat membantu anak untuk memikirkan apa yang harus dia lakukan. Kita tidak memberi tahu anak bagaimana harus bertindak, tapi memberikan mereka pilihan solusi agar mereka dapat memutuskannya sendiri bagaimana menyelesaikan masalah atau memperbaiki kesalahan mereka. Membiarkan anak-anak untuk memecahkan masalah atau memperbaiki kesalahan mereka sendiri berarti kita memberikan mereka kepercayaan bahwa perilaku mereka akan berubah saat mereka belajar dari pengalaman.
Memberikan konsekuensi dan batasan kepada anak tidak hanya harus jelas dan relevan dengan situasi, tapi juga itu benar-benar dapat diterima oleh mereka dan mereka dapat melaksanakannya. Jangan berikan alternatif yang Anda dan anak Anda tidak akan melaksanakannya. Misalnya jangan mengatakan, “Cepat bersihkan susu yang tumpah, atau kalau tidak, Bunda tidak akan buatkan susu lagi ya.”
Kedua, menjadikan diri kita sebagai model yang baik dengan mencontohkan perilaku untuk perbaikan kesalahan atau pemecahan masalah. Kita tidak hanya memberikan konsekuensi dan batasan kepada anak, tapi juga mencontohkan bagaimana melakukannya. Ketika Anda menawarkan pilihan kepada anak untuk membersihkan air yang tumpah dengan kain pel atau tisu, Anda juga melibatkan diri untuk ikut membantu anak membersihkan lantai. Batas-batas yang kita tetapkan untuk anak-anak kita pada kenyataannya adalah batasan yang kita tetapkan untuk diri kita sendiri sehingga kita perlu melakukannya secara konsisten. Saat kita mengalami situasi yang serupa, kita juga menerapkan batasan tersebut sehingga anak mendapatkan pembelajaran yang konsisten.
Ketiga, jika anak tidak mau melakukan batasan yang sudah kita berikan, kita dapat memberikan pilihan kepada mereka dengan thinking words (kata-kata berpikir), bukan fighting words (kata-kata bertarung). Contoh thinking words, “Bunda akan ijinkan adik membaca buku jika adik sudah selesai membersihkan tumpahan airnya.” Contoh fighting words adalah “Cepat bersihkan lantainya sekarang”.
Kata-kata berpikir digunakan dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan yang menempatkan anak untuk berpikir dan mengambil keputusan secara bertanggung jawab. Anak-anak belajar lebih baik dari apa yang mereka katakan pada diri mereka sendiri daripada apa yang diberitahukan oleh orang tua. Ketika mereka memilih suatu pilihan, mereka berpikir, dan termotivasi untuk melakukan pilihan mereka dengan penuh tanggung jawab. Menyelesaikan masalah alih-alih melarikan diri dari masalah dapat mengajarkan anak untuk bertanggung jawab atas kesalahan mereka dan tidak menyalahkan pihak lain.
Keempat, Anda bisa memberikan pujian pada anak atas kemampuannya untuk mengakui dan memperbaiki kesalahan atau menyelesaikan masalah. Misalnya Anda mengatakan, “Terima kasih ya Dik, sudah memperbaiki kesalahanmu dengan membersihkan tumpahan air di lantai.” Jika anak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari, hindari menunjukkan atau mengungkit kesalahan mereka di masa lalu. Sebaiknya Anda fokus pada perkembangan anak dan sampaikan pada mereka untuk melihat sisi baik dari kesalahan.
“Pengetahuan tidak bersandar pada kebenaran saja, tetapi juga pada kesalahan – Carl Jung
Kutipan di atas bisa menjadi pengingat bagi kita bahwa anak-anak bisa mendapatkan pembelajaran dan manfaat dari kesalahan mereka. Sudah sepatutnya kita sebagai orang tua memberikan mereka kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri dari kesalahan atau masalah mereka.
References:
Puput Mariyati merupakan Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang kesehatan mental dewasa dan keluarga. Isu-isu psikologi yang ia gemari adalah depresi dan stress; parenting; perkembangan anak, khususnya anak berkebutuhan khusus (special needs); serta pendekatan terapi kognitif-perilaku dan psikologi positif. Bagi pemilik motto hidup “man jadda wajada” ini, mendalami dan berperan sebagai praktisi di bidang psikologi adalah salah satu jalan baginya untuk bisa menebar manfaat pada orang lain.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3358-21-2-1