Pandemi COVID-19 yang terjadi secara global di seluruh dunia sudah berjalan lebih dari satu tahun. Berbagai aturan dan kebijakan pemerintah untuk mengurangi penyebaran COVID-19 seperti pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), social distancing, work/school from home, vaksinasi, peningkatan protokol kesehatan dan sebagainya tentunya membawa dampak yang besar pada berbagai aspek kehidupan kita, mulai dari aspek kesehatan, ekonomi, sosial, akademik hingga pada aspek psikologis.
Pada aspek kesehatan, pandemi memunculkan kekhawatiran tentang ancaman penularan virus COVID-19 pada tubuh kita dan orang-orang yang kita sayangi. Kita perlu memikirkan dan mengupayakan persediaan perlengkapan kesehatan yang bisa menunjang kesehatan kita, misalnya masker, hand sanitizer, obat-obatan dan vitamin, serta makanan dan minuman yang bergizi. Sebagian masyarakat bahkan mengalami kesulitan ekonomi karena kehilangan pekerjaan dan pemotongan gaji. Masyarakat juga mengalami dampak secara sosial karena interaksi tatap muka tidak memungkinkan untuk dilakukan di masa pandemi. Selain itu, pandemi juga membatasi aktivitas akademik para pelajar dan mahasiswa sehingga mereka harus menyesuaikan diri dengan pembelajaran daring.
Kondisi-kondisi di atas yang penuh dengan keterbatasan tentunya bisa mempengaruhi kesehatan mental kita. Banyak jurnal penelitian menemukan bahwa pandemi berdampak secara negatif terhadap kesehatan mental dan well-being (kesejahteraan psikologis), misalnya menyebabkan kesulitan tidur, gangguan makan, stress dan kecemasan, depresi, peningkatan konsumsi alkohol atau obat-obatan terlarang, bunuh diri dan lain-lain. Dampak tersebut tidak hanya mempengaruhi kehidupan kita secara individual, namun juga kehidupan keluarga.
Selama pandemi berlangsung, keluarga mengalami kesulitan untuk menjaga batasan antara pekerjaan dengan peran dalam keluarga. Orang tua dituntut untuk bisa mengatur waktu untuk menjalankan peran dan tanggung jawab mereka dalam pekerjaan sekaligus dalam keluarga, misalnya mengerjakan tugas domestik rumah tangga, mengasuh anak, mendampingi anak belajar daring, dan lain-lain. Penelitian menemukan bahwa keluarga banyak menemukan hal-hal yang tidak terduga di tengah pandemi seperti tekanan keuangan, perawatan anak, dan beban pengasuhan tambahan. Oleh karena itu, keluarga perlu memiliki resiliensi untuk menghadapi tantangan yang ada selama pandemi.
Resiliensi keluarga merupakan kemampuan keluarga untuk memecahkan masalah dan menyesuaikan diri untuk bisa pulih dari krisis kehidupan. Pandemi COVID-19 menjadi krisis bagi seluruh keluarga dan ini bisa menjadi pengalaman unik bagi keluarga untuk menghadapi kesulitan dan bertumbuh menjadi lebih kuat dan bijaksana. Keluarga yang resilien atau tangguh dapat merespon positif terhadap kondisi pandemi dan mampu berfungsi untuk melakukan interaksi atau hubungan yang saling mendukung satu sama lain di tengah situasi yang sulit atau stressful. Sumber dukungan, baik internal atau eksternal dapat menjadi faktor penentu yang membangun resiliensi keluarga. Oleh karenanya, sangat penting bagi keluarga untuk menyediakan dan saling berbagi dukungan satu sama lain untuk bisa pulih dari krisis.
Ahli resiliensi keluarga, Walsh, menyebutkan bahwa keyakinan (beliefs) keluarga dan komunikasi keluarga pada proses pemecahan masalah dapat membantu menumbuhkan resiliensi keluarga. Beliefs melibatkan cara pandang yang dimiliki keluarga dalam situasi krisis yang kemudian mempengaruhi bagaimana keluarga berupaya mencari solusi permasalahan. Keyakinan ini berfokus pada bagaimana mengatasi kesulitan melalui pemecahan masalah, melihat keterkaitan satu sama lain dan potensi pertumbuhan yang memungkinkan keluarga untuk bersatu dan melihat situasi sebagai tantangan hidup “normal” yang harus dilalui bersama-sama. Komunikasi yang terbuka dalam keluarga dapat meningkatkan tingkat kepercayaan dan saling menghormati dan membantu untuk menerima perbedaan antara anggota keluarga dan kebebasan untuk mengekspresikan emosi.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan resiliensi keluarga? Beberapa rekomendasi di bawah ini dapat Anda gunakan untuk dipraktekan dalam keluarga Anda:
Memiliki sudut pandang yang positif terhadap situasi pandemi dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk bertumbuh bersama keluarga dan memperkuat keluarga untuk mengatasi krisis bersama.
Pandemi terjadi di luar kendali kita sebagai manusia. Yang bisa kita lakukan hanyalah mengubah respon dan perilaku kita terhadap pandemi, misalnya dengan selalu waspada dan patuh terhadap protokol kesehatan dan aturan pemerintah untuk mengurangi penyebaran COVID-19.
Pandemi COVID-19 dapat membawa hikmah bagi kita untuk lebih meningkatkan hubungan spiritual kita dengan Tuhan. Tuhan menjadi sumber spiritual dan sumber dukungan internal bagi keluarga kita untuk melewati krisis ini bersama-sama.
Keluarga yang berfungsi tinggi menghargai hubungan yang kuat dan menghadapi kesulitan sebagai tantangan bersama yang memberikan dampak positif bagi keluarga
Dengan berfokus pada pemecahan masalah, kita dapat pulih dari krisis lebih cepat sehingga kita tidak membuang energi terhadap pikiran-pikiran yang akan membuat kita menyalahkan situasi atau orang lain.
Menumbuhkan harapan akan membantu keluarga untuk bisa memiliki keyakinan terhadap sumber daya dan potensi yang dimiliki untuk bisa berhasil pulih dari krisis. Kesulitan yang ada pada krisis bersifat sementara, yakinlah pada suatu saat nanti kesulitan ini akan berakhir.
Berbagi keberanian dan semangat akan membantu keluarga untuk menemukan kekuatan dan potensi serta sumber daya yang bisa dimanfaatkan keluarga untuk bisa pulih dari krisis
Mengubah rutinitas harian, mencari inspirasi kegiatan produktif, atau membayangkan kemungkinan baru terhadap segala keterbatasan yang ada selama pandemi dapat merangsang kreativitas kita bersama keluarga. Contohnya, mencoba resep masakan baru, membuat prakarya bersama anak, menyusun rencana pembelajaran yang seru untuk anak, atau mencoba hobi baru untuk mengisi waktu (menanam tanaman, bersepeda, olahraga golf di rumah, menjahit, dan sebagainya).
Menjalin koneksi dengan orang lain akan membantu Anda tetap terhubung dengan “dunia luar” dan ini bisa menjadi sumber dukungan baru bagi kita dan keluarga kita.
Komunikasi yang sehat dan terbuka dapat dilakukan dengan menciptakan konsistensi dan kejelasan pesan yang disampaikan (kata-kata dan tindakan konsisten dan jelas); mencari kebenaran atas informasi-informasi yang ambigu, termasuk menyikapi informasi/berita hoaks; menyediakan kesempatan bagi seluruh anggota keluarga untuk mengekspresikan emosi dan pikiran secara terbuka; saling berempati dan toleransi terhadap perbedaan; menumbuhkan humor; dan memfokuskan komunikasi pada tujuan pemecahan masalah, resolusi konflik atau pengambilan keputusan bersama dalam keluarga.
Menjadi tangguh atau rapuh di masa pandemi ini adalah sebuah pilihan. Meskipun saat ini situasi terasa seperti badai, tapi ini bukan hujan yang akan turun selamanya. Jika Anda merasa sulit untuk mampu menumbuhkan resiliensi keluarga dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19, Anda dapat menghubungi psikolog Lembar Harapan untuk membantu Anda.
References:
Puput Mariyati merupakan Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang kesehatan mental dewasa dan keluarga. Isu-isu psikologi yang ia gemari adalah depresi dan stress; parenting; perkembangan anak, khususnya anak berkebutuhan khusus (special needs); serta pendekatan terapi kognitif-perilaku dan psikologi positif. Bagi pemilik motto hidup “man jadda wajada” ini, mendalami dan berperan sebagai praktisi di bidang psikologi adalah salah satu jalan baginya untuk bisa menebar manfaat pada orang lain.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3358-21-2-1