Pernahkah Sahabat Harapan mendengar “curhatan” orang tua yang mengeluhkan anaknya sulit makan atau sangat pilih-pilih makanan? Atau mungkin Sahabat Harapan sedang berada pada situasi demikian? Kesulitan makan pada anak merupakan sebuah situasi yang umum dan sering terjadi terutama pada anak usia dini. Situasi sulit makan atau sangat pilih-pilih makanan pada anak seringkali membaik dengan sendirinya tanpa bantuan dari professional kesehatan. Namun, terdapat pula kondisi anak sulit makan yang juga menjadi sebuah ancaman kesehatan fisik, misalnya kekurangan berat badan, kekurangan gizi dan nutrisi, dan kondisi kekebalan tubuh yang menurun.
Picky/fussy eating adalah kondisi dimana anak mengonsumsi makanan yang tidak memadai atau tidak bervariasi dengan cara penolakan pada makanan yang familiar maupun kurang familiar bagi mereka. Anak juga tidak mengonsumsi sejumlah makanan dengan memadai. Picky eating sering dikaitkan dengan kondisi food neophobia, yaitu kondisi ketika anak takut untuk mencoba suatu makanan yang baru yang biasanya identik dengan jenis makanan sayuran dan buah-buahan. Anak yang mengalami food neophobia cenderung takut atau menolak jenis makanan yang tidak familiar baginya berdasarkan penilaian visual (penglihatan). Berbeda dengan picky eating, anak biasanya menolak untuk makan makanan tertentu karena adanya penilaian yang keliru akan rasa, tekstur, dan bau ketika masuk ke dalam mulutnya, meskipun sebelumnya itu adalah makanan yang akrab/familiar bagi anak.
Berdasarkan data dari ALSPAC (Avon Longitudinal Study of Parents and Children), prevalensi anak yang mengalami picky eating sebesar 10% pada anak usia 24 bulan, sebesar 15% memuncak pada usia 38 bulan, dan kemudian perilaku picky eating menurun di usia 54 dan 65 bulan. Beberapa penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa usia puncak anak mengalami picky eating berada pada usia 3 tahun, meskipun terdapat beberapa studi yang juga menyatakan puncaknya berada pada usia 6 tahun. Berdasarkan penelitian-penelitian mengenai prevalensi, picky eating kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu: anak dengan pemulihan picky eating yang relatif cepat dan anak dengan picky eating yang persisten (bertahan lama).
Untuk memastikan apakah anak mengalami picky eating atau tidak, terdapat beberapa asesmen berupa kuesioner yang dapat diisi oleh pengasuh seperti Children’s Eating Behavior Questionnaire, The Child Feeding Questionnaire, The Lifestyle Behavior Questionnaire, The Stanford Feeding Questionnaire dan The Preschooler Feeding Questionnaire. Atau dengan cara yang paling mudah adalah dengan mengamati, mengobservasi, mencatat perilaku anak kemudian didiskusikan dengan profesional seperti dokter spesialis anak, ahli gizi, dan/atau psikolog anak.
Terdapat beragam kondisi yang diteliti untuk mengetahui apa penyebab dari picky eating, meskipun hingga saat ini penyebab utamanya dari situasi ini masih menjadi perdebatan. Beberapa di antaranya adalah:
Terdapat penelitian yang menemukan bahwa anak yang mendapat ASI selama <2 bulan memiliki skor yang lebih tinggi untuk kemungkinan mengalami picky eating dibandingkan anak yang mendapatkan ASI selama 6 bulan atau lebih. Namun, hingga saat ini belum ada penelitian yang membuktikan bahwa anak yang diberikan ASI maupun susu formula berpengaruh pada kondisi picky eating atau permasalahan makan lainnya.
Modeling perilaku makan ibu atau pengasuh menjadi salah satu hal yang sering diyakini mempengaruhi pola makan anak termasuk kemungkinan kondisi picky eating. Penelitian yang dilakukan oleh ibu-ibu di Australia menunjukkan bahwa, perilaku makan ibu yang terbiasa konsumsi makanan sehat saat anak berusia 1 tahun, cenderung memiliki anak yang dapat mengonsumsi sayuran dan buah-buahan dengan lebih baik ketika mereka berusia 2 tahun.
Orang tua atau pengasuh mungkin terlalu terobsesi atau berambisi agar anak makan sebanyak-banyaknya atau makan dengan sangat sedikit. Biasanya dikarenakan target dan ekspektasi berat badan anak yang diharapkan. Hal ini dapat membentuk perilaku anak untuk menghindari makanan, tidak nyaman ketika melakukan aktivitas makan karena adanya tekanan, serta berpotensi menjadi picky eating di usia lebih besar. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa adanya tekanan makan pada anak usia 4 tahun berpotensi membuat anak mengalami picky eating di usia 6 tahun. Selain itu, perilaku picky eating anak di usia 4 tahun berpotensi membuat ibu/pengasuh menerapkan perilaku tekanan makan pada anak ketika anak berusia 6 tahun.
Adanya hubungan atau kondisi emosional yang negatif antara ibu dan anak menjadi salah satu faktor resiko yang meningkatkan perilaku picky eating. Gejala depresi, kecemasan dan kesehatan mental lainnya yang dialami ibu ketika hamil juga meningkatkan resiko picky eating pada anak terutama pada usia pra-sekolah.
Selama tahun pertama kehidupan, kesulitan makan dan pengenalan lumpy food (makanan kental) yang terlambat (>9 bulan) dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan anak menjadi picky eater pada usia 38 bulan. Selain itu, tidak adanya pengenalan variasi makanan seperti sayuran dan buah-buahan pada anak juga dapat memicu perilaku picky eating di usia lebih besar.
Anak yang sulit makan sering dikaitkan dengan kondisi sensoris yang sangat sensitif atau sangat peka. Kondisi sensoris ini membuat anak tidak nyaman dengan tekstur maupun rasa dan bau dari makanan tertentu.
Menurut penelitian, kondisi utama yang ditimbulkan dari perilaku picky eating adalah kurangnya asupan gizi dan nutrisi seperti kekurangan zat besi, zinc, dan serat. Penelitian menunjukkan bahwa pada usia dini tidak terdapat perbedaan energi antara anak yang mengalami picky eating dengan anak yang tidak mengalami. Hal ini dapat terjadi karena anak yang picky tetap mendapatkan asupan energi dari makanan-makanan lain yang bersedia dia makan, misalnya snack, gula, permen, dan lain-lain. Namun, menginjak usia sekolah, energi anak yang mengalami kekurangan nutrisi biasanya menunjukkan perbedaan dengan yang tidak memiliki riwayat picky eating. Anak mungkin kekurangan energi untuk belajar, konsentrasi dan lain-lain.
Sebelum masuk kepada saran atau hal yang perlu diperhatikan ketika berhadapan dengan anak picky eating, pengasuh perlu meyakini terlebih dahulu bahwa perilaku ini adalah tahap perkembangan umum yang tidak menyebabkan kerusakan permanen pada perkembangan jangka panjang anak. Meski demikian, apabila anak menunjukkan perilaku pilih-pilih makanan lanjutan yang mengarah pada kondisi kesehatan fisik yang terus memburuk, maka anak membutuhkan bantuan profesional untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Adapun beberapa saran atau strategi-strategi utama meliputi:
Referensi:
Dovey, T. M., Staples, P. A., Gibson, E. L., & Halford, J. C. (2008). Food neophobia and ‘picky/fussy’ eating in children: a review. Appetite, 50(2-3), 181-193.
Taylor, C. M., & Emmett, P. M. (2019). Picky eating in children: Causes and consequences. Proceedings of the Nutrition Society, 78(2), 161-169.
Merupakan seorang Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang perkembangan anak usia dini dan anak berkebutuhan khusus serta mengkaji kesejahteraan psikologis individu dalam lingkup karir dan kesehatan.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Udayana, Bali
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3356-21-2-1