Di usia 3 tahun, anak mulai menyadari bahwa ia adalah seorang individu, terpisah dari pengasuh utamanya. Ia sadar bahwa ia memiliki identitasnya sendiri, termasuk memiliki dorongan dan keinginan sendiri. Kemajuan dalam perkembangan ini membuatnya melakukan eksperimen untuk melihat pengaruh perilakunya terhadap lingkungan sekitar. “Apa yang terjadi jika aku membanting mainanku meskipun Ibu sudah melarangku sebelumnya?”. Di sisi lain, kemampuan anak usia prasekolah (3-6 tahun) untuk mengontrol dorongan dalam dirinya belum berkembang dengan baik. Kemampuan ini termasuk dalam fungsi eksekutif pada otak, yakni kemampuan kognitif untuk mengendalikan pikiran, emosi, dan tindakan. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika Ayah dan Bunda mendapati anak seakan tidak menghiraukan atau menolak ketika kita memintanya untuk berhenti menonton pada waktu yang sudah disepakati bersama. Untungnya, perilaku membangkang ini hanya sementara saja. Seiring berjalannya waktu dan praktek pengasuhan yang tepat, anak akan belajar mengendalikan dorongan dalam dirinya dan mengembangkan kemampuannya untuk berempati serta bersikap kooperatif terhadap orang lain.
Tetap tenang
Dibandingkan nasehat yang disampaikan secara lisan, anak lebih mudah belajar dengan meniru perilaku orang tuanya. Jadi, ketika orang tua tetap bersikap tenang menghadapi tingkah laku anak, anak pun belajar mengelola emosi dan berinteraksi dengan orang lain. Ketika Ayah dan Bunda merasa terpancing emosinya, berhenti sejenak. Tunda diri untuk merespon perilaku anak saat itu untuk bisa menenangkan diri. Untuk menenangkan diri, Ayah dan Bunda bisa melakukan teknik pernapasan dalam atau sesekali meminta ijin kepada anak untuk menjauh sejenak dan menenangkan diri, misalnya “Ibu merasa marah saat ini, Ibu mau menenangkan diri sebentar di kamar ya”. Ayah dan Bunda dapat mempelajari lebih jauh mengenai praktek mindful parenting sehingga lebih tenang dan tepat dalam merespon anak.
Tunjukkan empati
Ketika Ayah dan Bunda memintanya berhenti bermain untuk kemudian mandi sore, anak menolak dan terlihat kesal. Saat itu, tempatkan diri pada posisi anak dan ungkapkan bahwa kita mengerti perasaannya. Namun, tetap ingatkan kesepakatan yang sudah dibuat bersama. “Iya, lagi seru ya mainnya, tetapi jarum panjang sudah ke angka 12, sudah waktunya mandi sore”. Jika ada aturan yang sepertinya sulit untuk dilakukan anak, Ayah dan Bunda bisa mengajak anak untuk mencari solusinya bersama.
Berikan batasan yang jelas dan sederhana serta peringatan awal.
Dengan batasan (aturan), anak mengetahui apa yang orang tua harapkan dari dirinya. Batasan yang jelas dan sederhana, misalnya “Kalau marah tidak memukul, katakan “Aku marah” atau “Ingat ya kita harus bergandengan tangan saat menyebrang jalan”. Batasan yang diterapkan sudah disepakati bersama atau sudah diberitahu sebelumnya dan diingatkan lagi sesaat sebelum aktivitas dimulai. Misalnya, sebelum menonton TV, ingatkan batasannya, “Menonton TV-nya sampai jarum panjang ke angka 3, ya”. Bila perlu, minta anak mengulangi aturan tersebut secara lisan. Mendekati waktu selesai, orang tua dapat memberikan peringatan awal. Pastikan anak fokus ketika diberikan peringatan tersebut. Contohnya,
Bagi anak usia prasekolah, perpindahan dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya memerlukan waktu untuk beradaptasi. Peringatan awal memudahkan anak dalam proses perpindahan ini.
Konsisten
Dalam mengajarkan perilaku pada anak prasekolah, pengulangan adalah kuncinya. Anak mungkin tidak mematuhi peraturan di awal, ketika aturan baru dikenalkan. Akan tetapi, ketika orang tua menyikapi perilakunya dengan cara yang sama setiap waktu, akan mudah bagi anak untuk belajar mengenai perilaku apa yang diharapkan dari dirinya. Oleh karena itu, ketika orang tua sudah sepakat mengenai satu aturan, terapkan secara konsisten. Semakin sering tidak konsisten, anak akan belajar bahwa aturan itu bisa dilanggar. Jangan pernah memberikan anak ancaman kosong seperti, “Ayah akan tinggalkan kamu kalau gak mau diam sekarang ya”. Ancaman kosong yakni ancaman yang tidak betul-betul dilakukan dan hanya untuk menakuti anak, mengajarkan anak bahwa omongan kita tidak bisa dipercaya.
Ajarkan anak untuk mau bersikap kooperatif
Orang tua tidak bisa sepenuhnya mengontrol anak sebab anak adalah individu yang mandiri. Namun, orang tua perlu mengajarkan anak pentingnya mendengarkan orang lain sehingga memudahkannya dalam beraktivitas sesuai harapannya. Bimbing anak untuk melihat konsekuensi dari perilakunya dan bagaimana sikap kooperatif terhadap anjuran orang tua akan memenuhi kebutuhan/ keinginannya. Sebagai contoh, “Kalau kamu tidak membereskan mainan sekarang, nanti kita tidak punya waktu untuk membaca buku bersama sebelum tidur”.
Berikan alternatif pilihan
Setiap individu memiliki kebutuhan untuk bisa mengontrol apa yang terjadi pada dirinya (sense of control), termasuk anak. Dengan memberikan pilihan, anak berkesempatan merasakan kontrol tersebut sehingga lebih memungkinkan baginya untuk menunjukkan sikap kooperatif. Contohnya, meminta anak untuk memilih di antara dua set pakaian, alih-alih memintanya untuk memakai satu pakaian tertentu. Atau anak diminta memilih dua buku yang ingin dibaca bersama.
Cara lain agar sense of control anak terpenuhi adalah dengan memberitahukan apa yang bisa/boleh ia lakukan. Misalnya anak bermain bola di dalam rumah. Orang tua sebaiknya mengatakan, “Bagaimana kalau bermain bola di halaman?”, dibandingkan mengatakan, “Jangan menendang bola di dalam rumah”.
Berikan perhatian lebih pada perilaku baik dan beri apresiasi
Perilaku akan menguat ketika diikuti dengan konsekuensi yang menyenangkan atau diharapkan oleh anak. Selain itu, pada anak usia prasekolah, memberikan apresiasi pada perilaku baik (mau membereskan mainan, menaruh baju kotor, dan lainnya) lebih efektif mengurangi perilaku buruk (perilaku membangkang), dibandingkan dengan jika orang tua memberikan hukuman ketika anak menunjukkan perilaku buruk. Ketika perilaku anak bermasalah, seringkali orang tua hanya fokus kepada perilaku buruk dan memberikan hukuman, baik fisik maupun verbal. Oleh karena itu, orang tua perlu mengamati, ‘menangkap’ perilaku anak yang menunjukkan sikap kooperatif atau menaati aturan, kemudian berikan pujian yang spesifik. Pujian yang spesifik memberikan informasi yang jelas pada anak mengenai perilaku yang diharapkan. Untuk bisa memuji secara spesifik, orang tua cukup menggambarkan perilaku yang ditampilkan anak. Contohnya, “Wah, Kakak sudah membantu Ibu membereskan mainan”, “Terima kasih ya, sudah mau menuruti Ayah untuk menyimpan sepatu di rak”.
Perilaku membangkang pada dasarnya merupakan hal yang wajar bagi anak usia prasekolah dan batita. Perilaku tidak patuh sesekali juga wajar ditampilkan anak di segala usia. Namun, jika menjelang usia sekolah (7 tahun ke atas) anak lebih sering tidak patuh dan membangkang bila dibandingkan anak-anak seusianya dan perilaku yang ditampilkan mengganggu hubungan antar anggota keluarga, Ayah dan Bunda dapat berkonsultasi kepada psikolog anak.
Menghadapi perilaku membangkang tentunya melelahkan bagi orang tua. Luangkan waktu sebisa mungkin bagi Ayah dan Bunda untuk me time, istirahat yang cukup, makan makanan bergizi dan rutin berolah raga, sehingga kondisi emosi Ayah dan Bunda juga terjaga dengan baik. Ingatlah bahwa perilaku membangkang yang ditunjukkan anak merupakan bagian yang normal dari perkembangannya. Perilaku itu menunjukkan kemampuannya untuk bisa membuat keputusan bagi dirinya sendiri dan merupakan hal yang berguna bagi masa depannya kelak. Ayah dan Bunda tidak bisa mengharapkan anak akan patuh sepanjang waktu sehingga penting untuk menyesuaikan ekspektasi sesuai tahap perkembangannya . Namun, tentu saja anak perlu tahu bahwa Ayah dan Bunda mengharapkannya untuk memperlakukan orang lain, termasuk kedua orang tuanya dengan hormat. Semangat ya, Ayah Bunda!
Referensi
Dewar, G. (2018). Positive parenting tips. Parenting Science Blog. Diakses dari https://parentingscience.com/positive-parenting-tips/
Djuwita, E. (2022). Melatih Keterampilan Executive Functions Anak Melalui Kegiatan Bermain. [Webinar]. Neurocogplast.
Leach, J. (n.d). What to do when your child is defiant. Babycentre Blog. Diakses dari https://www.babycentre.co.uk/a1022224/what-to-do-when-your-child-is-defiant
Aisyah Ibadi merupakan seorang Psikolog Klinis dengan peminatan psikologi klinis anak.
Selain memiliki ketertarikan pada tumbuh kembang anak, ia juga tertarik dengan isu-isu kesehatan mental seperti kecemasan, parental burnout dan praktik mindfulness dalam kegiatan sehari-hari. Ia ingin ilmu psikologi yang dimiliki bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.
Alumni Sarjana Psikologi Universitas Indonesia
Alumni Magister Profesi Klinis Anak Univ. Indonesia
No. SIPP 0275-22-2-2
STR 112482123-4589179 (ED. 2028)