Masa dewasa ini, penggunaan bahasa internasional menjadi salah satu poin penting dalam kehidupan. Individu yang mampu menggunakan lebih dari satu bahasa internasional sering dianggap lebih siap bersaing dalam dunia kerja, pendidikan maupun relasi sosial-masyarakat. Tak jarang juga individu yang mampu menguasai banyak bahasa terlihat atau dianggap lebih cerdas dibandingkan individu yang menguasai satu bahasa. Hal ini membuat banyak orang tua juga yang memiliki harapan agar anak-anak mereka mampu menguasai bahasa internasional setidaknya bahasa Inggris, sehingga mendaftarkan anak mereka pada lembaga pendidikan berbasis internasional. Orang tua kemudian mulai menerapkan pola komunikasi “bilingual” ketika berinteraksi sehari-hari di rumah.
Di sisi lain, banyak juga orang tua yang percaya bahwa sebaiknya anak hanya diajarkan satu bahasa sebelum diajarkan bahasa lainnya. Mengajarkan anak lebih dari satu bahasa dianggap akan membuat anak mengalami masalah perkembangan bahasa karena anak bisa saja menjadi bingung antara penggunaan bahasa ibu dan bahasa tambahan lainnya. Selain itu, seringkali penerapan interaksi bilingual dianggap menjadi salah satu faktor penyebab anak mengalami berbagai gangguan bahasa atau komunikasi di usia dini.
Lalu, apakah sebenarnya bilingual itu benar-benar berpengaruh pada perkembangan anak? Mari kita bahas lebih jauh mengenai Bilingual pada anak.
Bilingual adalah hal yang biasa terjadi di seluruh negara di dunia, dimana satu dari tiga orang memiliki kemampuan bilingual. Bilingual tidak terbatas hanya pada penguasaan bahasa ibu dengan bahasa internasional, melainkan juga bahasa daerah. Di Indonesia, terdapat beragam bahasa daerah selain bahasa Indonesia yang baku digunakan. Anak-anak yang dibesarkan dan menguasai bahasa Indonesia dan bahasa daerah juga sebenarnya dapat disebut anak Bilingual. Pada kajian artikel ini, pembahasan bilingual lebih kepada bahasa ibu dan bahasa internasional atau bahasa dari negara lain (misalnya: Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris atau Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin, dsb).
Kenyataannya sampai saat ini, tidak ada penelitian yang benar-benar menjelaskan apakah terdapat perbedaan anak bilingual dengan anak yang monolingual, terutama dari segi kognitif maupun perkembangan bahasa. Terdapat penelitian yang menjelaskan bahwa anak bilingual memiliki beberapa keunggulan dibandingkan anak monolingual. Namun, ada juga penelitian yang mendapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari berbagai aspek perkembangan antara anak yang bilingual dengan monolingual. Dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut apakah permasalahan-permasalahan yang muncul pada anak memang disebabkan karena penerapan interaksi bilingual atau sebenarnya ada faktor lain.
Ada beberapa fakta yang berkaitan dengan mitos dalam membesarkan anak bilingual, yaitu “kebingungan bahasa” dan “keterlambatan bahasa”. Meskipun banyak orang tua yang takut bahwa menggunakan dua bahasa akan mengakibatkan kebingungan bagi anak-anak mereka, belum ada bukti penelitian yang mendukung hal ini. Sebaliknya, menggunakan dua bahasa dalam sebuah percakapan cenderung membuat individu lebih dapat menguasai kedua bahasa tersebut. Selain itu, sampai saat ini tidak ada bukti ilmiah bahwa mendengar dua bahasa atau lebih menyebabkan keterlambatan atau gangguan dalam pemerolehan bahasa. Penelitian menunjukkan bahwa banyak anak bilingual yang berkembang normal meski mencampur dua bahasa mereka.
Orang tua biasanya khawatir akan kemampuan berbahasa anak yang sering melakukan mix words atau bahasa campur-campur (terdapat dua bahasa dalam sebuah kalimat). Kejadian ini disebut code mixing yang sebenarnya merupakan sebuah bagian dari proses yang umum dan natural terjadi ketika anak dibesarkan dengan interaksi bilingual. Code mixing bahkan dianggap sebuah sign bahwa anak memiliki motivasi untuk berinteraksi dengan lebih dari satu bahasa serta tanda sebuah kreativitas dalam berbahasa.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak bilingual memiliki keuntungan dalam beberapa aspek kehidupan, antara lain:
Fungsi kognitif disini mengacu kepada mekanisme atau kemampuan otak untuk menerima informasi. Terdapat penelitian yang menjelaskan bahwa anak yang dibesarkan dengan interaksi bilingual memiliki kompetensi untuk berfokus pada tugas-tugas dan kemampuan konsentrasi yang lebih baik dibandingkan anak-anak monolingual.
Belajar bahasa berarti kita juga belajar budaya. Anak-anak bilingual biasanya memiliki peluang yang lebih tinggi untuk menjalin relasi dekat dengan teman maupun mempelajari budaya selain budaya asalnya. Maka dari itu, anak-anak ini akan cenderung memiliki sikap positif serta menghargai budaya dan kelompok lain.
Kemampuan berbicara lebih dari satu bahasa membuka peluang yang lebih besar bagi anak untuk masuk ke dalam sekolah atau universitas favorit, terutama kemampuan berbicara bahasa Inggris. Dalam jangka panjang, individu bilingual memiliki peluang kerja yang lebih luas, mengingat banyaknya perusahaan yang mengutamakan karyawan yang menguasai lebih dari satu bahasa.
Selain keunggulan, para ahli dan peneliti masih memperdebatkan pengaruh negatif pengajaran bilingual kepada anak. Sampai saat ini, permasalahan anak yang dibesarkan dengan interaksi bilingual dikaitkan dengan adanya permasalahan proses saraf/otak (neurocognitive), gangguan perkembangan dan hambatan fisik lainnya. Meskipun bukan menjadi penentu utama permasalahan pada perkembangan anak, memaksakan anak untuk belajar lebih dari satu bahasa tidak direkomendasikan kepada anak dengan kondisi khusus (misalnya anak-anak dengan gangguan perkembangan).
Belum banyak penelitian yang menjelaskan kapan waktu yang tepat untuk anak diajarkan bahasa tambahan. Namun terdapat hasil penelitian yang menjelaskan bahwa individu yang dibesarkan dengan interaksi bilingual sebelum usia 5 tahun lebih mampu mempelajari bahasa tambahan mereka. Penemuan ini berkaitan dengan perubahan dan perkembangan struktur otak ketika anak menjadi bilingual sejak dini. Ketika memasuki masa Taman Kanak-kanak, proses bilingual pada anak juga dinyatakan berkembang lebih baik.
Anak-anak tidak semata-mata langsung bisa sebuah bahasa. Mereka membutuhkan lingkungan yang sangat mendukung dan kaya untuk belajar berbicara. Anak-anak belajar berbicara hanya ketika mereka mendengar orang berbicara kepada mereka dalam banyak situasi yang berbeda. Dalam membesarkan anak bilingual, interaksi langsung adalah cara yang paling efektif. Adapun strategi yang dapat orang tua lakukan ketika mengajarkan bilingual pada anak.
Penelitian mengenai dampak dari anak yang dibesarkan dengan interaksi bilingual masih terus berkembang dan belum ada pernyataan yang pasti mengenai hal tersebut. Terlepas dari urgensi maupun keunggulan lainnya, yang terpenting adalah orang tua dan masyarakat perlu menanamkan bahwa anak cerdas tidak hanya ditandai dengan kemampuan menguasai banyak bahasa. Masih banyak aspek-aspek lain yang berkontribusi dalam kemampuan kognitif anak, tidak hanya kemampuan bahasa. Maka dari itu, sangat penting bagi orang tua untuk bijak mempertimbangkan sumber daya dan kemampuan sebelum memutuskan untuk membesarkan anak dengan bilingual.
Apabila orang tua masih ragu menentukan keputusan maupun bagaimana cara menerapkan interaksi / komunikasi yang tepat kepada anak, silahkan kontak tim Lembar Harapan ya!
Definisi kata berbintang (*):
Referensi:
Nicoladis, E., Charbonnier, M., & Popescu, A. (2006). Second language/bilingualism at an early age with emphasis on its impact on early socio-cognitive and socio-emotional development. Encyclopedia on early childhood development.
Pransiska, R. (2016, November). Benefits of bilingualism in early childhood: A booster of teaching English to young learners. In 3rd International Conference on Early Childhood Education (ICECE 2016) (pp. 390-393). Atlantis Press.
Rosenberg, M. (1996). Raising bilingual children. The Internet TESL Journal, 2(6), 53-69.
Soh, O. K., Azman, H., & Ho, S. M. (2020). A Systematic review on bilingualism and language processing from 2015-2019. 3L: Language, Linguistics, Literature®, 26(1).
Merupakan seorang Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang perkembangan anak usia dini dan anak berkebutuhan khusus serta mengkaji kesejahteraan psikologis individu dalam lingkup karir dan kesehatan.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Udayana, Bali
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3356-21-2-1