Layaknya orang dewasa, anak-anak juga dapat mengalami fase grieving atau kedukaan. Berbeda dengan orang dewasa, anak biasanya menunjukkan cara untuk menghadapi fase kedukaan dengan berbagai bentuk perilaku. Perilaku ini biasanya berbeda dengan karakteristik kepribadian anak sehari-hari sehingga seringkali orang-orang terdekat menganggap anak berubah. Seringnya, perubahan ini dikonotasikan dengan perilaku negatif.
Perilaku anak dalam menghadapi kedukaan atau kehilangan
Grief atau kedukaan adalah reaksi normal dan wajar yang dapat dialami oleh siapapun, termasuk anak saat kehilangan seseorang yang sangat berarti bagi hidupnya. Grief bukanlah sesuatu yang harus kita perbaiki, justru merupakan pengalaman yang perlu dijalani oleh anak dengan pendampingan orang dewasa di dekatnya. Anak-anak membutuhkan orang dewasa yang “sabar” untuk membantu mereka beradaptasi dari kedukaan. Mengapa? Jawaban termudah adalah karena anak-anak belum memiliki banyak cara dan pilihan untuk bisa mengatasi segala rasa kehilangannya.
Pada anak-anak yang lebih muda, mereka belum memahami betul arti dari “meninggal” atau “mati”. Mereka masih merasa bahwa orang tua, saudara, hewan peliharaan yang meninggal ini hanya hilang beberapa waktu. Sama seperti tokoh pahlawan yang biasa mereka lihat, sosok yang dianggap meninggal ini akan kembali atau “hidup” kembali. Pada anak yang lebih dewasa, sangat wajar apabila mereka masih merasa terkejut atas kematian seseorang, terlebih lagi orang tua. Mereka akan lebih banyak menunjukkan kesedihan dan kemurungan dalam jangka waktu yang lama, bahkan di hari-hari spesial mereka, saat anak dapat mengenang orang yang meninggal. Marah juga menjadi respon natural yang sering dimunculkan pada perilaku anak. Kemarahan ini dapat ditunjukkan dari respon saat bermain (tiba-tiba berteriak, menangis, memukul, dst), sering mimpi buruk, sensitif dan mudah marah pada berbagai hal. Seringnya kemarahan ini ditunjukkan pada anggota keluarga yang masih hidup.
Tentu saja, orang dewasa di dekat anak dapat memulai dengan berusaha memahami kondisi anak. Bayangkan di hari-hari biasa anak, mereka bercengkrama, bermain, saling berinteraksi dengan orang yang mereka kasihi, kemudian disaat berikutnya semua hal tersebut hilang tanpa dipersiapkan sebelumnya.
Orang dewasa yang berada di dekat anak harus memberikan pendampingan pada proses kedukaan. Perlu orang dewasa ketahui bahwa anak seringkali juga memiliki pemikiran bahwa dia adalah menjadi penyebab kematian orang tua atau hewan kesayangannya. Mungkin anak pernah berdoa atau berharap bahwa individu tersebut tidak ada atau mungkin Tuhan marah karena anak membenci orang tua dan sebagainya. Oleh sebab itu, penting bagi orang dewasa menjelaskan hal yang sebenarnya kepada anak tentang kematian sesuai dengan usia anak. Dengan berusaha menutupinya, akan menimbulkan masalah baru bagi anak.
Apa yang dapat orang tua atau orang dewasa terdekat lakukan?
Orang tua atau orang dewasa yang mendampingi tidak perlu berusaha menghilangkan kesedihan pada anak. Terima dan dampingi saat anak merasakan emosi negatif yang intens dengan memeluk, mendengarkan mereka bercerita, mengenang bersama memori tentang orang terkasih. Sebetulnya, saat orang dewasa berusaha menghindari pembahasan atau menutup-nutupi perasaan sedih berkaitan dengan orang yang meninggal, anak merasa bahwa hanya dirinyalah yang merasa kehilangan. Anak juga dapat merasa bahwa menyampaikan atau menunjukkan emosi sedih tidak diperkenankan.
Orang lain mungkin akan dengan mudah mengatakan, “Hari ini mungkin terasa berat, tak apa-apa. Besok semoga akan jauh lebih baik”. Apakah benar demikian? Mungkin iya, mungkin tidak. Dalam kehidupan sehari-hari, ketidakhadiran orang yang sangat berarti bagi kita akan sangat terasa. Ini adalah beban yang sangat besar untuk dibawa sepanjang hidup dan tidak boleh diabaikan. Ini adalah rasa kehilangan yang tidak pernah berakhir dan pemulihan yang tidak akan pernah selesai. Namun, dengan bantuan, kesabaran, perhatian dan pengertian, sedikit demi sedikit, sepotong demi sepotong, anak-anak akan belajar beradaptasi agar dapat tetap melanjutkan hidup tanpa kehadiran orang yang disayanginya.
Referensi:
American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. (June, 2018). Grief and Children. Diakses dari https://www.aacap.org/AACAP/Families_and_Youth/Facts_for_Families/FFF-Guide/Children-And-Grief-008.aspx
Silverman, Phyllis R., Madelyn, Kelly. (2009). A Parent’s Guide to Raising Grieving Children. New York, NY: Oxford University Press.
Paramita Estikasari adalah seorang psikolog klinis dengan spesialisasi pada bidang psikologi klinis anak dan remaja. Mita merupakan lulusan sarjana psikologi Universitas Diponegoro dan melanjutkan studi magister dan profesi psikolog di Universitas Indonesia. Selain mendalami parenting, tumbuh kembang anak, dan anak berkebutuhan khusus, Mita juga memiliki ketertarikan pada lingkup hubungan relasi romantis dan pernikahan. Umumnya Mita menggunakan pendekatan dalam konseling/terapi dengan menggunakan Cognitive Behavioral Therapy dan pendekatan Behaviorisme.
No.SIPP (Surat Izin Praktik Psikologi): 3692-21-2-1