Mekanisme Emosi Marah di Otak Saat Menguasai Diri, Bagaimana?

Marah merupakan emosi yang paling kuat dan vital dibandingkan emosi-emosi yang lain seperti cemas, takut, dan sedih. Kemarahan muncul sebagai usaha untuk mengelola rasa takut (merasa keselamatan diri terancam) atau untuk meningkatkan harga diri dengan melakukan tindakan mendominasi orang lain. Apabila emosi marah tidak ditangani dengan baik, maka dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain (menyebabkan pertengkaran, kekerasan fisik, dan melukai diri sendiri). 

Apa saja komponen atau unsur dari emosi marah?

Saat marah, hal-hal berikut muncul di dalam diri kita meliputi:

  1. Gairah (arousal)

Ini muncul sebagai reaktivitas otonom atau ketegangan yang terjadi akibat dari provokasi. Contoh: peningkatan denyut jantung,  otot menegang, perubahan ekspresi wajah, serta pelepasan adrenalin sebagai respon terhadap stres saat kita merasa terprovokasi, terancam, atau tersakiti.

  1. Kognisi

Emosi marah mengaburkan perhatian dan proses kognisi individu. Sebetulnya arousal atau gairah pada poin pertama terjadi relatif singkat, tetapi hambatan proses kognisi yang kemudian muncul saat marah menyempitkan perhatian individu sehingga hanya fokus pada pikiran tentang situasi atau sesuatu yang memprovokasi atau mengancam. Hal ini membuat emosi negatif bertahan lebih lama. 

  1. Regulasi emosi

Ini merupakan kondisi untuk menurunkan kondisi marah setelah terprovokasi. Kapasitas ini juga disebut sebagai kemampuan seseorang untuk mengevaluasi kembali apakah kondisi provokatif benar-benar mengancam sehingga perlu diambil tindakan menyelamatkan diri.

  1. Tampilan fisiologis dan perilaku marah

Ini termasuk ekspresi wajah dan tubuh (dianalogikan hewan yang memamerkan taringnya) seperti mengatupkan rahang, mengerutkan dahi, mengepalkan tangan dst. Tanpa adanya ekspresi fisiologis dan perilaku dari marah, pertengkaran fisik jarang terjadi. 

Apa yang terjadi pada otak kita saat marah?

Saat kita marah, terjadi serangkaian peristiwa fisiologis yang kompleks di dalam tubuh. Pertama-tama saat kita marah, bagian otak yang bernama amigdala menjadi aktif. Amigdala ini berfungsi untuk mengidentifikasi ancaman terhadap kesejahteraan kita dan mengirim “alarm” saat ancaman dideteksi agar kita dapat mengambil langkah-langkah untuk melindungi diri. Amigdala sangat efisien dan tepat untuk memperingatkan kita tentang adanya suatu ancaman. Oleh sebab itu, sering kali amigdala membuat kita bereaksi dengan spontan sebelum informasi mengenai “ancaman” ini sampai pada bagian otak yang lain yang bertanggung jawab untuk melakukan evaluasi dan penilaian (prefrontal korteks), apakah ancaman itu benar-benar ada? Hal tersebut menunjukkan bahwa otak kita didesain sedemikian rupa untuk dapat bertindak sebelum kita dapat mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan kita. 

Meskipun demikian, kondisi sistem otomatis dari amigdala ini tidak dapat dijadikan alasan bahwa kita dapat berperilaku buruk terutama dalam mengekspresikan emosi marah. Sebetulnya, tubuh kita juga didesain untuk bisa mengendalikan impuls agresif dengan beberapa latihan. Studi menemukan bahwa saat kita belajar untuk mengaktifkan prefrontal korteks terjadi penurunan agresivitas dan penurunan tingkat kemarahan. Hal ini memberikan gambaran bahwa keterampilan mengelola emosi marah merupakan sesuatu skill yang harus dipelajari, bukan sesuatu yang serta merta hadir dengan sendirinya dan lahir secara naluriah.

Apa yang terjadi kemudian di dalam tubuh saat kita marah?

Saat marah, otot-otot di tubuh kita akan menegang. Ekspresi  wajah dan perilaku kita mulai berubah (wajah memerah, melotot, mengepalkan tangan, dst). Di dalam otak, bahan kimia neurotransmitter yang disebut dengan katekolamin dilepaskan, dampak dari katekolamin ini adalah kita mengalami ledakan energi selama beberapa menit. Momen terjadinya ledakan energi inilah yang menggerakkan kita untuk mengambil tindakan perlindungan dengan segera yang biasanya disebut flight or fight. Ini adalah reaksi yang wajar terjadi saat kita merasa terancam.

Pada saat yang sama, detak jantung meningkat dan laju pernapasan akan semakin cepat. Wajah akan memerah karena peningkatan aliran darah yang ekstrim di seluruh anggota tubuh yang ditujukan untuk persiapan mengambil tindakan fisik atau tindakan perlindungan yang diperlukan (kondisi arousal). Fokus perhatian kita akan menyempit, hanya terfokus pada sasaran yang menyebabkan kita marah. Saat kondisi ini sudah terjadi, kita tidak akan mampu untuk memperhatikan hal lain (kondisi marah mempengaruhi kognisi). Setelah beberapa waktu, tidak hanya neurotransmitter katekolamin, tetapi hormon tambahan yang berada di otak akan dilepaskan, di antaranya adalah adrenalin dan noradrenalin, yang pada akhirnya memicu gairah ledakan amarah supaya bertahan lebih lama. Kondisi yang menandai bahwa kita “siap” untuk bertarung.

Meskipun tampaknya amigdala dan berbagai neurotransmitter serta hormon memegang kendali saat kita marah, tetapi ada bagian otak yang disebut prefrontal korteks yang diciptakan untuk membantu kita menjaga dan mengelola emosi sehingga emosi marah dapat disalurkan dengan lebih proporsional dan adaptif. Tugas prefrontal korteks adalah mematikan atau melakukan shutdown emosi sehingga menjaga berbagai hal yang terjadi tetap dibawah kendali (regulasi emosi). Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kendali atas kemarahan, kita perlu mempelajari cara untuk membantu prefrontal korteks menguasai amigdala sehingga kita memiliki kendali untuk dapat bereaksi dengan tepat saat dikuasai emosi atau perasaan marah. 

Bagaimana cara mengelola emosi marah?

Seperti yang diketahui bahwa emosi marah menyebabkan munculnya arousal, mengganggu proses kognitif, dan memunculkan perilaku tertentu. Kita dapat mengurangi emosi marah dengan melakukan intervensi pada satu atau lebih area terdampak. Di antara beberapa cara, cara yang dapat dilakukan untuk membantu prefrontal korteks meredam amarah adalah dengan mempelajari teknik relaksasi. Mengapa relaksasi? Hal ini karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa saat kita marah, otot-otot di dalam tubuh kita menegang dan memblokir semua akses informasi dan atensi kecuali fokus kita pada si penyebab marah. Dengan melakukan teknik relaksasi, gairah atau energi kita akan berkurang begitu pula dengan aktivitas di amigdala yang diharapkan akan menurunkan emosi marah. Selain itu teknik dengan mengontrol pikiran juga dapat dilakukan supaya kita dapat berlatih untuk membuat penilaian yang logis terhadap situasi marah dan mengesampingkan reaksi emosional (kita dapat membuat pilihan untuk mengedepankan pikiran atau perasaan saat marah). 

Sebetulnya, tubuh memiliki fungsi yang saling melengkapi untuk mempertahankan diri pada kondisi seimbang (homeostatis). Saat tubuh ada di fase “menyerang” karena dikuasai oleh emosi marah, di sisi lain tubuh juga dilengkapi dengan fungsi untuk “mengistirahatkan” diri dari emosi marah. Akan tetapi, untuk sampai pada fase istirahat, membutuhkan waktu yang cukup lama, berjam-jam bahkan berhari-hari. Bahkan meskipun kita sudah tenang, butuh waktu sangat lama untuk kembali ke kondisi istirahat atau kondisi “normal” kembali. Selama periode pendinginan yang lambat setelah marah ini, kita tetap akan cenderung mudah marah pada situasi-situasi sederhana yang seharusnya tidak membuat kita marah. Pada intinya. kita masih berada pada fase iritasi ringan atau sensitif untuk beberapa waktu. Oleh sebab itu, kita membutuhkan waktu untuk terus belajar mengelola amarah ini.

Jadi teman-teman, kenali tanda-tanda tubuhmu saat akan marah kemudian berlatihlah untuk meregulasi emosi marah. Ingat regulasi emosi merupakan keterampilan yang perlu dilatih dan tidak serta merta hadir dengan sendirinya. Perlu latihan berkali-kali dan mengetahui beberapa strategi untuk mengelola emosi marah. Artikel kami sebelumnya mengenai strategi mengelola kemarahan juga dapat diakses lho melalui link  https://lembarharapan.id/artikel/strategi-mengelola-kemarahan/ Selamat berlatih!

Referensi

Alia-Klein, N., Gan, G., Gilam, G., Bezek, J., Bruno, A., Denson, T. F., Hendler, T., Lowe, L., Mariotti, V., Muscatello, M. R., Palumbo, S., Pellegrini, S., Pietrini, P., Rizzo, A., & Verona, E. (2020). The feeling of anger: From brain networks to linguistic expressions. Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 108, 480–497. https://doi.org/10.1016/j.neubiorev.2019.12.002

MentalHelp.net. (April 28, 2022). Physiology of Anger. An American Addiction Centers Resource. https://www.mentalhelp.net/anger/physiology/

Yadav, P.K., Yadav, R.L., & Sapkota, N.K. (2017). Anger; its impact on human body. Innovare Journal of Health Science, 4 (5), ISSN: 2347-5544

2021 © All Rights Reserved. LembarHarapan.id