Manusia memiliki beragam fase dan tugas perkembangan selama hidupnya. Manusia akan mengalami krisis dan tantangan pada setiap perubahan fase tersebut untuk beradaptasi dengan perubahan peran dan tanggung jawab. Setelah kita berusia kanak-kanak, kita beranjak ke fase kehidupan remaja, dimana fase ini ditandai dengan banyak perubahan. Mulai dari perubahan fisik, ketertarikan dengan lawan jenis, dan membentuk identitas diri sebagai seorang remaja. Ketika memasuki usia 20-an, kita dihadapkan dengan banyak perubahan peran dan tanggung jawab serta banyaknya pilihan hidup setelah lulus pendidikan. Ketika memasuki usia dewasa, kita mulai mempertanyakan lebih dalam mengenai tujuan hidup, makna pekerjaan, hubungan asmara serta hubungan sosial. Banyaknya peran dan pilihan pada masa ini seringkali menciptakan perasaan kebingungan, tidak berdaya, kesulitan untuk membuat keputusan, serta perasaan putus asa dan merasa “tersesat”. Hal inilah yang disebut sebagai Quarter Life Crisis.
Suatu respon terhadap ketidakstabilan yang memuncak, perubahan yang konstan, terlalu banyaknya pilihan, serta perasaan panik dan tidak berdaya (sense of helplessness) yang biasanya muncul pada individu di rentang usia 18-29 tahun (20an). Individu akan merasa takut, cemas, dan bingung arah kelanjutan masa depan hidupnya terkait karir, relasi, dan kehidupan sosial. QLC bukanlah istilah dari sebuah gangguan psikologis, melainkan sebuah fenomena yang biasanya terjadi pada individu yang mengalami transisi dari dunia “akademis” (menjadi seorang siswa/mahasiswa) ke “dunia nyata” (bekerja, menikah, dll). Setiap individu pasti melewati fase quarter life, namun tidak semuanya mengalami krisis. Hal ini bergantung pada faktor internal maupun eksternal yang dimiliki individu, misalnya: kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah, beradaptasi, stabilitas emosi, adanya dukungan sosial-emosional / support system, akses kesehatan fisik maupun psikologis, kondisi sosial-ekonomi, dan sebagainya.
Apabila Anda mengalami kekhawatiran dan merasa kehilangan identitas diri dalam jangka waktu yang lama, bahkan melewati fase seharusnya, maka Anda perlu melakukan konsultasi lebih lanjut ke profesional sehingga respon atas QLC dapat diatasi. Fase QLC biasanya dialami di rentang usia 18 – akhir 20an. Umumnya, setelah melewati tahapan tersebut, orang akan dihadapkan dengan tuntutan lain dan transisi perkembangan selanjutnya, misalnya Middle Life Crisis (krisis yang biasanya dihadapi oleh individu yang memasuki usia 50an).
QLC yang tidak teratasi berpotensi menyebabkan individu mengalami:
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, manusia pada umumnya akan melewati fase quarter life beserta tuntunan dan tanggung jawabnya, namun tidak semua mengalami krisis. Hal ini dapat disebabkan karena adanya faktor-faktor pendukung yang membuat individu mampu beradaptasi dan melewati fase quarter life dengan baik. Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat melewati fase ini antara lain sebagai berikut:
Memang sangat sulit untuk tidak membandingkan diri sendiri dan orang lain. Namun, ketika perbandingan diri yang kita lakukan dengan orang lain lebih banyak membuat diri kita merasa menjadi “bukan apa-apa” maka hal ini perlu dihindari. Dibandingkan membandingkan diri untuk merasa menjadi rendah diri, lebih baik ubah strategi kamu untuk mencari “role model” dalam kehidupan. Jadikanlah role model tersebut sebagai sosok inspirasi dan tempat belajar yang mengembangkan nilai-nilai kehidupanmu.
Selain membuat tujuan, target, dan rencana (plans) apa yang bisa dilakukan, jangan lupa untuk mengidentifikasi hambatan (barriers) apa yang akan kita hadapi ketika hendak mencapai tujuan (goals) kita. Hal ini membantu kita untuk berpikir dari sudut pandang lain dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan untuk mencapai tujuan tersebut.
Sebagai seorang makhluk sosial, kita sangat membutuhkan bantuan orang lain. Kamu tidak harus memiliki banyak teman untuk merasa memiliki support system. Jalinlah hubungan yang hangat dan dekat dengan teman baikmu sehingga kualitas hubungan terbangun dengan baik. Support system juga bisa kita dapatkan dari keluarga, pasangan, maupun komunitas.
Beri batasan pada diri kamu untuk melihat media sosial. Penelitian menunjukkan bahwa media sosial dapat meningkatkan perasaan insecurity, penurunan harga diri dan kepercayaan diri
Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dibandingkan berusaha keras untuk terus menutupi dan menolak kekurangan yang kamu miliki, cobalah belajar menerima kekurangan tersebut sebagai bagian dalam diri kamu. Penerimaan akan kelebihan dan kekurangan dalam diri pun akan meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupmu.
Sadarilah bahwa tuntutan dan tantangan ini dihadapi oleh setiap orang. Berdiskusi dengan rekan seusiamu dan saling bertukar pendapat mengenai bagaimana menyelesaikan masalah satu sama lain akan membantumu melewati fase ini.
Bekerja sesuai passion memang sebuah hal yang diharapkan oleh banyak orang. Namun apabila eksplorasi diri akan potensi menjadi terhenti karena kamu terus berpikir mengenai “apa passionku?” maka akan banyak waktu dan kebingungan yang akan kamu alami. Apabila kamu belum menemukan passion-mu, that’s okay! Tidak ada patokan usia khusus kapan dirimu harus menemukan passion dalam hidup. Cobalah banyak hal untuk mengetahuinya, jangan sampai pemikiran berulang mengenai passion malah menghentikanmu untuk mencoba aktivitas atau membuat suatu keputusan
(Baca lebih lengkap mengenai passion di https://lembarharapan.id/artikel/hobby-vs-passion-apakah-kita-harus-bekerja-atau-melakukan-aktivitas-sesuai-passion-kita/).
Krisis yang dialami individu secara berkepanjangan bisa disebabkan karena persoalan yang lebih kompleks dibandingkan pada umumnya. Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dahulu akar permasalahan maupun penyebab permasalahan individu. Misalnya, kecemasan akan tidak mendapatkan pasangan hidup juga dapat berhubungan dengan keterampilan seseorang bersosialisasi, adanya trauma masa lalu atau mungkin pelecehan seksual. Begitu pula dengan urusan karir dan pengembangan diri. Maka dari itu, apabila kamu merasa masih kesulitan untuk menghadapi tantangan dalam QLC, tidak perlu ragu untuk mengunjungi konselor, psikolog, atau hubungi Tim Lembar Harapan ya!
Referensi:
Merupakan seorang Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang perkembangan anak usia dini dan anak berkebutuhan khusus serta mengkaji kesejahteraan psikologis individu dalam lingkup karir dan kesehatan.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Udayana, Bali
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3356-21-2-1