Komunikasi merupakan hal penting yang tidak dapat kita pisahkan dari hidup kita sebagai makhluk sosial. Terkadang, keberhasilan kita dalam hidup ditentukan oleh kualitas hubungan yang dapat kita bentuk dengan orang lain. Kemampuan komunikasi yang baik dan memberikan win-win solutions untuk kedua belah pihak tidak dapat dilakukan semua orang, terutama saat berhadapan dengan konflik. Komunikasi yang lebih dalam dan lebih jujur mampu menciptakan ikatan baru dan mengubah orang lain, situasi, dan hubungan. Kematangan untuk dapat melakukan komunikasi yang baik dapat membantu menentukan kejelasan atas tanggung jawab, harapan dan karenanya dapat meningkatkan keharmonisan hubungan. Apabila komunikasi mengenai konflik dalam hubungan dibiarkan berlalu begitu saja, standar yang sudah kita atur untuk diri kita dapat menurun dan secara tidak sadar perilaku yang tidak diinginkan dapat berlanjut.
Di setiap lini kehidupan kita, kita akan menemukan percakapan penting sepanjang waktu, mulai dari penilaian kinerja di tempat kerja, hingga masalah hubungan romantis dengan pasangan. Keterampilan komunikasi yang kita butuhkan di setiap lini kehidupan tersebut sama.
Dalam sebuah hubungan, di tengah pertikaian yang memanas, individu masuk dalam salah satu dari tiga kelompok perilaku: mereka yang larut secara emosional dan menggunakan ancaman/hinaan kepada satu sama lain; mereka yang diam-diam merasa kesal; dan mereka yang berbicara secara terbuka, jujur, dan efektif. Kemungkinan untuk mempertahankan hubungan akan lebih tinggi pada kelompok ketiga, yaitu mereka yang berbicara secara terbuka, jujur, dan efektif. Percakapan penting dapat mempengaruhi kehidupan kita jika tidak ditangani dengan benar, yang pada akhirnya ini dapat menyebabkan kehancuran hubungan. Seluruh hubungan bergantung pada bagaimana ketiga kelompok perilaku ditangani. Kenyataannya, banyak orang yang tidak menanganinya dengan baik atau cenderung mengabaikannya. Banyak orang berharap situasi akan teratasi dengan sendirinya.
Sebuah buku berjudul Crucial Conversation–Tools for Talking When The Stakes Are High yang ditulis oleh Kerry Patterson, Joseph Grenny, Ron McMillan and Al Swizler menguraikan proses untuk dapat melakukan pembicaraan penting dengan baik. Proses ini terdiri atas 7 tahapan, yaitu:
Mulailah dengan hati, gunakan empati dan niat yang positif. Terkadang, bagaimana kita mendiskusikan sebuah permasalahan merupakan masalah yang lebih penting daripada apa yang kita diskusikan. Kita perlu menempatkan diri di tempat yang tepat dan menciptakan ruang yang tepat untuk orang lain. Oleh karena itu, hal pertama yang perlu kita lakukan adalah mengelola emosi dan pola pikir kita.
Apabila kita menghadapi sebuah permasalahan dengan emosi dan pola pikir yang tidak tepat serta memulai komunikasi saat rasa marah dan dendam menguasai diri kita, apa yang coba kita komunikasikan tidak akan berjalan sesuai dengan kebutuhan kita. Kita harus memulai komunikasi dengan niat positif dan niat baik untuk diri kita sendiri dan orang lain.
Berusaha mengubah orang lain lebih sulit daripada mengubah diri sendiri sehingga prinsip utama untuk mulai mengkomunikasikan hal yang sulit adalah dengan memulai dari diri sendiri. Tanpa kita sadari, kita sering kali merasa bahwa orang lain adalah sumber masalahnya, padahal faktanya kita juga bersalah. Sebagai contoh, dalam hubungan kita sering memberikan kode-kode, bersembunyi di balik desahan, mengangkat alis, sarkasme atau sindiran daripada secara langsung mengungkapkan apa yang tidak kita sukai dari pasangan kita. Ketika kita memutuskan untuk mengatakan atau melakukan sesuatu, kita melakukan tindakan ekstrim, yang berlebihan, komunikasi yang terlalu direktif dan didaktik (dimana kita tidak mendengarkan lawan bicara dan merasa lawan bicara wajib mendengarkan kita).
Kita perlu memasuki percakapan dalam keadaan terbuka dan tidak mengasumsikan bahwa apa yang kita katakan merupakan satu-satunya kebenaran. Bagaimanapun juga, kita mungkin salah. Oleh karena itu, kita perlu memastikan bahwa kita memahami perbedaan perspektif/makna yang dimiliki oleh lawan bicara kita untuk memulai komunikasi yang efektif.
Kita juga perlu untuk saling menghormati satu sama lain. Sering kali, rasa tidak hormat datang dari fokus pada perbedaan. Kita perlu untuk membangun rasa hormat dengan mengalihkan fokus pada persamaan yang kita miliki dengan lawan bicara. Kita semua memiliki kelemahan dan ini membantu kita untuk menyadari bahwa kelemahan yang mereka miliki serupa dengan kelemahan yang kita miliki.
Dalam sebuah percakapan, kita perlu untuk tetap berada di dalam topik yang sedang kita bicarakan karena apabila jalur komunikasi terputus, maka tidak ada harapan untuk penyelesaian masalah itu sendiri. Hanya ketika kita berbicara sesuai dengan topik, kita dapat mengeluarkan semua informasi relevan secara terbuka dan hal ini membutuhkan aliran informasi dua arah.
Kita perlu membuat lawan bicara kita merasa aman, karena semakin mereka merasa aman, semakin besar kemungkinan mereka untuk bersikap terbuka. Semakin mereka merasa takut kepada kita, semakin mereka menutup diri. Bentuk menutup diri yang dilakukan dapat berupa masking (pura-pura setuju terhadap apa yang kita ungkapkan), menghindar, dan menarik diri.
Apabila lawan bicara kita merasa tidak aman, kita perlu keluar dari percakapan yang sedang berlangsung. Apabila kita tetap meneruskan pembicaraan untuk mencoba memperbaiki rasa tidak aman yang dirasakan, kita akan menyederhanakan apa yang akan kita katakan (sehingga gagal mencapai tujuan akhir yang telah ditetapkan). Sering kali, lawan bicara kita memaknai apa yang kita katakan sebagai sesuatu yang negatif. Hal ini perlu diatasi dengan mengungkapkan kembali niat positif kita, misalnya
“tujuan saya bukan untuk membuat kamu merasa bersalah, niat saya murni untuk membantu kita berdua untuk bisa menemukan jalan untuk melalui ini bersama-sama.”
Proses untuk membangun rasa aman dapat dilakukan dengan mendengarkan. Kita perlu menunjukkan bahwa kita bersedia mendengarkan mereka secara terbuka dan penuh rasa hormat. Ini hanya dapat dilakukan dengan kasih sayang dan rasa ingin tahu. Secara kritis, kita perlu mendorong mereka untuk menceritakan seluruh perasaan kepada kita. Apabila kita telah mendengarkan mereka dengan seksama, mereka dapat menjadi lebih terbuka untuk mendengarkan kita. Kita perlu memahami dari mana masalah berasal bagi kedua belah pihak sehingga dapat mencari solusi terhadap masalah bersama-sama.
Terdapat empat cara untuk menjadi pendengar yang baik:
Cara menanyakan yang paling umum adalah “Aku ingin mendengar pendapatmu mengenai…..”
Yang perlu diperhatikan adalah nada bicara. Kita perlu mengemukakan apa yang kita rasakan, misalnya “Kamu kelihatan tidak yakin…” atau “Mood-mu kelihatan tidak terlalu baik…”
Kuncinya adalah untuk menghindari emosi dan menggunakan bahasa yang digunakan oleh lawan bicara. Area yang dapat diparafrasa adalah makna yang diberikan lawan bicara terhadap permasalahan.
Apabila semuanya berubah menjadi pertengkaran, dorong lawan bicara untuk bicara dengan mengungkapkan sesuatu yang kita pikir mereka pikir atau rasakan, misalnya “Sepertinya kamu merasa aku tidak adil…”, “Aku merasa bahwa kamu marah?”
Terkadang kita mengatakan sesuatu yang salah. Tidak ada salahnya mengakui kesalahan yang kita lakukan, meminta maaf, dan kemudian melanjutkan pembicaraan. Jika kita tidak meminta maaf, maka rasa hormat dan kepercayaan akan berkurang. Meminta maaf ini sering kali mematahkan intensitas emosional dan mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama apabila merasa melakukan kesalahan.
Langkah pertama untuk mengendalikan emosi kita adalah dengan mengidentifikasinya, apakah itu kemarahan? Frustrasi? Terluka? Malu? Kita perlu mengasah kemampuan kita untuk membedakan emosi yang berbeda.
Tindakan atas emosi yang kita rasakan adalah pilihan kita. Kuncinya adalah mengubah makna terhadap peristiwa sehingga emosi kita dapat mengikuti makna yang kita bentuk sendiri.
Bagaimana agar kita dapat berbicara jujur tanpa menyinggung lawan bicara kita? Dibutuhkan keberanian untuk memulai percakapan; kerendahan hati untuk mengungkapkan dengan cara yang lembut dan keterampilan komunikasi yang efektif. Lima keterampilan yang dapat digunakan:
Tujuan yang bersifat dua arah dan disepakati kedua belah pihak adalah hal penting dalam komunikasi. Dibutuhkan komitmen kedua belah pihak untuk menyepakati tujuan yang ingin dicapai sebelum melakukan diskusi dan secara menerus mempertanyakan tujuan dari setiap ucapan dari lawan bicara. Tercapainya kesepakatan atas tujuan memudahkan untuk mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah untuk mencapai tujuan tersebut.
Penting untuk memisahkan fakta dari asumsi karena keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Fakta merupakan hal yang nyata, yang dilihat dan didengar (dan bukan makna yang dibentuk dari apa yang terlihat dan terdengar). Bukti pembayaran hotel merupakan fakta, namun suami yang selingkuh di hotel merupakan asumsi yang dibentuk dari bukti pembayaran hotel tersebut. Fakta merupakan awal yang baik untuk memulai pembicaraan dan apabila dalam prosesnya komunikasi yang dilakukan keluar jauh dari topik, kembalilah pada fakta atau tujuan awal yang telah disepakati. Makna yang dibentuk atas fakta-fakta yang ada perlu dikomunikasikan satu sama lain. Kita perlu memahami arti sebenarnya dari makna yang dibentuk lawan bicara terhadap fakta-fakta yang ada karena makna tersebutlah yang menjadi sumber dari respon emosional yang muncul.
Mengetahui dan memahami makna yang dibentuk lawan bicara tidak semata-mata menyelesaikan permasalahan sehingga perlu ada keputusan mengenai aksi yang akan dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan. Dalam proses pengambilan keputusan dibutuhkan kompromi dan mengambil jalan tengah sehingga kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan dengan adanya pengambilan keputusan tersebut. Apabila terdapat pihak ketiga yang bersikap netral dan dapat membantu menjadi penengah dalam proses pengambilan keputusan, hal ini akan sangat membantu kedua belah pihak.
Konflik yang timbul dalam hubungan selalu dapat diselesaikan, namun perlu dipastikan kesediaan untuk mengungkapkan, mendengarkan, dan kompromi untuk mencari jalan tengah.
Reference:
Zafirah adalah seorang psikolog klinis dengan spesialisasi pada psikologi klinis anak dan dewasa. Zafirah menyelesaikan pendidikan Sarjana Psikologi di Universitas Tarumanagara dan pendidikan Magister Psikologi Profesi Klinis di Universitas Airlangga. Zafirah memiliki ketertarikan pada berbagai permasalahan psikologis, seperti kecemasan, depresi, permasalahan perilaku dan intelektual pada anak, permasalahan dalam hubungan dan pernikahan, serta permasalahan psikologis lainnya.
Zafirah percaya bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk menghadapi segala permasalahan yang dihadapi dalam hidup, mereka hanya memerlukan orang yang tepat untuk diajak berdiskusi mengenai permasalahan itu.
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3357-21-2-1