“The only person who can pull me down is myself, and I’m not going to let myself pull me down anymore.”
C. JOYBELL C.
Setiap individu memiliki cara atau upaya untuk mengatasi stres yang disebut sebagai strategi coping. Individu dengan strategi coping yang tepat akan melakukan berbagai aktivitas positif untuk mengurangi stres atau perasaan tidak nyaman seperti bercerita dengan orang yang dipercaya, menulis, berjalan-jalan, dan berolahraga. Namun demikian, tidak semua individu mampu untuk melakukan coping stres dengan cara yang adaptif atau sesuai. Salah satu cara yang sering kali diambil oleh individu saat mengalami masalah yang berat adalah melakukan self-harm atau menyakiti diri sendiri. Mirisnya, self-harm tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa. Riset menunjukkan bahwa hampir 27% anak dan remaja pernah melakukan usaha untuk melakukan self-harm, padahal individu dengan riwayat melakukan self-harm memiliki potensi lebih besar untuk melakukan usaha bunuh diri di masa mendatang. Lalu, mengapa anak dan remaja bisa berpikir untuk melakukan self-harm?
APA ITU SELF-HARM?
Self-harm atau menyakiti diri sendiri adalah suatu kondisi ketika individu dengan sengaja melukai diri sendiri sebagai cara untuk mengatasi emosi negatif yang sangat intens atau kuat. Perilaku ini dilakukan sebagai usaha individu untuk mengendalikan, mengurangi, atau menghindari perasaan negatif yang sangat menyakitkan dan tidak tertahankan.
Bentuk paling umum dari self-harm adalah menggaruk luka, mengiris kulit, overdosis, menggigit diri sendiri, memukul diri sendiri, menarik rambut, membakar diri, dan berbagai perilaku menyakiti diri lainnya. Saat ini, sudah berkembang betuk self-harm digital, atau self-cyberbullying yaitu ketika anak atau remaja membuat identitas palsu tentang dirinya secara online, kemudian di situs media sosial memposting komentar kejam untuk diri mereka sendiri dan mendapatkan komentar kejam dari orang lain.
Perilaku self-harm meningkat di usia pubertas dan cenderung lebih banyak dilakukan oleh anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 untuk mengetahui kecenderungan bunuh diri pada remaja menemukan bahwa self-harm bisa mulai terjadi pada anak berusia 9 tahun dan meningkat pada usia 12-16 tahun. Sayangnya, hanya satu dari 5 anak yang melakukan tindakan self-harm yang mencari bantuan psikologis.
MENGAPA ANAK DAN REMAJA MENYAKITI DIRI?
Sulit untuk menemukan alasan mengapa anak dan remaja dengan sengaja berusaha untuk menyakiti dirinya sendiri dan mengapa melakukan self-harm terasa melegakan. Dari mana mereka mendapatkan ide untuk melakukan hal tersebut? Berdasarkan penelitian, alasan terbesar yang sering dikemukakan oleh anak dan remaja yang melakukan self-harm adalah bahwa perilaku tersebut dilakukan sebagai pengalih perhatian dari rasa sakit emosional yang intens. Tujuan lainnya mereka melukai diri sendiri adalah untuk menyembuhkan diri sendiri dari rasa sakit, mati rasa sehingga ingin “merasakan” sesuatu, atau cara untuk meminta bantuan kepada orang lain. Dalam beberapa kasus, mereka kesulitan untuk mengkomunikasikan perasaan. Oleh sebab itu, ketika orang lain menemukan bahwa dirinya sedang melakukan self-harm, ia berharap timbulnya rasa empati dan perhatian orang lain untuk membantunya. Ternyata, perilaku self-harm yang dilakukan oleh anak dan remaja, sering kali terinspirasi dari orang lain, video, atau gambar yang pernah mereka saksikan sebelumnya.
PEMICU SELF-HARM
Dorongan yang dirasakan anak atau remaja untuk menyakiti dirinya sendiri hampir selalu dipicu oleh peristiwa negatif yang pernah terjadi di hidup mereka. Pemicu yang paling umum adalah penolakan atau perasaan ditinggalkan dari lingkungan seperti ditolak pacar dan teman. Selain itu, faktor risiko lainnya meliputi tekanan emosional yang menyedihkan (merasa menjadi beban orang lain, cemas dan stres di sekolah), rasa terisolasi (tidak memiliki teman, konflik keluarga), perbandingan sosial (seperti kondisi ekonomi yang rendah), hubungan teman sebaya yang tidak sehat seperti pernah menjadi korban bullying, rendahnya harga diri, memiliki riwayat gangguan depresi dan kecemasan meningkatkan risiko anak dan remaja untuk melakukan self-harm.
Penelitian pada tahun 2022 dilakukan guna mengetahui jalur perkembangan self-harm pada anak berusia 5-14 tahun menemukan bahwa sebanyak 10.287 partisipan yang melakukan self-harm memiliki riwayat masalah psikologis, masalah tidur, harga diri yang rendah, mengalami bullying, memiliki regulasi emosi yang buruk, memiliki pengasuh dengan masalah emosional, serta hubungan yang tidak baik dengan keluarga.
DAMPAK MELAKUKAN SELF-HARM
Menyakiti diri sendiri mungkin membawa sensasi lega sesaat setelah melakukannya. Namun demikian, tentu saja perilaku tersebut merupakan strategi coping yang maladaptif atau tidak tepat. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa “kelegaan” tersebut membuat perilaku menyakiti diri sendiri akan terus diulang dan menguatkan individu untuk mengulang kembali perilaku self-harm. Semakin lama individu melukai diri sendiri dan merasa puas atau lega, maka semakin kuat perilaku menyakiti diri sendiri diulang kembali.
Perilaku menyakiti diri sendiri yang tidak diselesaikan sangat berbahaya karena batas toleransi tubuh akan terus meningkat sampai pada akhirnya perilaku self-harm terus berkembang menjadi lebih serius dan dapat menyebabkan komplikasi medis lainnya (seperti meminum cairan kimia berbahaya bagi organ lambung). Individu yang menyakiti diri sendiri, memiliki risiko lebih tinggi untuk melakukan percobaan bunuh diri di kemudian hari.
SAAT MENEMUKAN ANAK DAN REMAJA MELAKUKAN SELF-HARM ATAU MENYAKITI DIRI SENDIRI
Sebagai orang tua, jika Anda berpikir bahwa anak Anda melukai dirinya sendiri tetapi juga tidak yakin, beberapa hal berikut adalah tanda-tanda yang bisa digunakan oleh orang tua:
Apabila orang tua sudah yakin bahwa anak dan remaja melakukan self-harm, hindari bereaksi secara berlebihan seperti marah, menasehati, atau mengancam. Hal yang perlu dilakukan sebagai upaya awal dalam kondisi tersebut adalah menerima mereka seutuhnya tanpa melakukan penilaian. Tanyakan dengan tenang tanpa menghakimi, apa yang mereka rasakan dan apakah mereka memerlukan bantuan. Dengarkan baik-baik apa yang anak sampaikan dan jangan diinterupsi. Segera berikan pertolongan pertama untuk luka atau cedera yang terjadi.
Terakhir, segera minta bantuan kepada profesional untuk mendapatkan bantuan konseling dan terapi psikologis. Konseling psikologis dapat membantu anak dan remaja untuk mempelajari cara-cara positif menangani stres yang intens. Konseling dapat membantu remaja memahami mengapa mereka melukai diri sendiri, apa yang memicu tindakan melukai diri sendiri, dan bagaimana cara menghentikannya. Ini termasuk memberikan edukasi, pelatihan, dan pemahaman mengenai pengelolaan emosi serta cara yang efektif untuk mengelola dan mengekspresikan emosi negatif yang intens atau sangat kuat. Perawatan lanjutan mungkin juga dengan melibatkan keluarga melalui terapi keluarga.
HAL YANG DAPAT KITA LAKUKAN SAAT INGIN ATAU SUDAH MELAKUKAN SELF-HARM
Selain meminta bantuan, hal yang bisa kamu lakukan selanjutnya adalah melakukan self-care atau merawat diri sendiri. Luangkan waktu untuk berolahraga, membaca buku, menuliskan pikiran dan perasaan yang mengganggu, atau dengan melakukan relaksasi. Kamu juga bisa melakukan hal-hal lain yang membuat kamu senang serta menjauhi hal-hal yang memicu stres. Kamu juga bisa mulai dengan meminta bantuan orang lain untuk menanyakan kabar. Terakhir, kunci dari penanganan self-harm adalah mengembangkan mekanisme koping atau cara untuk menanggulangi stres secara positif, cara mengurangi stres, dan keterampilan untuk berkomunikasi yang bisa kamu pelajari sendiri atau dengan bantuan profesional seperti psikiater atau psikolog.
“Menyakiti diri sendiri, merupakan tanda bahwa seseorang sedang berada pada tekanan psikologis yang sangat dalam dan menyakitkan.” Oleh sebab itu, jika melihat atau kamu sendiri telah melakukan self-harm dan membutuhkan bantuan profesional, kami tim Lembar Harapan siap membantu!
References:
Ehmke, R. (March 29, 2022). Help for Cutting and Other Self-Injury. Child Mind Institute. Retrieved from https://childmind.org/article/what-drives-self-injury-and-how-to-treat-it/
Greydanus, D.E. (April 29, 2011). Treating Self-Harm in Children and Adolescents. Psychiatric Times. Retrieved from https://www.psychiatrictimes.com/view/treating-self-harm-children-and-adolescents
Hetrick, S. E., Subasinghe, A., Anglin, K., Hart, L., Morgan, A., & Robinson, J. (2020). Understanding the Needs of Young People Who Engage in Self-Harm: A Qualitative Investigation. Frontiers in psychology, 10, 2916. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.02916
Loftus, V. (March 29, 2022). Self-harm and Teenagers. Raising Children Network: The Australian Parenting Website. Retrieved from https://raisingchildren.net.au/teens/mental-health-physical-health/mental-health-disorders-concerns/self-harm
Stallard, P., Spears, M., Montgomery, A. A., Phillips, R., & Sayal, K. (2013). Self-harm in young adolescents (12-16 years): onset and short-term continuation in a community sample. BMC psychiatry, 13, 328. https://doi.org/10.1186/1471-244X-13-328
Uh, S., Dalmaijer, E. S., Siugzdaite, R., Ford, T. J., & Astle, D. E. (2021). Two Pathways to Self-Harm in Adolescence. Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 60(12), 1491–1500. https://doi.org/10.1016/j.jaac.2021.03.010
Paramita Estikasari adalah seorang psikolog klinis dengan spesialisasi pada bidang psikologi klinis anak dan remaja. Mita merupakan lulusan sarjana psikologi Universitas Diponegoro dan melanjutkan studi magister dan profesi psikolog di Universitas Indonesia. Selain mendalami parenting, tumbuh kembang anak, dan anak berkebutuhan khusus, Mita juga memiliki ketertarikan pada lingkup hubungan relasi romantis dan pernikahan. Umumnya Mita menggunakan pendekatan dalam konseling/terapi dengan menggunakan Cognitive Behavioral Therapy dan pendekatan Behaviorisme.
No.SIPP (Surat Izin Praktik Psikologi): 3692-21-2-1