For anybody whose once normal everyday life was suddenly shattered by an act of sexual violence–the trauma, the terror, can shatter you long after one horrible attack. It lingers. You don’t know where to go or who to turn to… and people are more suspicious of what you were wearing or what you were drinking, as if it’s your fault, not the fault of the person who assaulted you… We still don’t condemn sexual assault as loudly as we should. We make excuses, we look the other way… [Laws] won’t be enough unless we change the culture that allows assault to happen in the first place. – President Barack Obama, September 2014.
Kekerasan seksual merupakan jenis perilaku kejahatan yang paling sering tidak dilaporkan. Banyak korban menghabiskan waktu untuk bergelut dengan kekerasan yang dialami seorang diri. Tidak semua korban memiliki keluarga atau kerabat yang bisa mendengarkan apa yang mereka alami. Jangankan kepada otoritas, tidak semua korban memiliki kekuatan untuk menceritakan apa yang mereka alami kepada keluarga atau kerabat mereka. Bayangkan bagaimana trauma yang dialami korban dan bagaimana mereka menanggung beban seorang diri tanpa tempat untuk mengadu.
Apa yang membuat hal ini terjadi? Apa yang membuat mereka lebih memilih untuk menyimpan semuanya seorang diri dan tidak melaporkan atau menceritakan apa yang dialaminya kepada siapapun?
Selain trauma, menceritakan kembali apa yang dialami kepada orang lain seperti membuka luka yang selama ini dipendam oleh korban. Kecenderungan orang-orang di sekitar korban melihat pengalaman kekerasan seksual sebagai sesuatu yang negatif membuat korban lebih memilih untuk tidak menceritakan apa yang dialaminya kepada orang lain. Orang-orang di sekitar korban memberikan respon negatif terhadap korban karena kekerasan seksual yang dialami, bahkan menyalahkan korban atas apa yang dialaminya. Apa yang korban alami sudah cukup menimbulkan luka besar bagi hidup korban. Sayangnya, hal itu seolah tidak cukup, orang-orang merasa perlu untuk menyalahkan korban atas luka yang didapatkannya.
Apa yang akan kita lakukan apabila melihat korban pencopetan? Apakah kita akan menyalahkan mereka dengan “siapa suruh membawa dompetmu ke luar rumah?” atau saat terjadi perampokan, kita akan mengatakan “makanya sebaiknya rumahmu diberikan pengamanan yang lebih tinggi!” Kita hanya akan terdiam dan merasa iba pada korban, atau berusaha memberikan bantuan materi seperti sumbangan atau hal lainnya. Apa yang membuat korban kekerasan seksual berbeda dengan korban pencopetan atau perampokan? Padahal, apa yang menjadi milik mereka diambil secara paksa tanpa persetujuan mereka. Sama saja, toh? Lalu, kenapa kita memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda?
Korban kekerasan seksual lebih mungkin disalahkan atas apa yang mereka alami. Orang-orang mempertanyakan baju seperti apa yang korban kenakan saat kekerasan terjadi, atau apakah korban dalam keadaan mabuk saat kekerasan terjadi. Untuk apa mempertanyakan hal itu? Lalu kenapa apabila korban mengenakan pakaian terbuka? Atau tidak menggunakan pakaian sama sekali? Apakah ini berarti pelaku kekerasan seksual dapat dengan bebas melakukan apapun yang diinginkannya kepada korban? Lalu kenapa apabila korban dalam keadaan mabuk saat kekerasan terjadi? Apakah itu berarti pelaku menjadi terbebas dari apa yang dilakukannya? Kekerasan adalah kekerasan, dan apapun yang korban kenakan, dalam keadaan apapun korban saat kekerasan terjadi tidak membuat kekerasan menjadi layak untuk dimaklumi..
Masalah terbesar dalam kekerasan seksual tidak hanya sebesar apa trauma yang dirasakan korban dan bagaimana proses yang harus korban lalui untuk dapat membaik dari trauma yang dialaminya. Masalah terbesar dalam kekerasan seksual tidak hanya apa yang dilakukan pelaku dan bagaimana hukuman yang pantas untuk didapatkan pelaku atas kekerasan yang dilakukannya. Masalah terbesar lainnya adalah kita (masyarakat)! Kita berperan besar dalam penerimaan terhadap keterbukaan korban. Sering kali, kita mengabaikan peran kita dalam permasalahan ini hanya karena hal ini tidak menimpa kita atau orang yang kita sayangi.
Mengapa victim blaming (kecenderungan menyalahkan korban) dapat terjadi?
Victim blaming terjadi karena berbagai alasan dan elemen terpenting yang sering kali diabaikan adalah kebudayaan atau kepercayaan. Sering kali kita berfokus pada faktor individual, yaitu faktor yang berhubungan langsung dengan pengamat/masyarakat sekitar. Selain itu, kita juga cenderung berfokus pada faktor situasional, yaitu faktor yang berhubungan langsung dengan korban, pelaku, atau karakteristik dari perilaku kekerasan seksual yang dilakukan sehingga menyebabkan victim blaming. Faktor lain seperti faktor sosial dan institusional sering kali diabaikan. Kedua faktor ini merupakan pengaruh budaya yang lebih luas lagi seperti peran gender, media, dan hal lain seputar kekerasan seksual yang berkontribusi terhadap lingkungan yang mempromosikan victim blaming.
Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang mendukung peran gender tradisional cenderung melakukan victim blaming. Ketika identitas gender seseorang terancam, laki-laki lebih banyak menyalahkan korban, sedangkan perempuan sebaliknya. Laki-laki lebih sering mempercayai rape myth* dibandingkan perempuan, dan individu yang cenderung mempercayai rape myth lebih cenderung untuk melakukan victim blaming. Selain itu, kekuatan sosial juga memberikan pengaruh terhadap kecenderungan individu melakukan perilaku victim blaming. Individu yang memiliki kekuatan atau kontrol terhadap lingkungan yang lebih rendah lebih cenderung untuk tidak melakukan victim blaming dibandingkan individu yang lebih kuat dan memiliki kontrol terhadap lingkungan. Hal ini tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin mereka. Kekuatan dan kontrol yang kuat membuat seseorang merasa berhak untuk menghakimi orang lain atas kejadian yang menimbulkan trauma pada hidup mereka.
Faktor lain yang mempengaruhi adalah penggunaan alkohol. Apabila penggunaan alkohol merupakan salah satu fitur yang terlibat dalam kekerasan seksual, seperti korban mengkonsumsi alkohol saat terjadinya kekerasan seksual, hal ini meningkatkan victim blaming. Alkohol yang dikonsumsi korban meningkatkan victim blaming, sedangkan alkohol yang dikonsumsi pelaku menurunkan tingkat kesalahan mereka. Adil kah? Pekerjaan dan pakaian yang digunakan korban juga merupakan karakteristik penting dalam perilaku victim blaming. Semakin terbuka pakaian yang digunakan korban, semakin sugestif perilaku atau pekerjaannya, semakin besar kecenderungan untuk menyalahkan korban. Korban dengan riwayat perilaku seksual aktif juga dianggap blameworthy (layak untuk disalahkan). Faktor lainnya yang sering menjadi perbincangan adalah bagaimana respon korban saat kekerasan terjadi. Korban yang berusaha keras untuk melawan saat kekerasan terjadi cenderung tidak disalahkan dibandingkan dengan korban yang tidak banyak melawan saat kekerasan terjadi. Apabila korban terluka parah karena kekerasan yang dilakukan, victim blaming lebih sedikit dilakukan. Haruskah kita menunggu korban terluka parah sebelum berhenti melakukan victim blaming?
Bagaimana untuk dapat lebih suportif dan tidak melakukan victim blaming?
Terdapat beberapa jebakan mental yang dimiliki oleh para pelaku victim blaming:
Kita semua ingin percaya bahwa dunia ini adil dan orang-orang mendapatkan kehidupan yang layak mereka dapatkan sesuai dengan perilaku mereka. Pada kenyataannya terkadang hal yang sangat buruk terjadi pada orang yang sangat baik. Hidup itu tidak selalu adil dan mempercayai mitos lebih mudah daripada berusaha berpikir jernih mengenai peristiwa keji yang menimpa orang lain.
Hidup di lingkungan sosial yang mengharuskan kita berinteraksi dengan orang lain pasti memiliki risiko, salah satunya adalah berhadapan dengan pelaku kekerasan, tidak hanya kekerasan seksual. Hal ini juga berlaku bagi kekerasan fisik maupun emosional. Kita tidak dapat memprediksi atau menghindarkan diri dari segala risiko kekerasan yang mungkin kita alami.
Gender adalah faktor lain yang mempengaruhi perilaku victim blaming. Jenis kekerasan yang paling banyak menyebabkan victim blaming adalah pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga. Dua jenis kekerasan ini lebih banyak memiliki korban perempuan dibandingkan laki-laki. Anehnya, karakteristik korban sebagai perempuan sering kali lebih berpengaruh pada bagaimana respon institusional atau sosial dibandingkan karakteristik pelaku.
Salah satu masalah umum adalah persepsi bahwa pelaku tidak dapat mengendalikan tindakan mereka, tetapi korban harus memegang kendali atas perilaku mereka. Pendapat ini salah. Pelaku berhati-hati memilih serangan mereka dan selalu mencari sasaran yang empuk. Wanita lebih rentan terhadap jenis serangan tertentu karena banyak pelaku yakin bahwa mereka dapat mengalahkan wanita (hal ini menyebabkan kekerasan seksual pada laki-laki sebagian besar terjadi pada masa kanak-kanak). Pelaku yang menyerang pacar, istri, atau anak mereka tidak akan pernah menyerang ibu, bos, atau menteri mereka. Mereka pasti memegang kendali dan mereka memilih waktu dan tempat serangan yang memaksimalkan peluang mereka untuk mengalahkan korbannya.
Langkah pertama adalah kesadaran. Sadari jebakan mental di atas dan ingatkan diri sendiri bahwa hal-hal buruk dapat terjadi pada orang baik. Ingatkan diri kita bahwa tidak seorang pun ingin menjadi korban kekerasan. Para korban hanya berusaha mendapatkan apa yang kita semua inginkan–hubungan sosial dan pengalaman menyenangkan.
Memikirkan upaya untuk mencegah diri menjadi target kekerasan membuat kita menyadari bahwa terdapat langkah-langkah biasa yang kita ambil yang dapat meningkatkan risiko menjadi korban. Tidak semua korban kekerasan seksual berada di dalam situasi yang membuat mereka lebih mudah ditargetkan saat kekerasan terjadi. Mereka berada dalam situasi biasa, situasi sehari-hari, yang dirasa tidak mengancam, seperti sekolah, pekerjaan, dan lain-lain, namun tetap bisa menjadi korban.
Menyalahkan korban tidak akan membantu siapapun, tidak membantu korban ataupun membantu diri kita sendiri. Daripada menyalahkan korban, bantu mereka dengan memberikan kekuatan kepada mereka. Ingat, tidak ada orang yang ingin menjadi korban kekerasan. Perilaku menyalahkan korban yang kita lakukan pergi setelah kita melupakan kejadian yang dialami korban, namun korbanlah yang akan megingatnya. Jauh setelah peristiwa berlalu, luka trauma mereka masih dapat meninggalkan bekas.
Dari pembahasan di atas, penulis berharap kita sebagai masyarakat–orang-orang yang mengamati terjadinya kekerasan seksual–tidak memberikan kontribusi negatif terhadap korban dan kesehatan mental korban. Jadilah pengamat yang objektif, jangan katakan hal-hal yang dapat menyakiti korban. Semangati korban untuk dapat menjadi individu yang bisa menyuarakan apa yang dialaminya tanpa takut mendapatkan penghakiman dari kita–orang-orang yang tidak layak menghakimi mereka. Apabila kita tidak dapat membantu mereka, jangan dorong mereka jatuh ke dalam lubang yang lebih dalam lagi, as if being a victim of sexual assault is not enough.
Penjelasan mengenai kata berbintang:
References:
Zafirah adalah seorang psikolog klinis dengan spesialisasi pada psikologi klinis anak dan dewasa. Zafirah menyelesaikan pendidikan Sarjana Psikologi di Universitas Tarumanagara dan pendidikan Magister Psikologi Profesi Klinis di Universitas Airlangga. Zafirah memiliki ketertarikan pada berbagai permasalahan psikologis, seperti kecemasan, depresi, permasalahan perilaku dan intelektual pada anak, permasalahan dalam hubungan dan pernikahan, serta permasalahan psikologis lainnya.
Zafirah percaya bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk menghadapi segala permasalahan yang dihadapi dalam hidup, mereka hanya memerlukan orang yang tepat untuk diajak berdiskusi mengenai permasalahan itu.
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3357-21-2-1