Apakah kamu pernah menjadi korban “ghosting” oleh pasanganmu, atau malah menjadi pelaku “ghosting” pada pasanganmu? Ghosting banyak kita jumpai di era modern saat ini, terutama di era kemajuan teknologi komunikasi yang semakin berkembang. Ghosting dianggap sebagai strategi perpisahan yang efektif yang dapat dilakukan hanya secara online dengan sedikit risiko. Padahal bisa jadi, ghosting membawa dampak atau resiko yang besar baik bagi pelaku maupun korban.
Apa sih ghosting itu?
Ghosting adalah sebuah strategi perpisahan dimana orang melepaskan diri dari pasangannya, membubarkan hubungan romantis secara sepihak dengan menghindari kontak online dan offline dengan pasangannya. Ghosting dapat terjadi pada tahap awal hubungan atau bahkan pada hubungan jangka panjang yang lebih serius. Yang membedakan ghosting dari strategi perpisahan atau pemutusan lainnya adalah frekuensi kurangnya penjelasan eksplisit atau pernyataan perpisahan kepada pasangan.
Apa motivasi ghosting?
Disengager atau ghoster, orang yang memulai pemutusan hubungan secara sepihak, menggunakan ghosting sebagai strategi perpisahan secara tidak langsung agar berhasil berpisah dari pasangan mereka. Ada yang beralasan bahwa ia melakukan ghosting karena merasa tidak tertarik atau tidak nyaman dengan pasangannya. Ada yang beralasan bahwa ghosting dapat menghindari resiko konfrontasi atau menyakiti perasaan pasangan dengan menolaknya secara langsung. Selain itu, ghoster bisa menghindar dari mengambil tanggung jawab atau komitmen untuk terlibat secara emosional dengan pasangannya. Ada sebagian ghoster yang meyakini bahwa ghosting bisa menjadi pilihan untuk berpisah dari pasangan atau hubungan yang tidak sesuai dengan cita-cita atau keyakinan mereka terhadap takdir. Ketika ghoster meyakini bahwa pasangannya bukan takdirnya, ia meyakini bahwa tidak apa-apa untuk pergi dengan cara ghosting. Selain itu, ada sebagian ghoster yang menganggap bahwa ghosting lebih dapat diterima untuk mengakhiri hubungan jangka pendek daripada hubungan jangka panjang, atau dilakukan untuk mengakhiri hubungan yang belum terjalin keintiman secara fisik.
Bagaimana dampak dari ghosting bagi korban?
Bagi korban ghosting atau disebut ghostee, ghosting memunculkan reaksi emosional yang beragam. Ada yang mengalami kebingungan karena merasa tidak tahu apakah hubungan benar-benar berakhir ataukah ada alasan lain yang menyebabkan ghoster menghilang atau memutuskan hubungan. Ada yang mengalami perasaan acuh tak acuh, kesedihan, kecemasan, frustasi atau kemarahan, hingga perasaan dikhianati yang mendalam dan menyalahkan diri sendiri. Ghostee mungkin mempertanyakan harga diri mereka dan merasa putus asa terhadap hubungan romantisme di masa depan. Beberapa ghostee bahkan mengalami reaksi fisik, seperti kehilangan nafsu makan dan masalah tidur. Umumnya, ghostee tidak segera menyadari bahwa dirinya mengalami ghosting. Setelah menyadarinya, ada beberapa ghostee yang bisa melanjutkan hidup atau “move on” dengan segera. Akan tetapi, ada sebagian dari mereka bereaksi dengan berulang kali menghubungi ghoster atau menghubungi teman mutual atau anggota keluarga ghoster untuk menanyakan keberadaan ghoster atau meminta penjelasan tentang perpisahan. Ada sebagian ghostee yang mengambil tindakan untuk pembalasan terhadap mantan pasangan mereka dengan memberi tahu orang lain di jejaring sosial bahwa mantan pasangan mereka menggunakan ghosting untuk putus dengan mereka. Bahkan, ada yang memilih untuk melakukan penguntitan secara fisik.
Adakah keuntungan dari ghosting bagi korban?
Beberapa korban ghosting merasa lebih suka dengan pilihan ghosting daripada menerima penolakan atau perpisahan langsung dari pasangan, baik secara online atau tatap muka. Mereka menafsirkan ghosting sebagai langkah untuk menyelamatkan perasaan mereka atau strategi perpisahan yang menjadi risiko dunia kencan modern saat ini.
Lalu, jika kamu pernah menjadi korban ghosting, apa yang bisa dilakukan untuk “move on”?
Menerima dan mengakui perasaan-perasaan negatif yang kamu alami pasca ghosting akan menjadi langkah awal bagimu untuk bisa “move on”. Tidak apa-apa untuk merasa sedih atau terluka. Kamu dapat menerima perasaan tersebut karena kamu adalah manusia biasa.
Setelah kamu mengalami ghosting, sulit untuk tidak merasakan penyesalan atau menyalahkan diri sendiri. Akan tetapi, kamu dapat mengubah pandangan kamu bahwa ghosting terjadi bukan karena kesalahanmu. Perilaku ghoster meninggalkanmu tanpa memberikan penjelasan adalah tanggung jawabnya dan kamu tidak bisa disalahkan atas perilaku tersebut.
Luangkan waktumu untuk melakukan perawatan diri, makan dengan benar, tidur dengan benar, tetap aktif secara fisik, melakukan hobimu, bertemu teman atau mengambil cuti untuk liburan.
Jika kamu membutuhkan bantuan atau teman bicara, bicaralah pada sahabat, keluarga atau terapis yang kamu percayai. Berbicara pada orang lain dapat membantumu dalam memproses pengalaman yang menyakitkan atau melewati masa-masa sulit.
Jika durasi hubunganmu dan mantan pasanganmu telah berlangsung lama, mungkin berbulan-bulan, kamu mungkin merasa telah banyak mengalami kerugian yang besar akibat ghosting. Kamu dapat memberanikan diri untuk mengirim pesan atau email pada mantanmu untuk meminta kejujuran dan penjelasan tentang perpisahan kalian.
Jika ghoster muncul kembali menghubungi atau menemuimu, pertimbangkan untuk mendengarkan apa yang dia katakan. Setidaknya keberanian dan ketulusan dari ghoster untuk memberikan penjelasan atau meminta maaf kepadamu dapat menjadi pertimbangan bagi kamu untuk memaafkan atau melepas ghoster. Awalilah dengan memaafkan diri sendiri, lalu memaafkan ghoster dan apa yang terjadi, maka kamu akan mampu bergerak maju untuk melanjutkan hidupmu. Tentu untuk bisa melakukan itu pasti tidak mudah dan mungkin kamu butuh waktu, tapi percayalah pada dirimu bahwa ghosting ini bisa menjadi jalan bagimu melepaskan diri dari orang yang salah agar kamu menemukan orang yang tepat yang bisa menjadi pasangan dan pendamping hidupmu selamanya.
References:
Puput Mariyati merupakan Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang kesehatan mental dewasa dan keluarga. Isu-isu psikologi yang ia gemari adalah depresi dan stress; parenting; perkembangan anak, khususnya anak berkebutuhan khusus (special needs); serta pendekatan terapi kognitif-perilaku dan psikologi positif. Bagi pemilik motto hidup “man jadda wajada” ini, mendalami dan berperan sebagai praktisi di bidang psikologi adalah salah satu jalan baginya untuk bisa menebar manfaat pada orang lain.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3358-21-2-1