Baru-baru ini kita dikejutkan oleh salah satu acara di stasiun TV Indonesia yang menceritakan mengenai hubungan yang dijalani dua orang dengan usia yang terpaut sangat jauh. Ditambah lagi, usia anak dalam acara tersebut adalah 17 tahun, yaitu di bawah usia perkawinan legal di Indonesia dan masih tergolong dalam kategori anak-anak secara hukum. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan usia perkawinan legal menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 adalah 19 tahun. Acara di stasiun TV tersebut dianggap mendukung perkawinan anak yang masih sangat marak terjadi di Indonesia.
Perkawinan anak merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada dasarnya, perkawinan anak cenderung lebih sering terjadi pada anak perempuan. Maraknya perkawinan anak di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah:
Fenomena perkawinan anak berhubungan erat dengan faktor sosial budaya yang dipegang masyarakat, khususnya di Indonesia. Gagasan bahwa anak perempuan harus menjaga kehormatan mereka dan beban yang dirasakan orangtua untuk mengurangi risiko aib yang terkait dengan kehormatan itu sendiri menjadi salah satu penyebab maraknya orangtua yang membiarkan anak mereka menikah di usia dini. Perkawinan anak dianggap menjaga anak agar dapat menghindari perilaku menyimpang yang dapat menimbulkan stigma dan pengucilan sosial, seperti berhubungan seksual di luar nikah khususnya bagi perempuan yang dapat meningkatkan risiko hamil di luar nikah.
Secara umum, masyarakat meyakini bahwa anak perempuan yang lebih muda dapat dengan mudah dikontrol dan tidak melawan kehendak dari pria yang lebih tua. Hal ini membuat para pria yang lebih tua cenderung mencari anak-anak di bawah umur untuk dinikahi dan menjadikan perkawinan anak sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mempertahankan kontrol berbasis gender ini.
Peran seorang anak perempuan di masyarakat cenderung berpusat pada pernikahan dengan norma budaya dan harapan sosial untuk menjadi istri, saudara perempuan, anak perempuan, dan ibu yang baik. Hal ini membuat ekspektasi terhadap masa depan anak perempuan menjadi sangat rendah. Orangtua merasa bahwa investasi yang diberikan kepada anak perempuan sia-sia dan tidak dibutuhkan pencapaian yang tinggi untuk memenuhi harapan sosial yang ada di masyarakat. Perkawinan dini pada anak membuat keterampilan, sumber daya, pengetahuan, dukungan sosial, dan mobilitas yang dimiliki anak perempuan menjadi lebih rendah sehingga membatasi kekuatan negosiasinya dengan suami atau mertuanya. Hal ini meningkatkan kemungkinan terulangnya pola perkawinan anak yang dilakukan dalam keluarga pada generasi berikutnya.
Pada keluarga dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah, orang tua tidak memiliki uang untuk membiayai sekolah anak perempuan mereka sehingga mereka berharap mengawinkan anak di usia dini mengurangi beban tanggung jawab untuk menyekolahkan anak mereka. Anak perempuan juga dianggap membutuhkan biaya makanan, pendidikan, dan pakaian yang lebih mahal dibandingkan dengan anak laki-laki sedangkan anak perempuan tidak dapat memberikan apapun kepada keluarganya setelah keluar dari rumah untuk menikah. Hal ini membuat perkawinan anak pada anak perempuan lebih sering terjadi. Selain itu, dalam pernikahan, pihak laki-laki akan memberikan sejumlah uang pada pihak perempuan sehingga uang ini diharapkan dapat meningkatkan kondisi ekonomi keluarga. Kepemilikan anak perempuan seringkali dianggap orangtua sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga.
Anak-anak seharusnya merupakan sosok yang harus dilindungi karena belum mengalami kematangan secara fisik maupun psikologis, namun kenyataannya anak-anak dipaksa untuk memegang peran sebagai istri yang membutuhkan kematangan fisik dan psikologis itu sendiri. Kita perlu bekerja lebih keras untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai perkawinan anak sehingga anak-anak tidak lagi dituntut untuk menjalani peran yang tidak sesuai dengan usianya. Ditambah lagi, perkawinan anak dapat memberikan trauma kepada anak karena tuntutan yang begitu besar dan anak tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi tuntutan tersebut, baik secara fisik maupun psikologis.
References:
Zafirah adalah seorang psikolog klinis dengan spesialisasi pada psikologi klinis anak dan dewasa. Zafirah menyelesaikan pendidikan Sarjana Psikologi di Universitas Tarumanagara dan pendidikan Magister Psikologi Profesi Klinis di Universitas Airlangga. Zafirah memiliki ketertarikan pada berbagai permasalahan psikologis, seperti kecemasan, depresi, permasalahan perilaku dan intelektual pada anak, permasalahan dalam hubungan dan pernikahan, serta permasalahan psikologis lainnya.
Zafirah percaya bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk menghadapi segala permasalahan yang dihadapi dalam hidup, mereka hanya memerlukan orang yang tepat untuk diajak berdiskusi mengenai permasalahan itu.
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3357-21-2-1