Sebagai makhluk sosial, manusia tentu membutuhkan aktivitas yang berkaitan dengan interaksi dengan orang lain ataupun kelompok untuk merasa sejahtera. Dukungan sosial dari orang lain juga merupakan sebuah kebutuhan manusia untuk bisa terus melanjutkan kehidupannya. Tidak mengherankan bahwa manusia terus berupaya untuk bisa terus terlibat dalam pengalaman-pengalaman sosial dan berada dalam circle atau ikatan sosial yang aman. Contoh dari upaya yang dilakukan untuk mempertahankan hubungan sosial, seperti berkumpul bersama teman-teman, melakukan rekreasi dengan keluarga/kerabat, selalu update dengan kabar dari orang-orang terdekat, menghadiri acara ulang tahun, pernikahan, dan berbagai aktivitas sosial lainnya.
Memasuki era globalisasi saat ini, menjalin hubungan sosial juga lebih mudah dijangkau karena manusia dapat berinteraksi dengan kerabat maupun kenalan baru melalui media sosial. Media sosial membuat manusia tetap terhubung dengan orang lain meskipun tidak bertatap muka. Aktivitas di media sosial pun kini menjadi salah satu alternatif manusia untuk tetap aktif terhubung dengan orang lain kapanpun dan dimanapun.
Keterlibatan manusia dalam aktivitas sosial harapannya meningkatkan kesejahteraan dan membuat individu memiliki dukungan sosial yang positif, namun kenyataannya banyak juga yang merasakan hal sebaliknya. Terlibat dalam aktivitas sosial menjadi sebuah hal yang wajib dan membuat individu merasa tidak nyaman apabila tidak berkontribusi di dalamnya. Individu memiliki perspektif berpikir yang berbeda mengenai keberadaan circle sosial, yang membuat diri mereka merasa takut atau khawatir berlebihan apabila merasa “melewatkan sesuatu” dalam aktivitas sosial. Alih-alih mendapatkan dukungan sosial dan kesejahteraan, individu justru merasa terobsesi untuk mengikuti berbagai kegiatan untuk menghilangkan perasaan khawatir serta berusaha selalu mengetahui kabar orang sekitarnya dengan harapan bisa terus merasa menjadi bagian dalam circle sosial mereka. Hal ini seringkali membuat individu juga merasa putus asa dan kelelahan karena mengikuti sangat banyak aktivitas sampai melupakan waktu untuk dirinya sendiri. Fenomena inilah yang disebut dengan FoMO atau fear of missing out.
FoMO (fear of missing out) dicirikan dengan keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang dilakukan orang lain. FoMO mencakup dua proses: Pertama, persepsi kehilangan. Kedua adalah perilaku kompulsif untuk mempertahankan hubungan sosial tersebut. FoMO merupakan perasaan yang mengganggu karena adanya pemikiran bahwa orang lain sedang mengalami sesuatu yang menyenangkan dan mengagumkan, tetapi kita tidak hadir atau tidak terlibat di dalamnya. FoMO merupakan bentuk kekhawatiran atau ketakutan bahwa orang lain sedang menjalani aktivitas yang mungkin lebih berharga atau lebih menyenangkan daripada kita. Hal ini menyebabkan FoMO dianggap sebagai sebuah fenomena “perbandingan sosial” yang menyebabkan individu merasakan penderitaan yang signifikan karena mereka cenderung menjalani hidup berdasarkan apa yang dilakukan oleh orang lain.
Fenomena perbandingan sosial ini sebenarnya sudah ada sejak orang memiliki kapasitas untuk berpikir, mengevaluasi, dan membandingkan kehidupan mereka dengan kehidupan orang lain. Hanya saja, di era globalisasi dan era modern saat ini, akses untuk melakukan perbandingan kehidupan menjadi lebih mudah karena adanya kemajuan teknologi informasi-komunikasi yang membuat manusia tetap update dengan situasi kehidupan orang lain. FoMO adalah istilah unik yang diperkenalkan pada tahun 2004 dan kemudian digunakan secara luas sejak 2010 untuk menggambarkan fenomena yang diamati di situs jejaring sosial. Maka dari itu, fenomena FoMO sangat dikaitkan dengan media sosial di masa sekarang ini.
Adanya perbandingan sosial dalam kehidupan manusia sebetulnya adalah hal yang manusiawi. Perbandingan sosial yang dilakukan dengan tujuan yang membangun, bersyukur, atau memotivasi diri untuk menuju ke perkembangan yang lebih baik juga sering menjadi perbincangan bahwa perbandingan sosial itu dibutuhkan. Hanya saja, apabila perbandingan sosial yang dilakukan membawa diri menjadi sosok yang penuh dengan rasa khawatir, insecure, munculnya kelekatan sosial yang tidak sehat dengan orang lain, perasaan tidak aman, dan perilaku negatif lainnya, maka hal inilah yang membuat perbandingan sosial menjadi tidak wajar. Hal itulah yang membuat individu kemudian terjebak dalam fenomena FoMO. Selain itu, pengertian mengenai FoMO perlu diluruskan agar tidak semua perasaan takut/khawatir ketika melihat kondisi kehidupan orang lain (yang dirasa lebih baik) dikatakan sebagai kondisi FoMO. Individu yang terjebak dalam FoMO memiliki dampak menurunnya kesejahteraan hidup yang drastis atau bahkan membuat individu akhirnya mengalami permasalahan perilaku atau psikologis.
Banyak mitos yang berkaitan dengan FoMO, salah satunya adalah FoMO menjadi salah satu dari gangguan psikologis. Hanya saja, sampai saat ini belum ada studi yang menyatakan bahwa FoMO masuk ke dalam kategori gangguan psikologis/psikiatri. FoMO lebih cocok apabila dikatakan sebagai sebuah kondisi atau fenomena yang sering dijumpai di lingkungan/masyarakat. Selain itu, FoMO seringkali menjadi salah satu faktor penyebab dari permasalahan psikologis maupun kesejahteraan hidup individu.
Referensi:
Gupta, M., & Sharma, A. (2021). Fear of missing out: A brief overview of origin, theoretical underpinnings and relationship with mental health. World Journal of Clinical Cases, 9(19), 4881.
Milyavskaya, M., Saffran, M., Hope, N., & Koestner, R. (2018). Fear of missing out: prevalence, dynamics, and consequences of experiencing FoMO. Motivation and Emotion, 42(5), 725-737.
Merupakan seorang Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang perkembangan anak usia dini dan anak berkebutuhan khusus serta mengkaji kesejahteraan psikologis individu dalam lingkup karir dan kesehatan.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Udayana, Bali
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3356-21-2-1