Fear of Missing Out (FoMO): Apakah Wajar?

Sebagai makhluk sosial, manusia tentu membutuhkan aktivitas yang berkaitan dengan interaksi dengan orang lain ataupun kelompok untuk merasa sejahtera. Dukungan sosial dari orang lain juga merupakan sebuah kebutuhan manusia untuk bisa terus melanjutkan kehidupannya. Tidak mengherankan bahwa manusia terus berupaya untuk bisa terus terlibat dalam pengalaman-pengalaman sosial dan berada dalam circle atau ikatan sosial yang aman. Contoh dari upaya yang dilakukan untuk mempertahankan hubungan sosial, seperti berkumpul bersama teman-teman, melakukan rekreasi dengan keluarga/kerabat, selalu update dengan kabar dari orang-orang terdekat, menghadiri acara ulang tahun, pernikahan, dan berbagai aktivitas sosial lainnya. 

Memasuki era globalisasi saat ini, menjalin hubungan sosial juga lebih mudah dijangkau karena manusia dapat berinteraksi dengan kerabat maupun kenalan baru melalui media sosial. Media sosial membuat manusia tetap terhubung dengan orang lain meskipun tidak bertatap muka. Aktivitas di media sosial pun kini menjadi salah satu alternatif manusia untuk tetap aktif terhubung dengan orang lain kapanpun dan dimanapun.

Keterlibatan manusia dalam aktivitas sosial harapannya meningkatkan kesejahteraan dan membuat individu memiliki dukungan sosial yang positif, namun kenyataannya banyak juga yang merasakan hal sebaliknya. Terlibat dalam aktivitas sosial menjadi sebuah hal yang wajib dan membuat individu merasa tidak nyaman apabila tidak berkontribusi di dalamnya. Individu memiliki perspektif berpikir yang berbeda mengenai keberadaan circle sosial, yang membuat diri mereka merasa takut atau khawatir berlebihan apabila merasa “melewatkan sesuatu” dalam aktivitas sosial. Alih-alih mendapatkan dukungan sosial dan kesejahteraan, individu justru merasa terobsesi untuk mengikuti berbagai kegiatan untuk menghilangkan perasaan khawatir serta berusaha selalu mengetahui kabar orang sekitarnya dengan harapan bisa terus merasa menjadi bagian dalam circle sosial mereka. Hal ini seringkali membuat individu juga merasa putus asa dan kelelahan karena mengikuti sangat banyak aktivitas sampai melupakan waktu untuk dirinya sendiri. Fenomena inilah yang disebut dengan FoMO atau fear of missing out.

Apa itu fenomena FoMO?

FoMO (fear of missing out) dicirikan dengan keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang dilakukan orang lain. FoMO mencakup dua proses: Pertama, persepsi kehilangan. Kedua adalah perilaku kompulsif untuk mempertahankan hubungan sosial tersebut. FoMO merupakan perasaan yang mengganggu karena adanya pemikiran bahwa orang lain sedang mengalami sesuatu yang menyenangkan dan mengagumkan, tetapi kita tidak hadir atau tidak terlibat di dalamnya. FoMO merupakan bentuk kekhawatiran atau ketakutan bahwa orang lain sedang menjalani aktivitas yang mungkin lebih berharga atau lebih menyenangkan daripada kita. Hal ini menyebabkan FoMO dianggap sebagai sebuah fenomena “perbandingan sosial” yang menyebabkan individu merasakan penderitaan yang signifikan karena mereka cenderung menjalani hidup berdasarkan apa yang dilakukan oleh orang lain.

Fenomena perbandingan sosial ini sebenarnya sudah ada sejak orang memiliki kapasitas untuk berpikir, mengevaluasi, dan membandingkan kehidupan mereka dengan kehidupan orang lain. Hanya saja, di era globalisasi dan era modern saat ini, akses untuk melakukan perbandingan kehidupan menjadi lebih mudah karena adanya kemajuan teknologi informasi-komunikasi yang membuat manusia tetap update dengan situasi kehidupan orang lain. FoMO adalah istilah unik yang diperkenalkan pada tahun 2004 dan kemudian digunakan secara luas sejak 2010 untuk menggambarkan fenomena yang diamati di situs jejaring sosial. Maka dari itu, fenomena FoMO sangat dikaitkan dengan media sosial di masa sekarang ini.

Apakah FoMO adalah hal yang wajar?

Adanya perbandingan sosial dalam kehidupan manusia sebetulnya adalah hal yang manusiawi. Perbandingan sosial yang dilakukan dengan tujuan yang membangun, bersyukur, atau memotivasi diri untuk menuju ke perkembangan yang lebih baik juga sering menjadi perbincangan bahwa perbandingan sosial itu dibutuhkan. Hanya saja, apabila perbandingan sosial yang dilakukan membawa diri menjadi sosok yang penuh dengan rasa khawatir, insecure, munculnya kelekatan sosial yang tidak sehat dengan orang lain, perasaan tidak aman, dan perilaku negatif lainnya, maka hal inilah yang membuat perbandingan sosial menjadi tidak wajar. Hal itulah yang membuat individu kemudian terjebak dalam fenomena FoMO. Selain itu, pengertian mengenai FoMO perlu diluruskan agar tidak semua perasaan takut/khawatir ketika melihat kondisi kehidupan orang lain (yang dirasa lebih baik) dikatakan sebagai kondisi FoMO. Individu yang terjebak dalam FoMO memiliki dampak menurunnya kesejahteraan hidup yang drastis atau bahkan membuat individu akhirnya mengalami permasalahan perilaku atau psikologis.

Banyak mitos yang berkaitan dengan FoMO, salah satunya adalah FoMO menjadi salah satu dari gangguan psikologis. Hanya saja, sampai saat ini belum ada studi yang menyatakan bahwa FoMO masuk ke dalam kategori gangguan psikologis/psikiatri. FoMO lebih cocok apabila dikatakan sebagai sebuah kondisi atau fenomena yang sering dijumpai di lingkungan/masyarakat. Selain itu, FoMO seringkali menjadi salah satu faktor penyebab dari permasalahan psikologis maupun kesejahteraan hidup individu. 

Apa saja dampak yang ditimbulkan?

  1. Meningkatkan level kecemasan pada hal-hal yang kurang wajar, seperti: merasa cemas apabila tidak mendapatkan “reward” di media sosial (like, comment, dsb)
  2. Ketakutan akan “social exclusion” atau keluar dari kelompok sosial
  3. Menurunnya self-esteem atau harga diri individu
  4. Memiliki kontrol atau kestabilan emosi yang rendah
  5. Berpotensi mengalami gangguan afektif/gangguan emosi
  6. Perilaku meminum alkohol dan obat-obatan terlarang. Hal ini berkaitan dengan gaya hidup yang sering dijumpai di media sosial, dimana individu “minum-minum” dan “menggunakan obat-obatan” untuk diterima di kelompok sosialnya
  7. Perasaan kesepian dan merasa terputus dengan lingkungan sosial
  8. Insomnia (gangguan tidur)
  9. Performa akademik yang menurun
  10. Perasaan iri dan pengucilan sosial juga terkait dengan kebiasaan makan yang buruk. Misalnya obesitas di usia remaja atau dewasa muda.
  11. Permasalahan visual atau penglihatan
  12. Kurangnya konsentrasi
  13. Postur tubuh yang buruk karena lebih banyak menghabiskan waktu di depan gadget atau kurang berolahraga.
  14. Gangguan psikologis lainnya (seperti depresi, anxiety)

Apa yang harus kita lakukan?

  1. Batasi screen time. Perbandingan sosial sangat mudah dilakukan melalui media sosial sehingga mendisiplinkan diri untuk membatasi waktu melihat gadget sangat dianjurkan.
  2. Persulit akses untuk masuk ke akun media sosial. Misalnya, selalu melakukan login-logout akun media sosial, memasukkan akun media sosial ke dalam folder terkunci atau folder berlapis, akun media sosial hanya bisa dibuka melalui laptop/gadget yang jarang dibawa, dan sebagainya. Mempersulit akses untuk masuk ke akun media sosial pribadi membuat kita memiliki jeda waktu untuk berpikir sehingga kita dapat mengontrol perilaku kita sebelum masuk ke media sosial. Selain itu, hal ini juga dapat menurunkan motivasi kita untuk melihat media sosial karena sulitnya akses yang harus dilalui untuk membukanya.
  3. Manfaatkan fitur mute, hide, filter atau lainnya untuk membatasi kita dengan akun-akun media sosial yang mungkin memicu (triggering) perasaan khawatir.
  4. Konseling psikologis. Berdasarkan penelitian, Cognitive Behavior Therapy (CBT) menjadi salah satu penanganan yang efektif. CBT membantu kita untuk menemukan persepsi atau pemikiran yang kurang tepat dalam diri kita menjadi persepsi yang lebih sehat. 
  5. Carilah kebahagiaan di dunia nyata. FoMO membuat individu memiliki persepsi yang salah mengenai kebahagiaan bahwa kebahagiaan adalah ketika kita dapat terhubung di media sosial dan mengikuti gaya hidup disana. Maka dari itu, mulai sadari persepsi yang keliru tersebut sehingga kita termotivasi untuk mencari kebahagiaan di dunia nyata. Misalnya dengan melakukan hobi, olahraga, bergabung dengan organisasi/komunitas yang diminati.
  6. Tidak perlu berusaha keras. Kita tidak perlu berusaha keras untuk mendapat perhatian, mengubah prinsip kehidupan, mengubah gaya hidup untuk diterima oleh orang lain/kelompok sosial. Mereka yang sesuai akan memberikanmu perhatian dan penerimaan dengan tulus tanpa kamu berusaha memintanya.

Referensi:

Gupta, M., & Sharma, A. (2021). Fear of missing out: A brief overview of origin, theoretical underpinnings and relationship with mental health. World Journal of Clinical Cases, 9(19), 4881.

Milyavskaya, M., Saffran, M., Hope, N., & Koestner, R. (2018). Fear of missing out: prevalence, dynamics, and consequences of experiencing FoMO. Motivation and Emotion, 42(5), 725-737.

2021 © All Rights Reserved. LembarHarapan.id