“Children don’t say, ‘I had a hard day. Can we talk?’ They say, ‘Will you play with me?’” – Lawrence Cohen
Tidak banyak orangtua yang tahu bahwa anak dan remaja dapat mengalami depresi. Bagi kebanyakan orang, anak dan remaja dianggap “kurang matang atau kurang dewasa” untuk bisa merasakan depresi. Selain itu, perubahan suasana hati yang sering terjadi juga dianggap normal pada anak dan remaja. Padahal, studi terbaru menunjukkan bahwa tidak hanya orang dewasa, tetapi anak dan remaja juga berpotensi mengalami gangguan depresi. Berbeda dengan orang dewasa, anak dan remaja memiliki perilaku khas saat mengalami depresi. Oleh sebab itu, depresi di kalangan anak dan remaja sering terjadi, tetapi tidak disadari. Bagaimana depresi pada anak dan remaja? Mari kita bahas lebih lanjut.
Memahami ciri-ciri depresi pada anak dan remaja
Sebelum tahun 1930, para peneliti masih merasa tidak yakin bahwa anak dan remaja bisa mengalami depresi. Mana mungkin anak-anak mengalami depresi? Mereka kan masih kecil dan belum paham rasanya tertekan? Pada tahun 1970 penelitian mengenai depresi pada anak mulai berkembang, namun depresi pada anak hanya dianggap sebagai pengalaman perasaan tertekan. Artinya, perasaan tertekan yang ditunjukkan anak dan remaja hanya bersifat sementara, tidak merupakan gangguan, serta hanya reaksi wajar mereka saat menghadapi situasi negatif.
Saat ini, penelitian terbaru menemukan bahwa ternyata anak dan remaja juga bisa merasakan seluruh perasaan tertekan atau depresi. Di Indonesia, data riset kesehatan dasar tahun 2018 menunjukkan bahwa remaja berusia 15 tahun ke atas menunjukkan gejala depresi dan kecemasan mencapai 6,1% dengan kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri dan keinginan bunuh diri. Hampir mirip dengan orang dewasa, anak dan remaja yang mengalami depresi umumnya terlihat selalu sedih dan murung. Selain itu, mereka menunjukkan hilangnya minat atau kesenangan pada aktivitas yang dulu disenangi, lebih sering mengurung diri, menolak keluar kamar, menolak bermain dengan teman, bahkan menolak untuk bicara. Perilaku yang khas muncul adalah iritabilitas atau sifat mudah lekas marah. Selain itu, mereka juga kehilangan nafsu makan, kehilangan berat badan, hingga penurunan prestasi belajar di sekolah karena sulit untuk berkonsentrasi.
Gejala depresi pada toddler dan anak prasekolah
Toddler dan anak prasekolah tidak memiliki kemampuan untuk mengungkapkan perasaan sedih melalui kata-kata atau bahasa. Oleh karena itu, gejala depresi harus disimpulkan dari perilaku yang jelas terlihat seperti anak kehilangan minat atau kesenangan untuk bermain, kehilangan nafsu makan, berat badan turun drastis, penarikan diri dari pengasuh, keterlambatan atau kemunduran perkembangan dan gagal tumbuh yang tidak memiliki penyebab akibat kerusakan otak. Karena kesulitan mendiagnosis gangguan kejiwaan pada kelompok usia ini, psikiater atau psikolog sangat bergantung dengan riwayat wawancara dengan orang tua, evaluasi interaksi orang tua-anak dan wawancara bermain oleh para profesional yang terlatih.
Gejala depresi pada anak usia sekolah
Anak usia sekolah secara kognitif sudah mampu menghayati penyebab stres dari lingkungan (misalnya, konflik keluarga, kegagalan akademis). Namun, seringkali perasaan negatif atau stres yang dirasakan anak usia sekolah diekspresikan melalui keluhan somatik (sakit kepala, sakit perut), kecemasan (fobia sekolah, kecemasan perpisahan yang berlebihan) dan lekas marah (temper tantrum dan masalah perilaku lainnya), harga diri rendah sampai dengan rasa bersalah yang berlebihan. Mengingat anak-anak ini sudah bersekolah, guru dapat menjadi sumber informasi yang berharga dan harus dimasukkan dalam proses asesmen sebagai salah satu sumber untuk menegakkan diagnosis. Penting untuk diperhatikan bahwa anak usia sekolah yang mengalami depresi, bisa tetap berusaha untuk menyenangkan orang lain (tetap belajar dan mematuhi perintah orang tua), sehingga perilaku baik ini seringkali lebih diperhatikan daripada gangguan depresi itu sendiri.
Gejala depresi pada remaja
Remaja mengalami banyak tantangan perkembangan saat mereka berusaha untuk berpisah dari orang tua mereka, menjadi mandiri, dan membangun identitas mereka sendiri. Dalam proses ini remaja semakin bergantung pada kelompok sebaya mereka. Apabila remaja merasa gagal untuk membangun identitas sesuai yang diharapkannya, remaja cenderung lebih mudah untuk mengalami depresi seperti putus asa, tidak bahagia, tidak menikmati pengalaman atau aktivitas yang biasanya menyenangkan baginya, insomnia sampai hipersomnia, kenaikan atau penurunan berat badan yang drastis, menolak sekolah, berhenti memperhatikan diri mereka sendiri, sampai dengan penyalahgunaan narkoba.
Sebelum benar-benar mengalami depresi, anak dan remaja sebetulnya melewati beberapa proses perjalanan atau pathway gangguan depresi. Prosesnya dimulai dari suasana hati tertekan (tampak selalu murung, belum mengarah pada gangguan), meningkat menjadi sindrom depresi (beberapa tanda-tanda menuju gangguan depresi sudah muncul, tetapi belum memenuhi kriteria diagnosis), sampai dengan gangguan depresi itu sendiri. Diagnosis depresi harus ditegakkan oleh profesional seperti psikolog atau psikiater karena membutuhkan serangkaian wawancara, observasi, pengetesan dan evaluasi.
Mengapa anak dan remaja mengalami depresi?
Berikut adalah beberapa alasan mengapa anak-anak dan remaja mungkin mengalami depresi:
Selain itu, ada faktor-faktor risiko yang meningkatkan kecenderungan anak dan remaja untuk mengalami depresi seperti faktor genetik (orangtua dengan riwayat depresi), faktor neurologis (ketidakseimbangan suatu zat di dalam otak), serta faktor psikososial (kemiskinan, perceraian orangtua).
Dampak gangguan depresi pada anak
Gangguan depresi dialami oleh 3-5% anak dan remaja dengan berbagai dampak negatif. Beberapa diantaranya adalah berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan (karena kehilangan nafsu makan, kehilangan minat untuk bergaul dengan teman sebaya), performa sekolah (penurunan prestasi belajar), serta mengarahkan anak untuk melakukan perilaku bunuh diri di masa mendatang.
Setelah pemulihan dari episode gangguan depresi, banyak anak terus menunjukkan sisa-sisa dari gejala depresi, seperti harga diri yang rendah, gangguan berinteraksi dengan orang lain, risiko untuk mudah terpapar narkoba sampai dengan kehamilan dini. Oleh sebab itu, sangat disarankan psikiater atau psikolog tidak hanya melakukan pemeriksaan untuk mendiagnosis gangguan depresi pada anak dan remaja, tetapi juga termasuk mengevaluasi, mengobati gejala, serta gejala sisa dan pencegahan kekambuhan.
Apa yang perlu dilakukan orang tua saat melihat anak menunjukkan gejala depresi?
Pertama-tama, orang tua dapat menanyakan pikiran dan perasaan anak tanpa perlu menghakimi. Apabila anak tidak mau menjawab, orang tua dapat mengkomunikasikan perilaku anak ke psikiater atau psikolog. Sedini mungkin intervensi diberikan, semakin baik proses penyembuhan anak dimasa mendatang.
Treatment dan Usaha pencegahan depresi pada anak dan remaja
Psikoterapi dapat berguna sebagai terapi awal untuk anak-anak dan remaja dengan depresi ringan sampai sedang dan sebagai tambahan untuk pengobatan untuk anak-anak dengan depresi yang lebih berat karena depresi berat membutuhkan terapi obat-obatan. Psikoterapi mencakup terapi bermain, terapi psikodinamik, terapi suportif, terapi interpersonal, terapi keluarga, terapi kelompok dan terapi perilaku kognitif (CBT). Psikolog atau psikiater akan menentukan tingkat perkembangan kognitif dan emosional anak dalam menentukan pendekatan terapi yang paling tepat. Misalnya, terapi bermain dan pelatihan orang tua kemungkinan akan paling tepat untuk digunakan pada anak-anak usia prasekolah yang mengalami depresi, sementara terapi perilaku psikodinamik atau kognitif akan lebih tepat untuk anak-anak dan remaja yang lebih tua.
Terakhir, memberikan edukasi kepada keluarga juga diperlukan untuk mengoptimalkan terapi. Selain untuk meningkatkan kepatuhan anak melakukan terapi, mengedukasi orang tua untuk memberikan bantuan kepada orang tua agar tidak menyalahkan dirinya sendiri serta menghimbau mereka agar terus mendukung anaknya melakukan terapi sampai mencapai kondisi yang lebih baik. Idealnya, pendekatan kolaboratif ini juga melibatkan sekolah dan lingkungan terdekat anak lainnya.
“Remember, no matter the problem, kindness is always the right response. When your child is having a problem, stop, listen, then respond to the behavior. The behavior can be addressed later, after the need has been met, because only then is the door to effective communication truly open.”- L.R.Knost
Oleh sebab itu, ayah dan bunda apabila merasa anak menunjukkan tanda-tanda atau gejala depresi, jangan tunda untuk memeriksakan anak ke profesional ya!
Referensi
Maughan, B., Collishaw, S., & Stringaris, A. (2013). Depression in childhood and adolescence. Journal of the Canadian Academy of Child and Adolescent Psychiatry = Journal de l’Académie canadienne de psychiatrie de l’enfant et de l’adolescent, 22(1), 35–40.
Son, S.E., & Kirchner, J.T. (2000). Depression in Children and Adolescents. Am Fam Physician. 62(10):2297-2308. https://www.aafp.org/afp/2000/1115/p2297.html#afp20001115p2297-t1
Son, S.E., & Kirchner, J.T. (2000). What to Do if You Think Your Child Is Depressed. Am Fam Physician, 62(10):2311-2312. https://www.aafp.org/afp/2000/1115/p2311.html
Wilmshurst, L. (2017). Abnormal Child and Adolescent Psychology. New York: Routledge.
Paramita Estikasari adalah seorang psikolog klinis dengan spesialisasi pada bidang psikologi klinis anak dan remaja. Mita merupakan lulusan sarjana psikologi Universitas Diponegoro dan melanjutkan studi magister dan profesi psikolog di Universitas Indonesia. Selain mendalami parenting, tumbuh kembang anak, dan anak berkebutuhan khusus, Mita juga memiliki ketertarikan pada lingkup hubungan relasi romantis dan pernikahan. Umumnya Mita menggunakan pendekatan dalam konseling/terapi dengan menggunakan Cognitive Behavioral Therapy dan pendekatan Behaviorisme.
No.SIPP (Surat Izin Praktik Psikologi): 3692-21-2-1