Dampak Ketiadaan Peran Ayah Pada Laki-laki

Pada artikel Dampak Ketiadaan Peran Ayah pada Anak Perempuan – Lembar Harapan sebelumnya, Sahabat Harapan telah mengetahui bagaimana efek ketidakhadiran peran ayah pada anak perempuan. Ternyata, ketiadaan atau ketidakhadiran peran seorang ayah memiliki efek yang merugikan pada perkembangan sosial-emosional anak perempuan. Dampak lainnya adalah ketidakmampuan anak perempuan untuk percaya dan berhubungan dengan laki-laki pada umumnya. Lalu, apakah dampak ini juga dirasakan oleh anak laki-laki? Atau, adakah dampak lain dari ketiadaan ayah terhadap anak laki-laki? Kali ini tim lembar harapan akan membahas mengenai ketiadaan peran ayah dalam pengasuhan terutama pada anak laki-laki. 

Rasa Aman dan Percaya Sebagai Dasar Perkembangan Anak

Tugas perkembangan anak saat pertama kali lahir adalah menciptakan rasa percaya pada dunia. Rasa percaya ini akan membantu anak untuk dapat beradaptasi dengan lebih baik pada tugas-tugas perkembangan selanjutnya. Beberapa contohnya seperti berani mengeksplorasi lingkungan atau saat dewasa anak lebih mudah menjalin relasi romantis dengan lawan jenis. Rasa percaya terhadap lingkungan dapat dibentuk melalui hadirnya peran kedua orang tua dalam pengasuhan. Ayah dan ibu bersama-sama memberikan kasih sayang, rasa dicintai, dan rasa aman. Namun terkadang, ada beberapa kondisi yang menyebabkan ayah dan ibu tidak bisa hadir sepenuhnya dalam kehidupan anak. Ketidakhadiran salah satu peran orang tua dapat terjadi karena beberapa faktor, salah satunya seperti tempat kerja yang jauh, bercerai, dan kematian. 

Perbedaan studi dampak ketidakhadiran ayah

Berbagai studi menemukan hasil yang berbeda-beda mengenai dampak tidak adanya peran ayah dalam pengasuhan anak laki-laki. Studi yang dilakukan oleh Boothroyd & Cross (2017) menyebutkan bahwa laki-laki yang tidak memiliki ayah memiliki identitas gender feminin. Hal tersebut karena identifikasi kuat peran ibu selama masa kanak-kanak. Perilaku maskulin yang muncul merupakan reaksi terhadap identitas feminin yang dirasa tidak pantas secara sosial. Begitu pula studi yang dilakukan oleh Huston (1983) bahwa anak laki-laki dari keluarga ibu tunggal kurang maskulin daripada anak laki-laki dari keluarga dua orang tua. Penelitian Saefudin, Lisnawarti, dan Sriwijayanti (2020) menemukan adanya kebingungan identitas gender pada mahasiswa gay yang menjadi partisipan. Artinya bahwa laki-laki tanpa ayah cenderung lebih feminim dan akan menjadi maskulin apabila secara sosial memaksa mereka untuk bersikap maskulin. Meskipun demikian penelitian yang dilakukan oleh Stevens (2002) menemukan bahwa tidak ada pengaruh peran gender terhadap anak prasekolah. 

Kebutuhan anak yang diharapkan dari ayah

Penelitian lainnya oleh Dickerson (2014) pada remaja laki-laki menyatakan bahwa tetap ada kebutuhan yang diinginkan dan diharapkan untuk dipenuhi dengan kehadiran ayah.  Remaja laki-laki ini mengharapkan adanya dukungan, seseorang untuk mendapatkan bimbingan dan nasihat, meminta pertanggungjawaban dan mendisiplinkan mereka, membantu memotivasi, mengajari keterampilan dan peran gender tertentu, dan seseorang dengan siapa untuk berbagi ikatan ayah-anak. Ketika ayah tidak ada, remaja ini bergantung pada ibu, kakek-nenek, teman sebaya, mentor di masyarakat, guru, administrator, dan konselor bimbingan untuk memenuhi kebutuhan ini. Partisipan dalam penelitian ini menyampaikan bahwa sebagian besar kebutuhan ini tetap tidak terpenuhi selama sekolah menengah. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, dampaknya terlihat secara emosional dan perilaku, mempengaruhi identitas mereka sebagai remaja laki-laki.

Secara umum, ketiadaan peran ayah pada anak, baik laki-laki maupun perempuan, dapat menyebabkan anak lebih mungkin menjadi agresif, kecenderungan depresi, memiliki harga diri yang rendah, kemungkinan besar berperilaku buruk di sekolah, bunuh diri, dan penggunaan narkoba. Akan tetapi, apakah semua anak akan berlaku demikian? Apa yang bisa ibu lakukan?

Peran lingkungan untuk mengoptimalkan perkembangan anak

Di dalam buku yang ditulis oleh Drexler & Gross (2005) menjelaskan bahwa kondisi di atas dapat diminimalisir. Terlepas pada berbagai hasil penelitian mengenai dampak ketiadaan peran ayah dalam pengasuhan pada anak laki-laki, menurut Drexler dan Gross peran lingkungan sangat penting. Kombinasi peran laki-laki selain ayah dalam kehidupan seorang anak, seperti teman, kerabat, atau tokoh di televisi atau di buku, dapat menjadi model pendidikan mengenai bagaimana peran gender ayah. Dr. Drexler memperluas studinya menjadi Raising Boys without Men, yang merupakan pemeriksaan terhadap anak-anak lelaki dan ibu mereka yang luar biasa. Menyanggah pendapat yang bertentangan dengan percaya diri, penelitian Dr. Drexler menunjukkan bahwa anak laki-laki yang dibesarkan tanpa ayah adalah komunikator yang cerdas secara sosial, murah hati, peduli, sementara masih tetap sangat “kekanak-kanakan”, bersemangat tentang olahraga dan mahir bergaul dengan teman-teman.

Pentingnya kualitas dalam pengasuhan anak

Anak-anak yang tinggal tanpa ayah, akan tetapi memiliki iklim yang positif di dalam keluarganya menunjukkan perkembangan yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang tinggal dengan orang tua, tetapi memiliki kondisi pernikahan yang buruk. Iklim positif yang dimaksud adalah interaksi yang penuh kehangatan, konflik yang dapat diselesaikan dengan baik oleh pasangan, serta komunikasi antar anggota keluarga berjalan lancar.  Tingkat stres dan kondisi psikologis orang tua di dalam rumah memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan anak dibandingkan dengan kehadiran kedua orang tua di rumah.

Ibu-ibu dalam studi Dr Drexler mengenai pengasuhan anak laki-laki ini memelopori bentuk pengasuhan baru yang menolak penilaian sosial tentang struktur keluarga dan stereotip gender dan menekankan pentingnya komunikasi, komunitas, dan cinta. Bahwa kualitas pengasuhan, bukan jenis kelamin itu penting. Ibu-ibu pemberani ini memiliki banyak hal untuk diajarkan kepada kita tentang cara yang lebih baik untuk membesarkan pria masa depan. Salah satunya adalah dengan memberikan pengasuhan yang penuh cinta, rasa hormat, dan pengertian yang membuat laki-laki muda menjadi pria yang kuat dan tangguh.”Terkoneksi” dengan anak, memahami bahwa anak merupakan individu yang memiliki kepribadian yang berdiri sendiri, memahami apa yang sedang dialami putra mereka, mendukung naluri terbaik mereka dan mengajari mereka bagaimana menjadi pria yang lebih baik merupakan cara yang dapat dilakukan ibu.

Apakah hal ini berarti tidak penting adanya kehadiran ayah? Jawabannya adalah tidak. Bagaimanapun juga, kehadiran kedua orang tua memiliki banyak manfaat bagi perkembangan anak. Ayah dan ibu perlu hadir secara bersama-sama untuk terhubung dengan anak, sehingga anak dapat mendapatkan seluruh kebutuhan dari peran pengasuhan kedua orangtuanya.

Referensi

Boothroyd, L. G., & Cross, C. P. (2017). Father absence and gendered traits in sons and daughters. PloS one, 12(7), e0179954. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0179954

Dickerson, CM. (2014). The lived experienced of fatherless in male adolescents: the student perspective. A Dissertation: Liberty University.

Drexler, P., & Gross, L. (2005). Raising boys without men: How maverick moms are creating the next generation of exceptional men. Rodale Press.

Huston, A. (1983). Sex typing. In E. M. Hetherington (Ed.), Handbook of child psychology. Vol. 4: Socialization, personality and social development (pp. 397–467). New York: Wiley.
Wahyu, S., Lisnawati, Srwiwijayanti. (2002). Father’s role in parenting: a case study from gay student perception. Jurnal Psikologi Integratif, 9 (2), 225-251

2021 © All Rights Reserved. LembarHarapan.id