Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh berita tentang bullying yang terjadi di sekolah. Tentunya ini membuat kita merasa prihatin dan khawatir. Sebagai orang tua, pendidik (guru), atau orang dewasa yang berada di sekitar anak-anak, kita mungkin tidak tahu bahwa anak-anak kita adalah korban, pengamat, atau bahkan pelaku perundungan. Oleh karena itu, kita perlu memahami dan mengenali tanda-tanda peringatan perundungan sehingga kita bisa membekali dan melindungi anak-anak dan remaja kita dari perundungan dan kekerasan.
Bullying atau yang dikenal sebagai perundungan adalah perilaku negatif yang berulang dengan maksud untuk menyakiti yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau sekelompok orang lainnya. Perundungan merupakan bentuk agresi atau kekerasan interpersonal yang kompleks, meliputi berbagai bentuk pola hubungan. Perundungan memiliki tiga karakteristik, yaitu niat untuk menyakiti, kejadian/tindakan berulang, dan kekuatan yang tidak setara antara perundung dan korban.
Para peneliti membagi tiga jenis perundungan, yaitu perundungan fisik, verbal, dan relasional (hubungan). Perundungan fisik mencakup perundungan yang diniatkan untuk melukai korban secara fisik, misalnya memukul, menendang, mencubit, dan lain-lain. Perundungan verbal mengacu pada praktik memanggil nama dengan panggilan yang tidak menyenangkan, menggoda atau mengancam secara verbal. Perundungan relasional meliputi manipulasi hubungan yang sengaja dilakukan oleh pelaku untuk merusak hubungan korban dengan teman sebaya. Perundungan relasional mencakup pengucilan sosial, menyebarkan desas-desus, atau menahan persahabatan.
Belakangan, ada satu jenis perundungan yang disebut cyber bullying. Cyber bullying merupakan perilaku menyakiti/merusak yang disengaja dan berulang kepada orang lain yang ditimbulkan melalui penggunaan komputer, telepon, dan perangkat elektronik lainnya. Cyber bullying dapat berupa perilaku intimidasi, baik secara terbuka atau terselubung menggunakan teknologi digital termasuk perangkat keras, seperti komputer dan smartphone, dan perangkat lunak seperti media sosial, pesan instan, teks, situs web, dan platform online lainnya. Cyber bullying bisa terjadi kapan saja, bisa di depan umum atau secara pribadi dan terkadang hanya diketahui oleh target dan orang yang diintimidasi.
Untuk memahami fenomena perundungan, kita perlu mengenali siapa saja pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Umumnya, ada tiga pihak, yaitu yang mengamati perundungan (pengamat, bystanders), yang mengalami perundungan (victim, korban), dan yang melakukan perundungan (perundung, bullies). Penelitian menemukan bahwa korban dan pelaku perundungan seringkali merupakan kelompok yang paling tidak stabil dan mereka mengambil peran yang berbeda dalam perundungan. Mereka terkadang bertukar peran di setting lingkungan yang berbeda. Misalnya, seorang siswa dapat menjadi korban perundungan oleh teman di sekolah, tetapi ia menjadi perundung saudara/temannya di rumah.
Perundungan bukan hanya masalah hubungan timbal balik antara perundung dan korban, tetapi juga dianggap sebagai fenomena kelompok yang terjadi dalam konteks sosial. Perundung muncul bukan hanya sebagai akibat dari karakteristik individu, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor dan hubungan dengan teman sebaya, keluarga, guru, tetangga, dan interaksi dengan masyarakat (misalnya, media, teknologi).
Pengaruh Individu
Dalam hal faktor individu, perundungan dikaitkan dengan sifat tidak berperasaan (callous, unemotional traits), gangguan perilaku (conduct disorder), agresivitas, kepribadian antisosial, kerentanan terhadap tekanan teman sebaya, kecemasan dan depresi, serta status sosial yang tinggi.
Pengaruh Keluarga
Sejumlah karakteristik keluarga ditemukan sebagai faktor yang mempengaruhi perundungan, yaitu pengawasan orang tua yang buruk, lingkungan keluarga yang negatif, konflik orang tua, kekerasan dalam rumah tangga, komunikasi orang tua yang rendah, kurangnya dukungan emosional orang tua, pengasuhan otoriter, disiplin yang tidak tepat, dan kekerasan orang tua. Faktor dari keluarga yang berhubungan dengan viktimisasi (korban) adalah pelecehan, pengabaian, dan pengasuhan yang terlalu protektif.
Pengaruh Teman Sebaya
Anak-anak dan remaja menghabiskan sebagian besar waktunya berinteraksi dengan teman sebaya di sekolah, lingkungan masyarakat, dan/atau media sosial. Perundungan hampir selalu terjadi di dalam konteks teman sebaya. Perundungan lebih mungkin terjadi di ruang kelas yang ditandai oleh norma-norma teman sebaya (peers) yang mendukung perundungan, dan konflik teman sebaya yang tinggi. Berkelompok dengan teman sebaya yang agresif juga terkait dengan tindakan perundungan.
Salah satu pengaruh teman sebaya yang paling banyak diteliti tentang perundungan di sekolah adalah bystander. Studi observasional Pepler, dkk (2010). menunjukkan bahwa 2-4 anak hadir di sebagian besar (85% hingga 88%) dari insiden perundungan. Pengamat (bystander) sering merespons dengan cara-cara yang mendorong perundungan daripada mencegahnya. Bystander terlibat secara aktif dalam perundungan (21%), sebagian mencoba campur tangan untuk membela korban (25%), dan yang paling sering adalah menonton secara pasif (54%).
Pengaruh Sekolah
Perundungan paling banyak terjadi dalam konteks sekolah. Iklim sekolah berdampak pada frekuensi perundungan. Tingkat perundungan yang tinggi dikaitkan dengan tanggapan guru yang tidak tepat, hubungan guru-murid yang buruk, kurangnya dukungan guru, dan kurangnya keterlibatan sekolah. Siswa juga kecil kemungkinannya untuk melaporkan perundungan jika mereka melihat sekolah mereka memiliki iklim negatif. Hubungan antara iklim sekolah dan perundungan mungkin terjadi dua arah. Iklim sekolah yang buruk berkontribusi terhadap perundungan dan begitu juga sebaliknya.
Pengaruh Komunitas/Budaya
Ada pengaruh komunitas dan masyarakat yang juga turut berhubungan dengan perundungan. Lingkungan negatif atau tidak aman, afiliasi geng, kemiskinan, tayangan kekerasan di TV dan video game. Peningkatan kasus perundungan umumnya ditemukan dalam komunitas di mana kekerasan dimodelkan (dicontohkan) atau dimaafkan.
Penelitian menunjukkan bahwa pelaku maupun korban perundungan memiliki risiko lebih besar untuk mengalami kecemasan, depresi, harga diri rendah, menyakiti diri sendiri, ide bunuh diri, cedera fisik, penyalahgunaan zat, sikap negatif terhadap sekolah, ketidakhadiran (membolos sekolah), agresi, dan kenakalan.
Dari sudut pandang korban, korban perundungan mengalami gangguan kesehatan fisik, sulit menyesuaikan diri di sekolah, termasuk tidak bahagia, merasa tidak aman, hasil belajar atau performa akademis yang buruk, perilaku membolos, dan, dalam beberapa kasus, putus sekolah, mengalami kesepian, menarik dari lingkungan, kecemasan dan penghindaran sosial, depresi, dan ide bunuh diri, hiperaktif, kenakalan, agresivitas, dan penolakan oleh teman sebaya.
Dari sudut pandang pelaku, perundungan dianggap sebagai penguatan. Pelaku mungkin mendapatkan “penghargaan” atas perilaku perundungan (misalnya, melalui status atau popularitas yang meningkat, akses ke barang atau fasilitas tertentu) sehingga menjadi makin mengembangkan perundungan atau perilaku agresif lebih lanjut.
Berikut ini adalah tanda peringatan yang menunjukkan bahwa seseorang terkena perundungan:
Jika anak tidak mampu bercerita atau menjelaskan tentang kondisinya, kita perlu mendorong anak untuk bicara. Banyak korban perundungan tidak meminta bantuan atau bercerita kepada orang dewasa karena berbagai alasan, misalnya:
Mengenali tanda peringatan dan faktor yang mempengaruhi perundungan adalah langkah pertama yang penting untuk mengambil tindakan melawan perundungan. Selanjutnya akan dibahas tentang upaya pencegahan dan penanganan perundungan. Nantikan di artikel selanjutnya ya, Sahabat Harapan!
Referensi
Puput Mariyati merupakan Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang kesehatan mental dewasa dan keluarga. Isu-isu psikologi yang ia gemari adalah depresi dan stress; parenting; perkembangan anak, khususnya anak berkebutuhan khusus (special needs); serta pendekatan terapi kognitif-perilaku dan psikologi positif. Bagi pemilik motto hidup “man jadda wajada” ini, mendalami dan berperan sebagai praktisi di bidang psikologi adalah salah satu jalan baginya untuk bisa menebar manfaat pada orang lain.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3358-21-2-1