Berkenalan dengan Highly Sensitive Person (HSP)
Apa itu Highly Sensitive Person (HSP)
Istilah Highly Sensitive Person (HSP) pertama kali dicetuskan oleh pasangan psikolog asal Amerika Serikat, Dr. Elaine Aron dan suami. Highly Sensitive Person adalah istilah populer dari individu yang memiliki Sensory Processing Sensitivity (SPS) yakni temperamen yang ditentukan secara genetis atau sifat (trait) kepribadian yang menunjukkan peningkatan sensitivitas pada sistem saraf pusat dan proses kognitif yang lebih mendalam terhadap stimulus fisik, sosial dan emosional. Individu yang tergolong HSP digambarkan mudah untuk lebih terstimulasi atau lebih reaktif terhadap stimulus dari luar karena memiliki ambang batas perseptual yang lebih rendah serta memproses stimulus secara kognitif lebih dalam dibandingkan individu pada umumnya. Dalam sebuah populasi, diperkirakan ada sekitar 15-20% individu yang tergolong HSP.
Seperti apa ciri-ciri Highly Sensitive Person (HSP)?
Ada 4 dimensi yang membentuk individu sebagai HSP (biasa disingkat menjadi “DOES”), yaitu:
- D – Depth of Processing, memiliki sifat-sifat seperti empati, berhati-hati (conscientiousness), memiliki perasaan yang intensif terhadap orang lain, memiliki mimpi dan kaya akan imajinasi, memiliki kesadaran akan konsekuensi jangka panjang sehingga memiliki pendekatan yang evaluatif dalam melakukan sesuatu.
- O – Overstimulation, kecenderungan untuk lebih sering dan lebih kuat terstimulasi oleh kondisi yang dipersepsikan memicu stres.
- E – Emotional Intensity, memiliki respon emosional yang lebih kuat, baik emosi positif maupun negatif.
- S – Sensory Sensitivity, HSP memiliki ambang rasa sakit yang rendah dan toleransi yang rendah terhadap input sensori, serta mampu melihat perbedaan yang tidak kentara.
Dari penelitian-penelitian mengenai HSP, ditemukan beberapa karakteristik umum yang dimiliki HSP yaitu:
- Menghindari film atau tayangan yang mengandung unsur kekerasan karena dirasa terlalu kuat efeknya dan meninggalkan perasaan yang tidak nyaman
- Sangat tersentuh/ terharu oleh keindahan, baik itu yang terekspresikan pada karya seni, alam semesta, jiwa manusia ataupun iklan komersial yang bagus
- Merasa kewalahan dengan stimulus sensori seperti kebisingan, keramaian, cahaya yang terang atau (bahan) pakaian yang tidak nyaman
- Punya kebutuhan yang lebih untuk beristirahat terutama setelah melalui hari yang sibuk, butuh menyendiri dan menyepi
- Punya pikiran yang mendalam dan perasaan yang kuat sehingga proses yang terjadi di dalam diri individu cenderung lebih kompleks
Penyebab individu menjadi Highly Sensitive Person
Ada beragam faktor yang menyebabkan individu tumbuh menjadi highly sensitive person, yaitu
- Genetik. Karakteristik HSP bersifat herediter/diturunkan. Selain itu, secara spesifik HSP memiliki sistem dopamin yang berbeda dari orang pada umumnya. Sistem dopamin menentukan tingkat sensitivitas dalam diri individu. Dopamin adalah salah satu neurotransmitter* pada otak yang memiliki dampak langsung pada fungsi-fungsi neurologis, kognitif dan perilaku, termasuk yang terkait dengan gairah (arousal), gerakan, pengaturan hormon dan kelenjar tertentu, pikiran dan emosi, penguatan dan reward. Dengan kata lain, dopamin mempengaruhi cara individu berpikir dan bergerak hingga cara mengingat dan berperilaku.
*) Neurotransmiter adalah senyawa kimia yang bertugas mengantarkan sinyal dalam tubuh dan juga bertindak sebagai hormon.
- Pengasuhan yang kurang hangat. Penelitian menunjukkan bahwa pengasuhan yang kurang hangat terutama di pada usia dini menyebabkan anak mengembangkan sifat-sifat yang sensitif dan terus terbawa hingga ia dewasa
- Pengalaman negatif saat masa kanak-kanak. Anak-anak yang mengalami pengalaman traumatis memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi highly sensitive person saat dewasa.
Hal-hal yang berpotensi menjadi kendala bagi HSP
Dibandingkan dengan orang lain pada umumnya, dengan karakteristik yang dimiliki, HSP lebih rentan mengalami stres saat menghadapi situasi yang sulit. HSP juga lebih mungkin untuk merasa stres atas kesulitan yang dialami orang lain, di antaranya karena HSP memiliki empati yang cukup tinggi. Adapun hal-hal lain yang juga bisa menimbulkan stres yang signifikan bagi HSP adalah:
- Social stress atau konflik interpersonal. Social stress umumnya dipersepsikan lebih kuat dampaknya dibandingkan pemicu stres lainnya, termasuk bagi HSP. Social stress adalah situasi yang mengancam bagi hubungan individu, harga diri dan keterikatan individu dalam suatu relasi antarmanusia, kelompok maupun konteks sosial yang lebih besar. Social stress bisa berasal dari kendala dalam interaksi sosial, seperti konflik pasangan dalam pernikahan atau konflik keluarga. Social stress juga bisa muncul dalam situasi ketika performa individu dievaluasi dimana individu dinilai, dihakimi atau dikritik serta pada situasi ketika individu merasa ditolak, dikucilkan atau diabaikan.
- Jadwal yang sibuk. HSP umumnya merasa kewalahan dan bingung jika harus mengerjakan banyak hal dalam waktu yang singkat, meskipun secara teknis mereka punya cukup waktu jika bekerja dengan cepat.
- Ekspektasi dari orang lain. HSP cenderung memperhatikan kebutuhan dan perasaan orang lain. Sulit bagi mereka untuk menghadapi kekecewaan orang lain dan berkata “tidak”. HSP juga cenderung merasa bertanggungjawab atas kebahagiaan orang lain atau setidaknya sangat peka jika ada emosi negatif dalam berelasi dengan orang lain.
- Perbandingan sosial. Manusia secara alami memiliki perilaku membandingkan diri dengan orang lain, baik dengan orang yang lebih baik ataupun lebih buruk. Perbandingan ini sebetulnya diperlukan untuk membuat individu belajar dari individu yang lain atau memotivasi individu agar tidak tertinggal jauh dari potensi yang ia miliki. Pada HSP, perbandingan sosial ini lebih menekan karena mereka sangat menyadari perasaan yang timbul dalam dirinya serta perasaan orang lain, ketika membandingkan diri dengan orang lain.
- Toleransi yang rendah terhadap stres harian, terutama pada distraksi ketika HSP butuh berkonsentrasi. Contohnya aroma tidak sedap dari lingkungan sekitar, dapat menjadi pemicu stres yang signifikan bagi HSP
- Kegagalan personal. HSP cenderung memiliki sifat perfeksionis dan merupakan kritikus terburuk bagi dirinya sendiri. Ketika melakukan kesalahan, mereka cenderung mengingatnya lebih lama serta merasakan emosi negatif lebih lama dibandingkan individu lainnya.
Penting untuk diingat bahwa tidak ada diagnosis yang resmi untuk HSP dan HSP bukanlah gangguan mental. HSP seringkali dideskripsikan negatif sebagai individu yang “terlalu sensitif”. Padahal, seperti sifat kepribadian pada umumnya, HSP merupakan sifat kepribadian yang juga memiliki sisi positif, serta menimbulkan tantangan pada individu yang memilikinya. Dengan mengetahui dan menyadari karakteristik HSP pada diri Sahabat Harapan, Anda akan bisa lebih menerima memahami diri sendiri, serta mampu menentukan langkah antisipasi dan menghadapi tantangan yang muncul dengan lebih baik. Sahabat Harapan bisa mengisi kuesioner ini untuk mengetahui apakah Sahabat termasuk HSP atau bukan. Kuesioner tersebut dirumuskan oleh Dr. Elaine Aron.
Referensi
Acevedo, B., Aron, E., Pospos, S., & Jessen, D. (2018). The functional highly sensitive brain: a review of the brain circuits underlying sensory processing sensitivity and seemingly related disorders. Philosophical transactions of the Royal Society of London. Series B, Biological sciences, 373(1744), 20170161. https://doi.org/10.1098/rstb.2017.0161
Boterberg, Sofie & Warreyn, Petra. (2016). Making sense of it all: The impact of sensory processing sensitivity on daily functioning of children. Personality and Individual Differences, 92, 80-86. DOI:10.1016/j.paid.2015.12.022
Juth, V., Dickerson, S. (2013). Social Stress. In: Gellman, M.D., Turner, J.R. (eds) Encyclopedia of Behavioral Medicine. Springer, New York, NY. https://doi.org/10.1007/978-1-4419-1005-9_283
Scott, E. (2022). What is highly sensitive person?. Diakses dari https://www.verywellmind.com/highly-sensitive-persons-traits-that-create-more-stress-4126393
Aisyah Ibadi merupakan seorang Psikolog Klinis dengan peminatan psikologi klinis anak.
Selain memiliki ketertarikan pada tumbuh kembang anak, ia juga tertarik dengan isu-isu kesehatan mental seperti kecemasan, parental burnout dan praktik mindfulness dalam kegiatan sehari-hari. Ia ingin ilmu psikologi yang dimiliki bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.
Alumni Sarjana Psikologi Universitas Indonesia
Alumni Magister Profesi Klinis Anak Univ. Indonesia
No. SIPP 0275-22-2-2
STR 112482123-4589179 (ED. 2028)