Self-compassion merupakan kecenderungan individu untuk memperlakukan diri sendiri dengan kebaikan, menerima tantangan dan kegagalan yang dihadapi tanpa menghakimi diri sendiri. Self-compassion merupakan kualitas penting bagi kesejahteraan dan kesehatan mental. Memiliki self-compassion berkaitan dengan menurunnya tingkat stres, menurunkan respon fisiologis terhadap stres, meningkatkan perilaku menjaga kesehatan sehingga meningkatkan kesehatan fisik. Self-compassion mengajak individu menyambut emosi negatif yang dimiliki individu dan menunjukkan sikap yang dapat menimbulkan emosi positif. Self-compassion membuat self-esteem (baca selengkapnya mengenai self-esteem di https://lembarharapan.id/artikel/self-esteem-self-worth/ ) yang dimiliki individu menjadi lebih stabil dari waktu ke waktu dan melindungi dari self-comparison (kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain), kesadaran diri di publik yang berlebihan, kemarahan dan menghindari diri dari pikiran tertutup.
Secara umum, self-compassion memiliki tiga komponen, yaitu:
Self-kindness mengacu pada respon terhadap ketidakmampuan atau kekecewaan yang dilakukan dengan penuh pemahaman, rasa sabar, dan penerimaan, dan tidak menunjukkan kritik yang keras terhadap diri. Respon ini meredakan emosi negatif dan membantu individu untuk mempersepsikan kembali kejadian atau peristiwa tertentu dengan cara yang dapat memberikan kekuatan terhadap diri sendiri.
Common humanity mengacu pada pengakuan bahwa semua orang memiliki ketidaksempurnaan, melakukan kesalahan, dan dapat mengalami kegagalan. Hal ini dapat membuat individu tidak merasa terisolasi karena kegagalan atau kesulitan yang dihadapinya, tetapi menyadari bahwa peristiwa yang membuat stres adalah bagian dari pengalaman berharga bagi semua orang. Menilai peristiwa sulit dari perspektif ini memungkinkan individu untuk mengurangi persepsi ancaman yang berkontribusi terhadap stres, serta mengurangi hambatan untuk mencari bantuan saat dibutuhkan.
Mindfulness mengacu pada menjaga keseimbangan perasaan negatif yang dirasakan apabila mengalami kegagalan atau kesulitan. Pola pikir ini dapat membantu mengurangi stres dengan meminimalisir perenungan terhadap aspek-aspek negatif dari suatu kejadian atau peristiwa.
Ketiga komponen self-compassion di atas dapat meningkatkan regulasi diri dari emosi negatif yang muncul akibat sebuah kegagalan atau kejadian tidak terduga. Self-compassion tidak hanya dapat dirasakan terhadap diri sendiri yang mengalami kegagalan karena faktor-faktor eksternal yang tidak dapat diubah, namun juga dapat dimiliki karena kebodohan yang dilakukan diri sendiri. Individu dengan self-compassion baik pada diri mereka sendiri, mereka mengakui dan menerima kegagalan sebagai sebuah pengalaman yang dapat dialami oleh setiap orang.
Tingginya tingkat self-compassion dapat meningkatkan perasaan bahagia, pikiran optimis, rasa ingin tahu dan keterhubungan. Selain itu, self-compassion membantu mengurangi kecemasan, depresi, perenungan dan ketakutan akan kegagalan. Self-compassion bukan berarti mengasihani diri sendiri secara berlebihan, atau menurunkan motivasi untuk melangkah maju, self-compassion justru meningkatkan inisiatif untuk melakukan perubahan di dalam hidup. Individu yang memiliki self-compassionate tidak mencaci diri mereka sendiri ketika gagal sehingga mereka memiliki waktu yang cukup untuk mengakui kesalahan, melihat kembali perilaku tidak produktif yang mereka lakukan, dan melakukan perubahan-perubahan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan baru dalam hidup. Motivasi dan inisiatif untuk tumbuh dan melakukan perubahan tidak didasari oleh keinginan untuk mendapatkan pengakuan sosial, melainkan didasari oleh keinginan untuk mencapai kesejahteraan individu.
Mempraktikkan Self-Compassion
Dr. Kristin Neff, seorang ahli di bidang self-compassion menuliskan hal-hal yang dapat dilakukan untuk melatih keterampilan self-compassion setiap hari. Berikut ini adalah 5 teknik yang dapat dilakukan:
Terkadang kita lupa untuk mensyukuri hal-hal kecil yang kita alami setiap hari. Setiap hari, hidup kita diliputi oleh permasalahan-permasalahan yang menimbulkan stres, baik permasalahan yang berhubungan dengan pekerjaan, kehidupan pribadi, ataupun kehidupan rumah tangga. Hal ini menyebabkan kita sering kali lupa untuk mempraktikkan kebersyukuran kita terhadap diri kita sendiri–atau terhadap orang-orang yang kita cintai, karena telah merawat dan mengkhawatirkan kita. Selain itu, kita sering lupa berterima kasih atas kesehatan, kehidupan, tempat tinggal, kebutuhan dasar yang dapat kita penuhi dengan mudah setiap hari.
Saat teman atau orang-orang di sekitar kita meminta bantuan kita, kita berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan sangat baik. Begitu pula saat teman kita meminta nasehat kepada kita, kita berusaha untuk jujur dan berbaik hati, kita berusaha keras untuk memilih kata-kata terbaik untuk diberikan kepada mereka. Apakah kita melakukan hal yang sama pada diri kita sendiri? Apakah kita sudah berusaha untuk memilih kata-kata terbaik untuk diri kita sendiri?
Hal ini serupa dengan poin sebelumnya, ketika seseorang melakukan kesalahan yang berhubungan dengan kita, apa yang pertama kali kita katakan? “Tidak usah khawatir” atau “Tidak apa-apa.” Apakah kita menunjukkan kebaikan yang sama kepada diri kita sendiri? Terkadang, kita kesulitan untuk menerima bahwa kita hanya manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan. Maafkan diri kita sendiri dan belajar dari kesalahan yang kita lakukan.
Apabila kita mampu untuk berbuat baik dan memaafkan diri kita sendiri, kita bisa membuka ruang untuk melepaskan berbagai hal kepada diri ini. Lepaskan diri kita dari tuntutan yang diberikan lingkungan sosial bahwa nilai diri kita bergantung pada produktivitas kita. Lepaskan diri dari keyakinan bahwa diri kita tidak cukup. Yakinlah bahwa diri kita layak untuk dicintai dan dimiliki.
Terkadang yang kita butuhkan hanyalah istirahat dan izin untuk mengatakan “ini sudah cukup.” Kita butuh waktu untuk merenungkan dan menghargai semua yang telah kita capai. Jika kita telah sampai di titik ini, jangan lepaskan keaslian diri kita. Istirahatlah, luangkan waktu untuk meditasi, bernapas, atau mendengarkan lagu favorit kita.
Berada di antara tekanan sosial dan beban yang kita dapatkan, kita membutuhkan pengingat bahwa kita hanyalah manusia biasa yang memiliki kekurangan dan kelebihan, serta dapat mengalami keberhasilan dan kegagalan. Hal ini dapat mengarahkan kita kepada kehidupan yang lebih baik.
Don’t be too hard on yourself, give yourself a break.
References:
Bluth, K., & Blanton, P. W. (2015). The influence of self-compassion on emotional well-being among early and older adolescent males and females. The journal of positive psychology, 10(3), 219-230.
Homan, K. J., & Sirois, F. M. (2017). Self-compassion and physical health: Exploring the roles of perceived stress and health-promoting behaviors. Health Psychology Open, 4(2), 2055102917729542.
Neff, K. D. (2003). The development and validation of a scale to measure self-compassion. Self and identity, 2(3), 223-250.
Neff, K. D. (2009). The role of self-compassion in development: A healthier way to relate to oneself. Human development, 52(4), 211.
Zafirah adalah seorang psikolog klinis dengan spesialisasi pada psikologi klinis anak dan dewasa. Zafirah menyelesaikan pendidikan Sarjana Psikologi di Universitas Tarumanagara dan pendidikan Magister Psikologi Profesi Klinis di Universitas Airlangga. Zafirah memiliki ketertarikan pada berbagai permasalahan psikologis, seperti kecemasan, depresi, permasalahan perilaku dan intelektual pada anak, permasalahan dalam hubungan dan pernikahan, serta permasalahan psikologis lainnya.
Zafirah percaya bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk menghadapi segala permasalahan yang dihadapi dalam hidup, mereka hanya memerlukan orang yang tepat untuk diajak berdiskusi mengenai permasalahan itu.
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3357-21-2-1