“Beauty with character ages better than perfection” – Karl Lagerfield
Kecantikan dan ketampanan merupakan sebuah anugerah yang menjadi dambaan setiap manusia. Seringkali individu yang memiliki paras yang menawan memiliki beberapa kemudahan dalam kehidupan, misalnya lebih mudah untuk menjalin pertemanan dengan orang lain, mendapatkan pekerjaan, mendapatkan perlakuan yang baik dari orang lain, bahkan berpotensi lebih mudah dalam mendapatkan pasangan. Namun, faktanya setiap orang memiliki karakteristik tersendiri untuk memilih pasangan hidup sehingga paras yang menawan tidaklah menjadi faktor utama untuk membuat seseorang jatuh cinta maupun memilih pasangan mereka. Meskipun demikian, tetap saja individu merasa bahwa dirinya setidaknya harus memiliki paras yang menarik untuk bisa memiliki first impression yang membantu mereka lanjut ke tahapan mengenal satu sama lain.
Impresi kita terhadap individu yang menarik secara fisik merupakan sebuah hal yang sudah dibawa sejak nenek moyang kita dahulu. Pines dalam bukunya Falling in Love, menjelaskan mengenai teori evolusioner yang menyatakan bahwa nenek moyang kita memilih pasangan berdasarkan ketertarikan fisik. Pada wanita, fisik dianggap sangat berkaitan dengan “kesuburan”. Mereka yang dianggap memiliki pinggul yang besar dan fisik yang sehat akan dianggap lebih mudah untuk memberikan keturunan. Pria yang maskulin, tinggi, dan berotot lebih dipilih untuk menjadi pasangan karena dianggap lebih mampu untuk melindungi perempuan dan anak-anak dari ancaman binatang buas serta berburu. Dilihat dari perkembangan teori evolusi, hal ini kemudian terus terbawa oleh generasi seterusnya hingga pada masa kini pun ketertarikan fisik menjadi salah satu bagian dari pertimbangan manusia untuk memilih pasangan.
Faktor lainnya, kita lebih menikmati ketika bersama dengan orang-orang yang menarik secara fisik karena penampilan mereka memberi kita kesenangan secara estetika. Sama seperti ketika kita menikmati benda-benda seni yang indah atau melihat pemandangan yang indah. Melihat sesuatu yang indah sebenarnya adalah kebutuhan setiap manusia sehingga sangat wajar apabila kita merasakan perasaan yang lebih positif ketika berada di sekitar hal-hal yang cantik dan indah. Kebutuhan inilah yang terkadang membuat kita secara tidak sadar menunjukkan bias kepada orang-orang yang menurut kita menarik dan kurang menarik secara fisik.
Individu yang sering mendapatkan penilaian bahwa dirinya adalah sosok yang cantik, dianggap memiliki kemampuan sosial yang lebih baik, citra yang baik, dinilai lebih mudah mencari pasangan dan pekerjaan di masa depan. Namun, studi menemukan bahwa mereka ternyata memiliki self esteem (harga diri) yang rendah. Alasannya adalah mereka memiliki kekhawatiran bahwa orang lain hanya akan menyukai mereka karena penampilan mereka. Mereka khawatir apabila suatu hari akan kehilangan daya tarik untuk disukai oleh orang lain. Menjaga penampilan fisik juga membuat mereka terpaksa untuk menghabiskan banyak biaya. Ketika muncul permasalahan kulit atau estetika, mereka akan lebih mudah stres dan tidak berdaya. Mereka juga sering dinilai sebagai sosok yang materialistis sehingga tidak jarang mereka hanya dikagumi secara fisik namun enggan dipilih menjadi pasangan. Mengingat hal tersebut, sesungguhnya banyak sisi gelap yang dialami oleh orang-orang berpenampilan fisik menarik. Kemudian yang mengingatkan kita bahwa pada dasarnya semua individu adalah manusia biasa (human being) yang memiliki permasalahan masing-masing.
Studi analisis wawancara mengenai ketertarikan romantis mengungkapkan bahwa lebih dari 90% pria dan wanita yang diwawancarai menyebutkan karakter-karakter pasangan ketika diminta menjelaskan pengalaman jatuh cinta mereka. Sekitar dua pertiga subjek yang diwawancarai menjelaskan bahwa sifat kepribadian memainkan peran lebih besar dalam jatuh cinta atau pemilihan pasangan romantis daripada penampilan fisik. Jika Sahabat Harapan diberikan pertanyaan mengenai “Apa yang membuatmu jatuh cinta padanya?”, maka kemungkinan besar Sahabat juga akan menyebutkan karakter/sifat pasangan yang memikat hati Sahabat. Kemungkinan juga Sahabat akan menyatakan penampilan fisik mereka, tetapi sebagai hal yang sekunder (terutama jika Sahabat adalah seorang wanita).
Menariknya, terdapat sebuah studi yang melakukan percobaan kepada wanita untuk menilai apakah dirinya merasa tertarik dengan foto-foto pria tampan tanpa mengetahui karakter maupun kepribadiannya dengan lie detector (alat pendeteksi kebohongan). Hasilnya adalah wanita mengaku tidak begitu tertarik secara fisik dengan pria-pria tersebut ketika tidak dipasangkan lie detector. Namun, ketika dipasangkan alat lie detector (sebagai pemancing), mereka kemudian berkata jujur bahwa mereka merasa tertarik dan memiliki kemungkinan untuk jatuh cinta dengan pria tersebut. Hal ini berarti bahwa pendapat individu mengenai alasan jatuh cinta dengan pasangan (terutama wanita) juga dipengaruhi oleh norma-norma lingkungan, bahwa wanita dan pria harapannya memilih seseorang berdasarkan karakternya, bukan fisiknya.
Pines dalam bukunya menjelaskan bahwa beauty dan character adalah dua aspek yang saling mempengaruhi sikap kita dalam menilai orang lain. Orang-orang yang memiliki karakter pintar, hangat, dan humoris seringkali dilihat menarik kemudian membuat kita memilih sosok tersebut sebagai pasangan kita. Sebaliknya, orang yang cantik/tampan membuat kita menilai mereka sebagai orang yang hangat, pintar dan menyenangkan. Bisa saja kita merasa semua karakter yang dimiliki orang tersebut kemudian menjadi menarik, atau yang sering kita kenal dengan istilah “cinta buta”. Pines mengkaji apabila individu memilih pasangannya berdasarkan paras fisiknya, hubungan tersebut cenderung berlangsung tidak berlangsung lama. Sedangkan individu yang memilih pasangannya karena adanya ketertarikan pada karakter-karakter yang sesuai dengan dirinya cenderung memiliki hubungan yang lebih langgeng dan berkualitas.
Fenomena di atas tidak bisa disimpulkan bahwa kita tidak perlu tertarik secara fisik karena karakter berperan lebih besar untuk menjalin hubungan romantis. Jatuh cinta selalu diawali dengan tahap “attractiveness” yang mana fase ini adalah tahap ketika kita tertarik secara fisik dengan orang lain sebelum bersedia mengenal mereka lebih jauh. Berpenampilan menarik bukan berarti kita harus memiliki paras yang menawan seperti para aktor maupun aktris di layar kaca. Berpenampilan menarik yang dapat kita lakukan untuk bisa membangun hubungan awal yang lebih positif dengan orang lain adalah dengan self-care atau merawat diri. Berpakaian yang sesuai, menyisir rambut, mandi, menggunakan sedikit wewangian terbukti dapat meningkatkan respon positif orang lain terhadap diri kita sehingga akan lebih mudah bagi kita untuk mengenal satu sama lain dengan lebih baik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, beauty dan character sebaiknya dimiliki secara imbang. Kita dapat mulai berusaha meningkatkan kepercayaan diri kita untuk mengoptimalkan bagian-bagian menarik dari penampilan (beauty) dan kepribadian (character) kita. Bagi kita yang sedang dekat atau menjalin hubungan dengan seseorang, mencari keseimbangan antara kedua aspek ini memanglah hal yang perlu diperjuangkan, mungkin kita juga membutuhkan bantuan professional untuk bisa mengoptimalkan potensi-potensi diri kita agar bisa menjadi pribadi yang lebih percaya diri dan merasa berharga. Perasaan berharga dan kepercayaan diri ini tentunya membantu kita untuk terlihat lebih menarik di mata orang lain.
Referensi:
Archer, Dale. (2012, June 29). The Psychology of Beauty: Think it’s easy to be beautiful? Think again. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/reading-between-the-headlines/201206/the-psychology-beauty
Holman, A. (2011). Psychology of Beauty: An Overview of the Contemporary Research Lines. Psihologia socială, (28), 81-94.
Pines, A., & Pines, A. M. (2013). Falling in love: Why we choose the lovers we choose. Routledge.
Merupakan seorang Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang perkembangan anak usia dini dan anak berkebutuhan khusus serta mengkaji kesejahteraan psikologis individu dalam lingkup karir dan kesehatan.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Udayana, Bali
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3356-21-2-1