Perkembangan teknologi yang semakin canggih saat ini memudahkan kita untuk mencari informasi mengenai apa saja. Sahabat Harapan dapat mengetik kata kunci apapun pada mesin pencari di internet (misalnya Google, Yahoo, Bing, dan lain-lain) dan dalam hitungan detik kemudian muncul jawaban atau informasi tentang kata kunci tersebut dari berbagai sumber. Pencarian informasi melalui internet ini pun juga sering dilakukan saat kita mencari informasi atau solusi kesehatan, baik kesehatan fisik maupun mental. Saat Sahabat mengalami sakit, upaya pertama yang mungkin dilakukan adalah mencari tahu tentang gejala yang dialami dan mencari informasi untuk menyimpulkan penyakitnya. Nah pertanyaannya, apakah mencari informasi di internet dalam rangka mendiagnosis diri sendiri termasuk perilaku yang aman atau berbahaya?
Mari kita simak beberapa fakta yang perlu dipertimbangkan terkait diagnosis diri atau self-diagnosis dan bagaimana dampaknya. Fakta pertama, mesin pencari di internet dirancang menggunakan algoritma dan kata kunci. Mesin pencari sering memberikan informasi tentang beberapa penyakit yang paling serius yang muncul dalam daftar pencarian paling atas. Mereka yang mencari informasi kesehatan di internet dan tidak memahami algoritma pada mesin pencari akan salah mengira bahwa hasil teratas menunjukkan penyakit yang paling mungkin mereka derita. Hal ini dapat menyebabkan salah diagnosa atau misdiagnosis.
Fakta kedua, internet dapat diakses oleh siapapun. Setiap orang yang memiliki akses ke internet juga memiliki kemampuan untuk mengedit informasi sehingga dapat menambah informasi kesehatan yang ditampilkan di website. Kita perlu bersikap kritis, seberapa akurat informasi yang tersaji di internet? Bagi orang yang tidak bekerja di bidang medis atau memahami bidang medis akan mengalami kesulitan mengukur akurasi (ketepatan) sebuah informasi kesehatan, apakah informasi tersebut adalah fakta atau hanya ide (asumsi). Mereka dapat disesatkan oleh informasi yang salah atau tidak memahami informasi secara menyeluruh dengan benar. Hal ini justru tidak membantu mereka, tapi malah akan mendatangkan kerugian yang membahayakan. Informasi yang salah dapat mengarahkan mereka untuk mencoba perawatan yang dapat membahayakan daripada mengunjungi penyedia layanan perawatan primer, seperti klinik, rumah sakit, puskesmas dan sebagainya.
Fakta yang ketiga, saat Anda mendiagnosis diri sendiri, Anda sebenarnya berasumsi bahwa Anda mengetahui seluk-beluk tentang diagnosis penyakit. Faktanya, melakukan diagnosis atas suatu penyakit membutuhkan kompetensi dan pengetahuan yang memadai. Kompetensi dan pengetahuan inilah yang menjadi peran tenaga kesehatan profesional, seperti dokter, psikolog klinis, dan klinisi yang memiliki wewenang untuk mendiagnosa penyakit. Saat Anda mendiagnosis diri sendiri, Anda kehilangan sesuatu yang tidak dapat Anda lihat. Oleh karena itu, dokter atau psikolog berperan untuk melihat dan mengidentifikasi seluk beluk diagnosis penyakit tersebut.
Diagnosis diri juga dapat melemahkan peran tenaga profesional. Diagnosis diri melalui internet akan menjadi berbahaya jika Anda menjadikan ini sebagai pengganti dokter atau psikolog klinis. Dokter atau psikolog klinis menegakkan diagnosis penyakit berdasarkan riwayat kesehatan dan pemeriksaan klinis pasien sehingga mereka bisa menentukan perawatan atau pengobatan yang tepat bagi pasien. Jika Anda melakukan diagnosis diri, ini akan membuat Anda kehilangan kepercayaan kepada dokter atau psikolog dan Anda tidak akan mematuhi anjuran atau treatment yang diberikan oleh mereka. Hal ini tentu saja akan menghalangi Anda untuk mendapatkan perawatan atau pengobatan yang tepat.
Fakta selanjutnya terkait dengan bahaya diagnosis diri adalah kemungkinan adanya komorbid atau penyakit penyerta. Diagnosis diri bisa membuat Anda melewatkan diagnosis penyakit medis atau psikologis yang menyertai penyakit utama yang Anda alami. Ketika dua atau lebih sindrom (kumpulan gejala) terjadi pada orang yang sama, ini disebut dengan komorbiditas. Misalnya, jika Anda memiliki gangguan panik, Anda mungkin melewatkan diagnosis hipertiroidisme atau diagnosis depresi yang menyertai gangguan tersebut.
Terakhir, diagnosis diri dapat menimbulkan biaya yang tidak perlu. Setelah diagnosis diri, orang cenderung memesan produk atau obat-obatan secara bebas tanpa pengawasan atau resep dokter. Tentu hal ini tidak hanya merugikan kesehatan, tetapi juga menyebabkan pemborosan uang dan membuang-buang waktu Anda yang sangat berharga.
Diagnosis merupakan aspek penting dari rencana pemulihan kesehatan. Memahami diagnosis dengan benar akan membantu Anda memahami penyebab penyakit dan mendapatkan treatment yang tepat untuk menyembuhkannya. Oleh karena itu, daripada melakukan diagnosis diri yang berbahaya, lebih aman bagi Anda untuk mencari informasi kesehatan secara akurat dengan mengunjungi tenaga profesional. Jika Anda ingin mencari informasi secara online sebelum mengunjungi tenaga profesional, tidak apa-apa. Asalkan Anda selalu waspada dan bersikap kritis untuk mengonfirmasi temuan Anda dengan berkonsultasi dan memeriksakan diri ke tempat pelayanan kesehatan. Mengambil langkah ini dapat membuat perbedaan besar dalam kesehatan, kualitas hidup, dan masa depan Anda.
References
Cline, R. J. W., & Haynes, K. M. (2001). Consumer health information seeking on the internet: The state of the art. Health Education Research: Theory & Practice, 16(6), 671-692
Hardy, M. (1999). Doctor in the house: The Internet as a source of lay health knowledge and the challenge of expertise. Sociology of Health & Illness, 21(6), 820-835. http://dx.doi.org/10.1111/1467-9566.00185
Lesser, B. (March 17, 2021). The Issues and Risks of Self-Diagnosis. https://dualdiagnosis.org/dual-diagnosis-treatment/dangers-self-diagnosis/
Pillay, S. (May 3, 2010). The Dangers of Self-Diagnosis: How self-diagnosis can lead you down the wrong path. https://www.psychologytoday.com/us/blog/debunking-myths-the-mind/201005/the-dangers-self-diagnosis
World Health Organization. (2005). Good clinical diagnostic practice: a guide for clinicians in developing countries to the clinical diagnosis of disease and to making proper use of clinical diagnostic services.
Puput Mariyati merupakan Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang kesehatan mental dewasa dan keluarga. Isu-isu psikologi yang ia gemari adalah depresi dan stress; parenting; perkembangan anak, khususnya anak berkebutuhan khusus (special needs); serta pendekatan terapi kognitif-perilaku dan psikologi positif. Bagi pemilik motto hidup “man jadda wajada” ini, mendalami dan berperan sebagai praktisi di bidang psikologi adalah salah satu jalan baginya untuk bisa menebar manfaat pada orang lain.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3358-21-2-1