Perselingkuhan merupakan fenomena sosial yang akhir-akhir banyak terjadi. Selingkuh merupakan kegiatan yang melibatkan aktivitas-aktivitas seksual yang dilakukan oleh individu yang sudah berpasangan, baik menikah ataupun belum menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Kasus perselingkuhan menjadi marak menyusul munculnya sebuah film yang diangkat dari kisah nyata berjudul Layangan Putus. Layangan Putus sempat menghebohkan dunia maya, seperti facebook dan instagram. Mengikuti jejak Layangan Putus, masyarakat mulai berbondong-bondong untuk mengungkap dugaan perselingkuhan pasangan mereka di dunia maya.
Perselingkuhan tak jarang menyebabkan ketidakharmonisan di dalam keluarga dan memicu pertengkaran. Selain itu, perselingkuhan menyebabkan tekanan psikologis, tekanan dalam hubungan, dan perceraian. Data dari Badan Pusat Statistik (2020) menemukan bahwa angka perceraian akibat pertengkaran antar pasangan meningkat. Sayangnya dampak negatif perselingkuhan tidak hanya dirasakan oleh pasangan, tetapi juga oleh anak atau orang-orang di sekitarnya. Lantas, apakah berselingkuh merupakan sebuah kebiasaan yang sulit untuk diubah? Apakah seseorang yang memiliki kebiasaan berselingkuh akan berselingkuh di kemudian hari? Apa faktor penyebab perselingkuhan? Kita akan membahasnya lebih jauh dalam artikel ini.
Berdasarkan penelitian Knopp, dkk (2017), beberapa faktor risiko terjadinya perselingkuhan adalah komitmen dalam hubungan yang rendah, penurunan kepuasan seksual, karakteristik kepribadian, sikap permisif tentang seks dan perselingkuhan, serta paparan norma-norma yang disetujui bersama. Penelitian Dylan, dkk (2020) mengungkapkan 8 alasan utama perselingkuhan, meliputi: kemarahan, harga diri, kurangnya cinta, komitmen rendah, kebutuhan akan variasi, pengabaian, hasrat seksual, dan situasi atau keadaan. Motivasi-motivasi ini tidak hanya mempengaruhi mengapa orang berselingkuh, tetapi juga berapa lama mereka melakukannya, kenikmatan seksual mereka, investasi emosional mereka dalam perselingkuhan, dan apakah hubungan utama mereka berakhir sebagai akibat dari perselingkuhan.
Allen (2001) menemukan bahwa mereka yang memiliki avoidant attachment yang tinggi lebih mungkin melaporkan perselingkuhan karena alasan yang berkaitan dengan kemandirian, sedangkan mereka yang memiliki anxious attachment yang lebih tinggi lebih mungkin melaporkan perselingkuhan karena alasan yang berkaitan dengan keintiman dan harga diri. Avoidant attachment adalah gaya keterikatan ditandai dengan orang tua atau pengasuh utama tidak responsif hampir sepanjang waktu. Di sisi lain, anxious attachment terjadi ketika orang tua atau pengasuh tidak konsisten berinteraksi dengan anak. Orang tua menjadi sosok yang dapat memberikan rasa aman sekaligus rasa takut kepada anak.
Pelaku selingkuh belum tentu akan mengulangi perilaku selingkuh. Peneliti menilai bahwa kecenderungan untuk mengulang perilaku selingkuh tergantung dari motivasi yang mendahului perilaku tersebut. Sebagai contoh, apabila sebelumnya pelaku tidak memiliki riwayat berselingkuh dan hanya berselingkuh karena faktor situasional, maka kecenderungan tidak akan mengulangi perilakunya. Faktor situasional umumnya terjadi tanpa ada niat awal untuk berselingkuh. Perselingkuhan terjadi karena faktor lingkungan dari teman-teman yang sering main bersama.seperti reuni, berada dalam hubungan jarak jauh atau sedang berlibur. Dalam konteks ini, pelaku masih berharap dapat bersama dengan pasangan utamanya. Sebaliknya, apabila pelaku telah memiliki riwayat berselingkuh sebelumnya dengan motivasi karena kebutuhan untuk variasi dalam hubungan, rendahnya komitmen, merasa kekurangan cinta dan perhatian, maka dapat dipastikan akan mengulang perilaku berselingkuh di kemudian hari.
Knopp, dkk (2017) melaporkan bahwa mereka yang sebelumnya telah melakukan perselingkuhan dalam relasi romantis pertama, tiga kali lebih mungkin untuk terlibat kembali dalam hubungan perselingkuhan berikutnya dibandingkan dengan mereka yang tidak melaporkan terlibat dalam perselingkuhan dalam hubungan pertama. Demikian pula pada penilaian pasangan sebagai korban perselingkuhan. Korban yang tahu bahwa pasangan mereka sebelumnya pernah terlibat dalam perselingkuhan, dua kali lebih mungkin untuk melaporkan perilaku yang sama. Dengan demikian, riwayat berselingkuh dapat dijadikan sebagai faktor risiko untuk perselingkuhan di kemudian hari.
Studi menemukan bahwa perselingkuhan yang dimotivasi oleh hasrat seksual, kurangnya cinta, dan kebutuhan variasi dalam hubungan, menunjukkan adanya kepuasan seksual yang lebih besar dan durasi waktu selingkuh yang lebih lama dibandingkan dengan perselingkuhan karena faktor situasional. Selain itu, kecenderungan untuk bercerai dan memilih selingkuhan daripada pasangan utama juga meningkat dibandingkan dengan perselingkuhan yang dimotivasi faktor situasional.
Pada akhirnya, perselingkuhan membawa lebih banyak dampak negatif terhadap hubungan. Pasangan yang menunjukkan perilaku selingkuh menunjukkan gaya hubungan atau relasi tidak sehat. Oleh sebab itu, apabila Sahabat Harapan menjadi korban perselingkuhan dan berusaha membangun kembali hubungan pasca perselingkuhan dapat mencari bantuan dengan menghubungi psikolog kami ya.
REFERENSI
Allen, ES. Unpublished doctoral dissertation. University of North Carolina: Chapel Hill. (2001). Attachment styles and their relation to patterns of extradyadic and extramarital involvement.
Dylan, S., Justin R. G., Irene, T. (2020). What Do People Do, Say, and Feel When They Have Affairs? Associations between Extradyadic Infidelity Motives with Behavioral, Emotional, and Sexual Outcomes . Journal of Sex & Marital Therapy, (), –. doi:10.1080/0092623x.2020.1856987
Knopp, K., Scott, S., Ritchie, L., Rhoades, G. K., Markman, H. J., & Stanley, S. M. (2017). Once a Cheater, Always a Cheater? Serial Infidelity Across Subsequent Relationships. Archives of sexual behavior, 46(8), 2301–2311. https://doi.org/10.1007/s10508-017-1018-1
Paramita Estikasari adalah seorang psikolog klinis dengan spesialisasi pada bidang psikologi klinis anak dan remaja. Mita merupakan lulusan sarjana psikologi Universitas Diponegoro dan melanjutkan studi magister dan profesi psikolog di Universitas Indonesia. Selain mendalami parenting, tumbuh kembang anak, dan anak berkebutuhan khusus, Mita juga memiliki ketertarikan pada lingkup hubungan relasi romantis dan pernikahan. Umumnya Mita menggunakan pendekatan dalam konseling/terapi dengan menggunakan Cognitive Behavioral Therapy dan pendekatan Behaviorisme.
No.SIPP (Surat Izin Praktik Psikologi): 3692-21-2-1