Apakah Sahabat Harapan merasa sering marah pada hal-hal sepele atau sering marah tanpa tahu penyebabnya? Kemarahan adalah salah satu emosi dasar yang dimiliki manusia. Kemarahan merupakan respon alami terhadap situasi saat kita merasa terancam, saat kita percaya bahaya akan datang, atau saat kita percaya bahwa orang lain telah melakukan kesalahan/ketidakadilan. Kemarahan juga dapat timbul dari rasa frustasi ketika kebutuhan, keinginan, dan tujuan kita tidak terpenuhi.
Kemarahan bisa menjadi emosi positif jika diekspresikan dengan cara yang pantas dan efektif. Namun di sisi lain, kemarahan bisa menjadi emosi negatif ketika dirasakan terlalu intens, terlalu sering, atau diekspresikan secara tidak pantas. Saat kemarahan terjadi berkepanjangan, sering, atau terlalu intens, maka bagian-bagian tertentu dari sistem saraf tubuh menjadi sangat aktif atau tegang. Akibatnya, tekanan darah dan detak jantung meningkat untuk waktu yang lama. Stres atau tekanan pada tubuh ini dapat menghasilkan banyak masalah kesehatan, seperti hipertensi, penyakit jantung, dan penurunan efisiensi sistem imun. Oleh karena itu, mengontrol kemarahan dapat membantu menjaga kesehatan fisik kita.
Alasan kedua dari pentingnya mengendalikan kemarahan adalah konsekuensi negatif yang dihasilkan dari kemarahan yang tidak tepat. Ketika kemarahan terlalu ekstrem, kita mungkin kehilangan kesabaran dan bertindak impulsif, agresif, atau kasar sehingga bisa mengakibatkan banyak konsekuensi negatif. Konsekuensi negatif tersebut misalnya kita terluka secara fisik atau melukai orang lain, dihukum atau dipenjara, kehilangan pekerjaan, dijauhi oleh orang lain, muncul rasa bersalah, malu, atau penyesalan, adanya kemungkinan orang lain akan mengembangkan ketakutan dan kebencian kepada kita, dan kurangnya kepercayaan orang lain.
Melihat banyaknya konsekuensi negatif yang ditimbulkan dari kemarahan yang tidak pantas, maka kita perlu mengelola kemarahan. Pengelolaan atau manajemen kemarahan dapat dilakukan dengan menerapkan teori kognitif sosial dari Bandura. Teori ini berasumsi bahwa perilaku dipelajari secara sosial, ini artinya cara orang belajar mengekspresikan kemarahan dan kekerasan adalah dari pengamatan atas perilaku orang lain, terutama orang-orang berpengaruh (significant person), seperti orang tua, anggota keluarga, teman, atau idola. Misalnya, jika anak-anak mengamati orang tua mengekspresikan kemarahan melalui tindakan agresif, maka kemungkinan besar mereka akan belajar mengekspresikan kemarahan dengan cara yang sama.
Penerapan teori kognitif sosial Bandura dalam manajemen kemarahan bisa kita awali dengan meningkatkan kesadaran terhadap keadaan atau perilaku orang lain yang memicu kemarahan dan bagaimana respon kita terhadap kemarahan. Memperhatikan peristiwa atau perilaku yang mengakibatkan kemarahan akan membantu kita untuk lebih memahami konsekuensi negatif yang dihasilkan dari kemarahan. Misalnya, ketika Anda sedang mengantri, Anda menjadi marah karena ada seseorang yang menyela antrian.
Setelah menyadari peristiwa penyebab kemarahan kita, langkah selanjutnya adalah meningkatkan kesadaran terhadap respon atau reaksi kita saat marah. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan isyarat kemarahan. Ada empat isyarat kemarahan, yaitu:
Meliputi respon tubuh kita saat marah, misalnya jantung berdetak lebih cepat, tubuh menjadi berkeringat atau ada tekanan di dada. Salah satu teknik yang bisa membantu dalam meningkatkan kesadaran akan isyarat fisik dari kemarahan adalah anger meter atau pengukur kemarahan. Misalnya, memberikan penilaian dengan skor 1 untuk menunjukkan keadaan tenang total (tidak merasa marah sama sekali), sedangkan skor 10 mewakili kemarahan intens (sangat marah) yang membuat kita kehilangan kendali sehingga mengarahkan kita pada perilaku atau ekspresi kemarahan yang negatif. Poin antara 1-10 mewakili perasaan marah yang kita alami. Tujuan dari pengukur kemarahan adalah memantau peningkatan kemarahan. Ketika menghadapi peristiwa yang memicu kemarahan, kita mungkin tidak langsung mencapai skor 10 karena umumnya kemarahan dimulai dari angka yang rendah dan kemudian bergerak naik dengan cepat.
Mengacu pada pikiran yang terjadi sebagai respons terhadap kemarahan yang terkait peristiwa. Ketika kita menjadi marah, kita mungkin menafsirkan peristiwa dengan cara tertentu. Misalnya, kita menafsirkan komentar teman sebagai kritik yang menjatuhkan sehingga kita menjadi marah. Ini bisa disebut dengan self-talk karena ini menyerupai percakapan yang kita lakukan dengan diri sendiri. Untuk orang-orang dengan masalah kemarahan, self-talk ini biasanya sangat kritis dan agresif sehingga pembicaraan diri yang terus berlanjut bisa menyebabkan kemarahan semakin intens. Fantasi atau gambar adalah salah satu jenis isyarat kognitif yang dapat menunjukkan eskalasi kemarahan. Misalnya, kita mungkin berfantasi pasangan kita berselingkuh, maka kemarahan kita kepada pasangan semakin intens atau meningkat lebih cepat lagi
Isyarat emosional melibatkan perasaan lain yang mungkin terjadi bersamaan dengan kemarahan. Misalnya, kita menjadi marah ketika merasa ditinggalkan, takut, diremehkan, tidak dihargai, bersalah, terhina, tidak sabar, tidak aman, cemburu, atau ditolak. Perasaan seperti ini merupakan emosi inti atau utama yang mendasari kemarahan kita. Komponen penting dari manajemen kemarahan adalah menyadari perasaan utama yang mendasari kemarahan.
Isyarat perilaku melibatkan perilaku yang kita tampilkan saat marah, misalnya mengepalkan tinju, mondar-mandir, membanting pintu, atau meninggikan intonasi suara.
Setelah menjadi lebih sadar terhadap peristiwa yang memicu kemarahan dan isyarat kemarahan, kita perlu mengembangkan keterampilan atau strategi untuk mengurangi peningkatan intensitas kemarahan. Strategi kemarahan ini bisa bersifat segera (emergensi), interpersonal dan preventif. Contoh strategi yang bersifat segera adalah mengambil jeda (time out), pernafasan dalam (deep breathing) dan berhenti berpikir (thought stopping). Strategi interpersonal memperkuat komunikasi dengan orang lain, misalnya keterampilan komunikasi asertif dan pemecahan masalah. Strategi yang bersifat preventif dapat dilakukan dengan latihan mengelola pikiran. Strategi-strategi ini akan dibahas secara lebih rinci pada artikel selanjutnya ya Sahabat Harapan.
References:
Puput Mariyati merupakan Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang kesehatan mental dewasa dan keluarga. Isu-isu psikologi yang ia gemari adalah depresi dan stress; parenting; perkembangan anak, khususnya anak berkebutuhan khusus (special needs); serta pendekatan terapi kognitif-perilaku dan psikologi positif. Bagi pemilik motto hidup “man jadda wajada” ini, mendalami dan berperan sebagai praktisi di bidang psikologi adalah salah satu jalan baginya untuk bisa menebar manfaat pada orang lain.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3358-21-2-1