Menumbuhkan Rasa Syukur pada Anak

Apa itu Rasa Syukur?

Rasa syukur (gratitude) merupakan sebuah emosi, dihasilkan dari proses sosial-emosional yang menimbulkan rasa senang, bahagia, berterima kasih karena menerima sesuatu sehingga individu menunjukkan apresiasinya kepada pemberi. Rasa syukur timbul melalui proses kognitif yang kompleks. Untuk bisa memiliki rasa syukur, individu harus memiliki kapasitas kognitif yang cukup baik agar mampu melakukan elemen-elemen rasa syukur berikut ini:

  • Menyadari apa yang diberikan oleh pemberi (kesadaran kognitif)
  • Membuat atribusi, yakni berpikir bahwa pemberi melakukan hal tersebut disebabkan niatnya untuk memberi, bukan karena usaha pribadi dari penerima
  • Memiliki perasaan positif terkait dengan pengalaman menerima dari pemberi
  • Menunjukkan apresiasi terhadap pemberi (mengekspresikan rasa syukur lewat perilaku)

Pada anak-anak usia dini, hal yang lumrah jika mereka belum menunjukkan rasa syukur. Penelitian di bidang perkembangan mengenai emosi positif menemukan bahwa perasaan berterima kasih dan berpikir secara positif dapat berkembang sejak usia 5 tahun. Namun karena prosesnya yang cukup kompleks, anak-anak baru benar-benar memiliki rasa syukur mulai usia 7 tahun dan semakin meningkat hingga usia remaja. Referensi lain menyebutkan rasa syukur biasanya mulai ditunjukkan oleh anak di rentang usia middle childhood, yaitu sekitar 6-12 tahun. Pada rentang usia ini, kemampuan kognitif anak semakin berkembang, ditandai dengan kemampuannya untuk lebih fleksibel dalam berpikir, mengembangkan self-awareness dan mampu mengidentifikasi serta memahami perasaan orang lain. Kemampuan kognitif tersebut dibutuhkan anak untuk bisa bersyukur. Meskipun demikian, tentu saja butuh proses yang tidak instan agar anak bisa bersyukur. Oleh karena itu, anak perlu dilatih sedini mungkin agar ia nantinya tumbuh menjadi individu yang pandai bersyukur. 

Manfaat Bersyukur

Rasa syukur memiliki dampak positif bagi kesejahteraan psikologis seseorang. Pada orang dewasa, rasa syukur berkaitan dengan kepuasan hidup yang lebih tinggi, kesehatan fisik yang lebih baik, gejala psikopatologi yang lebih sedikit dan fungsi sosial yang lebih optimal. Sejalan dengan hal itu, tingkat rasa syukur yang tinggi berkaitan dengan rendahnya gejala-gejala depresi pada anak. Lebih jauh dijelaskan bahwa anak-anak dengan tingkat rasa syukur yang tinggi lebih mampu untuk membingkai ulang kejadian negatif yang dialami secara lebih baik dan dengan emosi yang lebih positif. Selain itu, beberapa ahli berpendapat bahwa kunci utama kebahagiaan adalah rasa syukur. Tingkat rasa syukur yang tinggi membantu seseorang meningkatkan kemampuan dirinya untuk bisa menikmati kejadian positif dalam hidupnya sekaligus memblokir perasaan negatif. Tidak hanya berdampak diri sendiri, rasa syukur juga berdampak pada lingkungan sosial. Menekankan rasa syukur pada masa perkembangan anak memiliki implikasi bagi kontribusi anak kepada komunitas dan masyarakat secara keseluruhan.

Melihat begitu banyaknya manfaat positif dari rasa syukur terhadap individu, kemudian timbul pertanyaan, bagaimana awalnya seseorang memiliki rasa syukur? Banyak penelitian menunjukkan bahwa orang tua memegang peranan kunci dalam mensosialisasikan emosi negatif maupun positif kepada anak, termasuk rasa syukur. 

Menumbuhkan Rasa Syukur melalui Pengasuhan

Orang tua dapat menumbuhkan rasa syukur melalui berbagai praktek pengasuhan, yaitu:

  1. Melibatkan anak dalam aktivitas yang menimbulkan rasa syukur, seperti berpartisipasi dalam kegiatan sosial, sukarelawan, pelayanan bagi orang yang membutuhkan. Aktivitas seperti ini bermanfaat untuk:
  • meningkatkan kesadaran anak mengenai ‘nikmat hidup’ apa saja yang telah mereka terima selama ini dan menginterpretasikan bahwa kegiatan memberi bersifat penuh kebajikan (meningkatkan kesadaran kognitif dan atribusi),  
  • membuat anak merasakan kebahagiaan dalam bekerjasama dengan orang lain untuk berbagi kepada yang membutuhkan (meningkatkan perasaan positif),
  • mendorong anak untuk berterima kasih kepada orang tua, atas apa yang telah diberikan orang tua sementara anak lain tidak menerimanya (mengekspresikan rasa syukur lewat perilaku)
  1. Berikan contoh. Orang tua dapat memberikan teladan bagaimana mengekspresikan rasa syukur dalam kehidupan sehari-hari, sebab anak belajar dari perilaku orang tua yang tampak olehnya. Sebagai contoh, orang tua menunjukkan kepada anak bagaimana mengucapkan terima kasih yang tulus atas bantuan atau jasa orang-orang di sekelilingnya, seperti pembantu rumah tangga, pelayan di restoran, tetangga, dan lainnya. Termasuk juga berterima kasih kepada anak, untuk setiap bantuan yang ia berikan, meskipun kegiatan yang dilakukan adalah hal-hal yang merupakan ‘kewajiban’ anak seperti menaruh kembali mainan di tempatnya. Dengan demikian, anak akan merasakan kesenangan ketika bantuannya diapresiasi dan memungkinkan ia untuk melakukan hal yang sama kepada orang lain.
  2. “Tangkap” momen ketika anak menunjukkan sikap murah hati dan berikan apresiasi. Berikan perhatian ketika anak melakukan sesuatu melebihi ekspektasi, misalnya memberikan bantuan tanpa diminta, menunjukkan inisiatif atau meluangkan waktu lebih untuk melakukan sesuatu yang penting bagi orang lain. 
  3. Membahas rasa syukur bersama anak. Khususnya bagi anak-anak usia dini yang masih belajar mengenal emosi, orang tua bisa membahas bagaimana perasaan orang lain ketika kita memberikan apresiasi atau berterima kasih kepada mereka. Orang tua dapat mencoba bertanya kepada anak, bagaimana perasaan mereka ketika orang lain berterima kasih atas perbuatan baik yang telah mereka lakukan, dan bagaimana perasaan anak jika orang lain tidak berterima kasih atas bantuan atau kebaikan mereka. Mencoba membahas perasaan dari diri anak dapat membantu mereka untuk memahami bagaimana perilaku orang lain berpengaruh kepada perasaannya dan begitupun sebaliknya. Anak juga akan lebih mudah memahami keuntungan dari bersyukur. Orang tua juga bisa membahasnya melalui media buku cerita anak dengan tema “terima kasih”.
  4. Membuat bersyukur menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Orang tua dan anak bisa bersama-sama menemukan hal-hal yang menyenangkan yang mereka dapat di penghujung hari (misalnya sebelum tidur/ pillow talk). Kegiatan ini bisa dilakukan setiap hari sebagai pengisi waktu berkualitas bersama anak

Referensi

Hussong, A. M., Halberstadt, A., Langley, H. A., Thomas, T. E., & Coffman, J. L. (2022). Parents’ responses to children’s ingratitude are associated with children’s gratitude and internalizing 3 years later. Journal of family psychology : JFP : journal of the Division of Family Psychology of the American Psychological Association (Division 43)36(1), 80–91. https://doi.org/10.1037/fam0000855

Rothenberg, W. A., Hussong, A. M., Langley, H. A., Egerton, G. A., Halberstadt, A. G., Coffman, J. L., Mokrova, I., & Costanzo, P. R. (2017). Grateful parents raising grateful children: Niche selection and the socialization of child gratitude. Applied developmental science21(2), 106–120. https://doi.org/10.1080/10888691.2016.1175945

Vizy, B. K. (2017). Parental Socialization of Child Gratitude and Links to Child Outcomes. Graduate Theses, Dissertations, and Problem Reports, 6877. https://doi.org/10.33915/etd.6877

2021 © All Rights Reserved. LembarHarapan.id