Seperti halnya orang dewasa, kehidupan anak tidak selalu berisi pengalaman yang menyenangkan. Anak-anak pun memiliki tantangan tersendiri. Tantangan yang dihadapi oleh anak juga sangat beragam, mulai dari beradaptasi dengan lingkungan sekolah, menjalin pertemanan dan perundungan oleh teman. Tantangan bisa datang dari keluarga, seperti pindah rumah, kehadiran saudara kandung, dan perceraian orang tua. Begitu juga tantangan masa pandemi Covid-19 yang akhirnya ‘memaksa’ kita semua, termasuk anak-anak, harus beradaptasi dengan cara hidup yang baru. Anak-anak harus menyesuaikan diri dengan kegiatan belajar secara daring dan aktivitas bersosialisasi yang berkurang drastis. Tidak sedikit pula anak-anak yang kehilangan keluarga di masa pandemi. Tantangan-tantangan tersebut membuka peluang bagi anak untuk mengalami stres, kecemasan, luka emosional bahkan trauma yang menghambat tumbuh kembangnya. Orang tua tidak bisa selalu melindungi anak dari masalah atau kesulitan hidup, namun orang tua dapat mendidik anak menjadi pribadi yang tangguh. Dengan ketangguhan, anak mampu melewati tantangan dalam hidupnya dengan baik sehingga tumbuh kembangnya optimal.
Ketangguhan (resilience) adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan baik ketika menghadapi kesulitan. Anak yang tangguh akan mampu bangkit kembali ketika ‘dihantam’ oleh kesulitan. Ia mau mencoba berusaha lagi meskipun mengalami kegagalan sebelumnya. Oleh karena itu, umumnya anak yang tangguh memiliki kemampuan yang baik dalam pemecahan masalah dan mempelajari hal baru. Menjadi tangguh bukan berarti menyelesaikan semua masalah seorang diri. Anak yang tangguh juga mengetahui kapan dan bagaimana meminta pertolongan kepada orang di sekitarnya.
Dasar dari ketangguhan adalah hubungan dengan orang lain, terutama orang tua. Kelekatan emosional yang baik antara orang tua dan anak (secure attachment) membuat anak merasa aman dan dicintai (klik artikel ini untuk mengetahui lebih banyak mengenai attachment). Perasaan aman dan dicintai menumbuhkan kepercayaan diri pada anak untuk mengeksplorasi lingkungan, serta kekuatan untuk pulih setelah mengalami kesulitan. Hubungan yang baik dengan anggota keluarga, kakek-nenek, guru, maupun teman juga penting. Jalinan hubungan yang baik dengan keluarga dan komunitas (guru, teman) menumbuhkan perasaan bahwa diri berharga dan membentuk sense of belonging. Sense of belonging berarti perasaan bahwa individu yang bersangkutan diterima sebagai bagian dari keluarga/ komunitas dan mendapatkan dukungan dari mereka sehingga menimbulkan perasaan aman. Perasaan-perasaan tersebut yang membangun rasa percaya diri dan ketangguhan pada anak.
Berikut ini merupakan kiat-kiat yang bisa dilakukan orang tua maupun guru untuk mendidik anak menjadi pribadi yang tangguh.
Ketangguhan terlatih dari pengalaman anak mengatasi tantangan dengan kemampuannya sendiri. Setiap kali anak berhasil mengatasinya, ia akan lebih percaya diri menghadapi tantangan berikutnya. Oleh karena itu, orang tua sebaiknya menahan diri untuk tidak terburu-buru membantu anak ketika ia mengalami kesulitan. Berikan anak kesempatan untuk mencoba dengan kemampuannya sendiri terlebih dahulu, tentunya dengan memperhatikan tahap perkembangannya. Pada anak usia pra sekolah, orang tua dapat memulainya dengan melatih kemandirian dalam kegiatan sehari-hari seperti berpakaian, makan-minum, dan menggosok gigi.
Memiliki rutinitas harian artinya anak setiap hari secara konsisten memiliki jadwal kegiatan yang sama. Tidak harus terlalu kaku untuk waktunya, namun pastikan urutan kegiatannya konsisten. Misalnya, bangun tidur – membereskan tempat tidur – mandi – sarapan – bermain atau bersekolah. Rutinitas harian yang konsisten membuat anak nyaman dan aman, terutama untuk anak usia prasekolah yang membutuhkan struktur dalam keseharian mereka.
Rasa kecewa, sedih ataupun marah adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Orang tua dapat menunjukkan rasa empati saat anak merasakan hal yang tidak nyaman. Sebagai contoh, anak merasa kecewa karena temannya tidak mau bermain dengannya. Orang tua dapat mendengarkan keluhan anak dan menunjukkan empati pada apa yang dirasakan anak.
Orang tua dapat membimbing anak untuk memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan dalam menghadapi suatu masalah. Sebagai contoh, anak tidak diajak bermain oleh teman dan merasa kecewa. Setelah menunjukkan respon empati terhadap perasaannya, orang tua dapat mengajukan pertanyaan “Temanmu tidak mau bermain, tetapi kamu mau bermain. Apa yang bisa kamu lakukan ya supaya bisa tetap bermain?”. Dengan demikian, orang tua memberikan kesempatan pada anak untuk memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhannya untuk bermain. Setelah anak mengemukakan jawabannya, orang tua dapat memberikan saran. Misalnya, anak dapat bermain bersama orang tua di rumah atau mencari teman lain yang mau bermain dengannya.
Memberikan apresiasi/pujian yang spesifik atas usaha yang dilakukan anak dapat menumbuhkan growth mindset. Growth mindset adalah pola pikir yang melihat bahwa kemampuan merupakan sesuatu yang bisa dikembangkan melalui usaha yang dilakukan. Anak dengan growth mindset akan melihat masalah sebagai kesempatan untuk belajar hal baru dan tidak mudah putus asa ketika menghadapi kegagalan. Contoh memuji usaha anak antara lain, “Wah, Ibu lihat kamu tekun mewarnai gambar ini”, “Ayah lihat kamu mau mencoba lagi setelah tadi gagal, itu bagus”.
Orangtua dapat mengajarkan pentingnya merawat diri (self care) yakni dengan memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia. Contohnya, makan teratur dan makan makanan bergizi, berolah raga, dan tidur yang cukup. Orang tua juga perlu memastikan bahwa anak memiliki waktu bersenang-senang seperti bermain atau menjalankan aktivitas yang mereka sukai. Memperhatikan kebutuhan dasar dan memiliki waktu untuk bersenang-senang membantu anak untuk bisa menghadapi masa-masa sulit dengan lebih baik.
Anak mengembangkan kemampuannya untuk menjadi pribadi tangguh sepanjang waktu. Oleh karena itu, orang tua perlu bersabar dalam mendampingi anak ketika menghadapi masalah. Jika Anda sudah mempraktikkan kiat-kiat ini namun anak terlihat tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan dari caranya menghadapi masalah, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog anak, ya. Anda bisa bisa menghubungi tim psikolog Lembar Harapan untuk membuat janji konseling.
Referensi
Alvord, K.M., Gurwitch, M., Martin, J., and Palomares, R. S. (2020). Resilience Guide for Parents and Teachers. American Psychological Association https://www.apa.org/topics/resilience/guide-parents-teachers
Dweck, C. S. (2008). Mindset: The new psychology of success. New York: Ballantine Books.
Rayner, M. (2021). Resilience: How to Build it in children 3-8 years. Diakses dari https://raisingchildren.net.au/school-age/behaviour/understanding-behaviour/resilience-how-to-build-it-in-children-3-8-years
Aisyah Ibadi merupakan seorang Psikolog Klinis dengan peminatan psikologi klinis anak.
Selain memiliki ketertarikan pada tumbuh kembang anak, ia juga tertarik dengan isu-isu kesehatan mental seperti kecemasan, parental burnout dan praktik mindfulness dalam kegiatan sehari-hari. Ia ingin ilmu psikologi yang dimiliki bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.
Alumni Sarjana Psikologi Universitas Indonesia
Alumni Magister Profesi Klinis Anak Univ. Indonesia
No. SIPP 0275-22-2-2
STR 112482123-4589179 (ED. 2028)