Berdebat dengan Sehat Agar Harmonis dengan Pasangan

Hadirnya sebuah konflik di antara suami-istri adalah kondisi yang wajar terjadi dalam pernikahan. Konflik dapat terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan, keinginan, tujuan dan kepentingan. Ketika terjadi perbedaan kebutuhan, keinginan, tujuan atau kepentingan, pasangan mungkin terlibat dalam perdebatan yang tidak dapat dihindari. Perdebatan bisa menjadi “pertarungan” yang sehat apabila kedua belah pihak dapat memperjelas batasan dan kebutuhan masing-masing, serta mempertahankan rasa integritas pribadi dalam hubungan. Akan tetapi, jika perdebatan berubah menjadi pertempuran yang tidak terkendali maka akan mengarah pada perdebatan tidak sehat. Hal ini dapat menempatkan hubungan dalam risiko. Lalu, bagaimana membedakan perdebatan yang sehat vs perdebatan tidak sehat? 

Perdebatan yang tidak sehat (unfair fighting) terjadi ketika kita menggunakan teknik “pertarungan kotor” untuk memenangkan perselisihan. Yuk cari tahu lebih lanjut apakah Anda pernah melakukan teknik “pertarungan kotor” di bawah ini saat berdebat dengan pasangan Anda! 

Escalating

Cepat beralih dari masalah atau argumen utama dengan mempertanyakan kepribadian/karakter pasangan, kemudian melanjutkan bertanya-tanya apakah hubungan ini layak untuk dipertahankan. Contohnya, “Kalau kamu tidak mau mengalah, buat apa kita lanjutkan pernikahan ini” 

Timing

Memulai perdebatan pada saat pasangan tidak mampu merespons atau tidak mengharapkan pertengkaran, misalnya sebelum berangkat kerja, saat pasangan Anda belum makan atau sedang menonton acara TV favorit

Crucializing 

Melebih-lebihkan suatu masalah dengan menarik kesimpulan yang besar mengenai hubungan, misalnya, “Ini membuktikan kamu tidak pernah peduli padaku.”

Brown Bagging 

Mengemukakan banyak masalah dengan sangat rinci sehingga terasa kewalahan. Orang yang kewalahan tidak akan pernah bisa berkomunikasi secara efektif

Asking Why

Memperlakukan pasangan seperti anak kecil (bukan orang dewasa) yang tidak bertanggung jawab, misalnya, “Mengapa kamu tidak mencintaiku seperti si A?”

Cross Complaining

Ketika pasangan mengeluh tentang sesuatu, Anda kemudian mengajukan keluhan Anda sendiri. “Katamu aku lupa merapikan tempat tidur? Terus, bagaimana dengan kamu yang sering membuang sampah sembarangan?

Over-generalizing 

Menggunakan kata “tidak pernah” atau “selalu” sehingga Anda memandang kesalahan pasangan secara keseluruhan. Ini menyulitkan Anda untuk menemukan masalah sebenarnya. Contoh, “Kamu selalu bersikap egois, tidak pernah berusaha mengerti aku.”

Blaming

Memperjelas bahwa Anda tidak bersalah dan Anda hanyalah korban. Anda merasa tidak pernah melakukan kesalahan atau mengambil peran dalam masalah yang terjadi sehingga Anda tidak merasa perlu melakukan perubahan/perbaikan. Yang perlu diingat, Anda adalah manusia yang mungkin pernah berbuat salah dan mungkin saja Anda memiliki andil (peran) yang menyebabkan masalah muncul dalam hubungan Anda dan pasangan. 

Mind Reading

Merasa bahwa Anda adalah ahli dalam menebak perasaan atau pikiran pasangan. Asumsi atau dugaan Anda pada akhirnya merampas semua hak pasangan Anda untuk punya posisi yang setara 

Pulling Rank

Anda menghindari masalah/konflik dengan mengatakan bahwa Anda membawa pulang lebih banyak uang, memiliki pendidikan yang lebih tinggi, atau melakukan lebih banyak kegiatan di rumah. 

Giving Advice

Kapan pun pasangan ingin membicarakan suatu masalah, Anda bersikap seolah-olah Anda adalah ahlinya. Anda memberi tahu pasangan Anda bagaimana harus bertindak, berpikir, dan merasa (emosi). Anda merasa memiliki jawaban/solusi yang lebih baik. 

Labeling

Menggunakan istilah negatif untuk memberikan kesan bahwa pasangan Anda buruk atau bersalah. Contohnya, “Kamu egois”, “Kamu kekanak-kanakan”, “Kamu penakut”

Rejecting Compromise

Berpegang teguh pada filosofi bahwa hanya satu pihak yang bisa menang, Anda atau pasangan Anda.

Setelah Anda mengenali gaya “pertarungan kotor” di atas, lalu apa yang terjadi pada Anda dan pasangan Anda? Apakah kalian termasuk pada kategori ini: 

  1. memilih menghindari perdebatan dengan berbaikan sebelum waktunya sehingga lupa atau tidak menaruh perhatian untuk menyelesaikan isu atau masalah yang sebenarnya muncul? 
  2. memilih untuk “bertempur” secara tidak adil (unfair fighting) untuk memenangkan kekuasaan atas pasangan, atau 
  3. memilih melakukan kompromi dan memperkuat komitmen untuk mencari jalan keluar atau win-win solutions untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan pasangan? 

Harapannya, Anda dan pasangan memilih pilihan yang ketiga karena ini yang paling tepat untuk menjaga hubungan berjalan secara sehat. Untuk mencapai kompromi dan komitmen demi keharmonisan hubungan, komunikasi adalah variabel penting yang memiliki dampak besar pada penyelesaian konflik dalam pernikahan. 

Berikut ini adalah tips untuk menciptakan komunikasi yang membangun sehingga tercapai perdebatan yang sehat. 

  • Temukan tema yang mendasari perdebatan

Cari tahu dan temukan tema masalah yang sering menjadi perdebatan. Misalnya, perdebatan tentang uang sebenarnya tidak melulu tentang nominal uang, namun kekuasaan atau tanggung jawab ekonomi. Perdebatan tentang anak ternyata berhubungan dengan tema/isu pengasuhan atau keterlibatan pasangan untuk mengasuh anak. Perdebatan tentang kecemburuan mungkin terkait dengan tema kekurangan perhatian atau kedewasaan. Dengan mengidentifikasi tema yang mendasari konflik, Anda dan pasangan akan lebih mudah untuk berkomunikasi secara terbuka dan mendapatkan resolusi yang lebih positif

  • Kembali pada komitmen terhadap hubungan

Jika perdebatan berubah menjadi serangan satu sama lain atau tidak mengarah pada resolusi konflik, maka kembalilah pada komitmen. Tanyakan pada diri masing-masing, “Apakah aku dan pasanganku memiliki komitmen yang sama terhadap hubungan ini?”. Banyaknya perdebatan yang terjadi dalam suatu hubungan sebenarnya adalah fakta bahwa salah satu pihak merasa bahwa pihak lain kurang berkomitmen. Hal ini menimbulkan kemarahan yang tidak terselesaikan, ketakutan akan ditinggalkan, upaya untuk mengontrol dan mengubah pihak yang lain. Pada akhirnya kita melihat pasangan sebagai musuh, pesaing, dan seseorang yang tidak bisa dipercaya. 

  • Keluar dari kerangka berpikir “benar vs salah”

Saling menyalahkan dan mencoba mengubah pendapat orang lain justru tidak akan menguntungkan. Saat kita berasumsi bahwa satu orang benar dan yang lain salah, maka kita akan memposisikan diri dalam mode “bertahan” atau “menyerang”. Lebih baik, ubah mindset bahwa Anda dan pasangan hanya melihat masalah dengan sudut pandang yang berbeda. 

  • Sadari emosi yang menyertai argumen dan dampaknya

Ketidaksepakatan dapat membuat orang merasa marah atau terluka. Saat Anda berdebat dengan pasangan, mungkin Anda mengatakan sesuatu tanpa menyadari bagaimana pasangan akan menerimanya. Terlebih jika argumen Anda disertai dengan kemarahan, Anda akan kesulitan mengontrol diri. Sebaiknya perhatikan red flags dan isyarat kemarahan (pada tubuh, emosional dan perilaku) Anda dan pasangan Anda. Meningkatkan kontrol diri atas emosi kemarahan dapat membantu mengidentifikasi bagaimana Anda dan pasangan akan bereaksi terhadap argumen tertentu. Anda dapat mencari tahu tentang red flags dan isyarat kemarahan pada artikel https://lembarharapan.id/artikel/apa-yang-terjadi-saat-kita-marah/. Anda juga dapat mempelajari strategi mengelola kemarahan, seperti time-out dan thought stopping pada artikel https://lembarharapan.id/artikel/strategi-mengelola-kemarahan/

  • Tidak terjebak pada luka masa lalu

Mungkin Anda pernah terluka oleh argumen pasangan di masa lalu, namun jangan jadikan itu sebagai topik perdebatan di masa kini. Menyimpan dendam akan menyulitkan Anda untuk mencapai resolusi konflik. Selesaikan masalah saat ini pada satu waktu agar perdebatan tidak berpotensi menjadi “ledakan” yang bisa menghancurkan hubungan Anda dan pasangan di masa depan

  • Gunakan teknik komunikasi yang efektif dan konstruktif

Mengkritik karakter pasangan justru akan menempatkan pasangan Anda dalam posisi bertahan. Sampaikan kebutuhan, keinginan, dan harapan Anda sebagai permintaan yang berfokus pada perubahan perilaku yang positif. Anda dapat menggunakan “I-message” (“Saya merasa frustasi ketika saya pulang, rumah dalam kondisi berantakan”) daripada “You-message” (“Kamu tidak pernah bisa rapi, jadi rumah berantakan begini”). Memulai kalimat dengan “saya” membantu Anda berbicara tentang perasaan yang sulit, bagaimana masalah itu mempengaruhi kita dan memberi kesempatan orang lain untuk berempati pada kita dan mereka tidak merasa disalahkan. Selain teknik “I-message”, Anda dapat berlatih menerapkan langkah-langkah negosiasi timbal balik yang ada pada artikel https://lembarharapan.id/artikel/successful-marriage/

Practice makes perfect. Teruslah melatih diri untuk melakukan tips di atas bersama pasangan Anda. Meski tidak mudah, namun Anda dan pasangan akan mendapatkan banyak manfaat yang tentu akan berdampak besar pada keharmonisan dan kualitas hubungan. Jika Anda merasa kesulitan, Anda dapat mencari bantuan dari konselor/psikolog pernikahan untuk membimbing dan memfasilitasi sehingga tercapai resolusi dan harmonisasi.

Reference

  • Berger, N. (n.d). Arguing constructively and not so constructively. Emotional Wellness Matters Newsletter, Volume XVIII, number 6. Diakses dari https://www.thecouplesplace.net/storage/app/media/aruging-constructively.pdf
  • Islami, H. (2017). Resolving marital conflicts. Seeu Review, 12(1), 69-80.
  • Straus, M. A. (2005). Measuring intrafamily conflict and violence: The Conflict Tactics (CT) Scales. U: R. K. Bergen, J. L. Edleson i C. M. Renzetti (ur.). Violence against women: Classic papers (str. 187–197). Boston: Pearson Education Inc.
2021 © All Rights Reserved. LembarHarapan.id