TOLONG! Toddler-ku Suka Memukul: Tips bagi Orang Tua

Sebagai orang tua, kita mungkin akan merasa bersalah dan bingung saat menghadapi situasi seperti ini:

Di suatu hari yang cerah, anak kita bermain dengan riang gembira bersama teman-temannya di sebuah taman bermain. Tiba-tiba semuanya berubah menjadi petaka ketika anak kita berebut mainan dan memukul temannya, membuat yang lain ikut-ikutan saling memukul, dan menangis dengan kencang secara bersamaan. Orang tua yang anaknya dipukul, menatap sinis kita seperti ingin berkata, “Hei, anakmu kok bisa kaya gini sih? Gimana kamu mengajarinya sebagai orang tua?” Ingin rasanya kita sebagai orang tua kabur dari situasi ini.

Pengalaman tidak menyenangkan di atas seringkali membuat kita bertanya-tanya tentang kemampuan kita mengasuh anak. “Apa yang salah ya dari praktik pengasuhanku? Apakah anakku nantinya akan jadi perundung?” Dan ragam pertanyaan meresahkan lainnya.

Apakah memukul pada balita merupakan hal yang wajar?Tahukah Sahabat Harapan?

Ternyata fase memukul adalah hal yang wajar dialami oleh balita, khususnya toddler berusia 1 – 2 tahun. Usia ini banyak dikenal dengan istilah terrible two. Pada fase ini, toddler mudah mengalami tantrum yang diekspresikan dalam bentuk perilaku memukul, menggigit, atau menyakiti diri sendiri. Beberapa ahli perkembangan menyebut fase ini sebagai “hitting stage“, salah satu perkembangan agresivitas pada anak. Kabar gembiranya, perilaku ini lambat laun akan berkurang pada usia sekitar 3-5 tahun. Sebelum sampai pada titik ini, Sahabat Harapan mau tidak mau harus sabar ya dalam mendampingi balita!

Mengapa balita memukul

Ada berbagai hal yang menyebabkan anak balita memukul. Berikut beberapa faktor penyebabnya:

  1. Meniru dari lingkungan. Kadang sebagai orang tua, kita bertanya-tanya, “Aku tidak pernah mengajarkan anakku perilaku memukul, kok dia bisa mukul sih?” Perlu orang tua sadari bahwa balita layaknya spons yang dapat menyerap dengan mudah apa yang ia lihat di lingkungannya. Oleh sebab itu, mungkin saja ia pernah melihat anak atau orang dewasa lainnya, baik secara langsung maupun melalui media yang melakukan perilaku agresif. Hmm… atau bisa jadi Mama Papa sendiri yang secara tidak sadar melakukan perilaku tersebut di rumah?
  2. Temperamen anak. Anak dengan temperamen difficult atau sulit umumnya mudah mengalami frustasi dan menjadi agresif.
  3. Balita belum memahami bahwa memukul bisa menyakiti orang lain. Terkadang, sama dengan perilaku balita yang lain, ia hanya berusaha melihat respon orang-orang di sekitarnya dan ingin mencari tahu apa yang terjadi saat ia melakukan sesuatu. Hal ini berarti balita sebetulnya sedang belajar konsep sebab-akibat. Contohnya: apa yang akan terjadi saat aku menjatuhkan sendok, menumpahkan air, melempar bola, dsb.
  4. Kontrol diri atau kontrol dorongan yang belum memadai. Balita belum memahami dan mengenali benar bagaimana cara menunjukkan kasih sayang, meskipun mungkin balita bisa melihatnya dari apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Kontrol diri yang hampir tidak dimiliki balita membuat balita sulit untuk menahan perilakunya. Oleh sebab itu, terkadang ia hanya ingin meniru orang tuanya dalam menunjukkan kasih sayang, tetapi terlalu “ekstrem” karena energi yang berlebihan. Contoh: ingin mengelus, tetapi justru memukul kepala; ingin menggandeng tangan, tetapi tampak seperti menarik atau menyeret, dsb.
  5. Kemampuan regulasi emosi yang belum berkembang. Keterbatasan balita dalam melakukan regulasi emosi ditambah dengan kontrol diri yang belum berkembang, serta belum mampu untuk mengatakannya secara verbal, membuat balita mudah saja memukul anak lain saat merasa frustasi. Kemampuan regulasi emosi sedang berkembang selama 30 bulan pertama kehidupan. Oleh sebab itu, tugas orang tua sangat dibutuhkan dalam membantu balita untuk mengelola emosinya.

Faktor-faktor di atas adalah beberapa penjelasan yang menjadi penyebab perilaku memukul pada balita. Saat ini mungkin Sahabat Harapan cukup lega setelah mengetahui bahwa perilaku tersebut adalah hal yang lumrah dialami oleh balita. Akan tetapi, kita sebagai orang tua tetap perlu mengajarkan kepada balita bahwa memukul adalah perilaku yang tidak baik. Hal ini karena jika selama masa kritis perkembangan agresivitas anak tidak diarahkan dengan baik, maka akan menetap dan menjadi masalah di kemudian hari saat dewasa.

Apa yang bisa orang tua lakukan?

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua untuk mengurangi kebiasaan anak memukul. Tidak semua cara bisa cocok diterapkan pada anak. Oleh sebab itu, sama dengan kepribadian yang unik pada masing-masing anak, orang tua dapat mengujicobakan beberapa pendekatan yang pas dan sesuai bagi anak.

  1. Saat anak sudah terlanjur memukul, pegang tangan anak dengan lembut dan katakan, “Mama tau kamu marah karena mainanmu diambil. Kesal sekali ya rasanya? Tetapi memukul itu tidak boleh. Rasanya sakit sekali kalo dipukul. Coba liat, teman kamu jadi menangis. Kamu boleh marah dan kesal, tetapi tidak boleh memukul”. Kemudian bantu anak mengelola atau mengatasi kemarahannya seperti mengajaknya untuk minum terlebih dahulu.
  2. Perhatikan tanda. Biasanya akan ada tanda sebelum perilaku memukul terjadi. Sebagai contoh, kita mendengar suara tangisan, kemudian balita mendengus, berteriak, dan mengerutkan dahi, kemudian siap memukul. Ketika kita sudah memahami tandanya, segera gendong balita dan pisahkan dari teman-temannya. Tenangkan terlebih dahulu sebelum ia dapat kembali bermain dengan teman-temannya. Apabila anak sudah terlanjur memukul, tetap pisahkan ia dengan teman-temannya. Hal ini sekaligus mengajarkan kepada anak konsekuensi dari perilakunya bahwa saat memukul, ia tidak bisa bermain untuk sementara waktu dengan teman-temannya.
  3. Pada anak-anak yang lebih muda, usia di bawah 4 tahun, cobalah memeluk mereka sebelum melepaskan mereka dari situasi konflik. Memeluk memberikan efek menenangkan pada anak.
  4. Pada situasi yang menyenangkan saat bermain, ajarkan keterampilan memecahkan masalah. Gunakan permainan pura-pura untuk membantu anak balita mempelajari cara-cara positif untuk menyelesaikan situasi yang sulit. Kita mungkin berpura-pura menjadi anak lain yang telah mengambil mainan favorit anak Anda. Ajari dia cara menggunakan kata-katanya, misalnya “Itu mainanku. Tolong kembalikan!”. Jika itu tidak berhasil, beritahu anak bahwa dia harus meminta bantuan orang dewasa. Atau menggunakan buku-buku cerita mengenai cara untuk mengekspresikan emosi marah.
  5. Pantau apa yang ditonton anak, terutama pada saat menggunakan gadget. Penting untuk memantau semua yang ditonton anak—bahkan film kartun atau games yang ia mainkan—untuk memastikan programnya tidak mengandung kekerasan. Para peneliti telah menemukan bahwa anak-anak yang terpapar gambar kekerasan di media lebih cenderung menjadi agresif.

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa intervensi pada anak yang memiliki kecenderungan untuk memukul harus dilakukan sedini mungkin, terlebih saat anak sudah lebih dari usia 3 tahun agar tidak menimbulkan kecenderungan perilaku agresif di masa dewasa. Bagaimana Sahabat Harapan, bisa coba praktekkan apabila si kecil mulai menunjukkan perilaku memukul? Pastinya akan sangat menantang mendampingi tumbuh kembang balita kita. Jika tanpa bantuan, bimbingan, dan arahan dari orang tua, anak tidak bisa belajar untuk mengelola perilakunya.

Referensi

Reebye P. (2005). Aggression during early years – infancy and preschool. The Canadian child and adolescent psychiatry review = La revue canadienne de psychiatrie de l’enfant et de l’adolescent, 14(1), 16–20.

2021 © All Rights Reserved. LembarHarapan.id