Kejujuran adalah suatu nilai kehidupan yang perlu untuk dijunjung tinggi oleh siapapun, termasuk oleh anak-anak. Orang tua pasti mengharapkan anak-anak mereka bisa menjunjung tinggi kejujuran dan akan merasa kecewa jika anak-anak mereka berbohong. Berbohong merupakan tindakan yang disengaja untuk memberikan false statement, dibandingkan memberikan true statement yang sesuai dengan aturan dalam konteks sosial-budaya. Menariknya, perilaku berbohong ini umum terjadi di kalangan anak-anak. Sebuah penelitian dari University of Waterloo di Kanada yang mengamati anak-anak di rumah mereka menemukan bahwa 96% anak kecil berbohong di beberapa kesempatan. Anak usia 4 tahun rata-rata berbohong setiap dua jam dan anak usia 6 tahun berbohong setiap jam. Penelitian Wilson, Smith, dan Ross (2003) menemukan bahwa 65% anak usia 2 tahun dan 94% anak usia 4 tahun berbohong setidaknya sekali.
Apa yang terjadi saat anak berbohong?
Menurut teori perkembangan, berbohong membutuhkan kemampuan berpikir yang canggih. Ketika anak berbohong, mereka tidak hanya harus membayangkan sesuatu yang tidak benar. Mereka juga harus mengantisipasi bagaimana orang lain akan menanggapi cerita, mengingat cerita yang dibuat, dan mengendalikan dorongan untuk mengungkapkan kebenaran.
Beberapa penelitian menemukan bahwa kemampuan berbohong berkorelasi positif dengan keterampilan kognitif, yaitu fungsi eksekutif. Fungsi eksekutif adalah serangkaian proses kognitif dan keterampilan mental yang membantu individu untuk merencanakan, memantau, dan melaksanakan tujuan (goals). Fungsi eksekutif berasal dari bagian otak yang disebut korteks prefrontal. Fungsi eksekutif meliputi kontrol perhatian, memori kerja, penghambatan (inhibitory control), dan pemecahan masalah. Inhibitory control (kontrol penghambatan) yang berfungsi untuk menekan respons guna menyelesaikan suatu tujuan juga dikaitkan dengan berbohong. Saat berbohong, individu harus menghambat kebenaran agar tidak terkatakan. Selain itu, working memory (memori kerja) yang berfungsi sebagai sistem untuk menyimpan dan memproses informasi untuk sementara juga dikaitkan dengan berbohong. Ketika seseorang berbohong, dia harus mengingat informasi mana yang benar dan mana yang merupakan kebohongan.
Kapan anak-anak mulai bisa berbohong?
Anak-anak mulai mampu berbohong bahkan saat mereka masih kecil. Anak-anak usia 42 bulan telah ditemukan berbohong dengan berbagai alasan pada setting laboratorium. Primary lies muncul sekitar usia 2-3 tahun ketika anak-anak mulai dengan sengaja membuat pernyataan yang tidak benar secara faktual, tanpa bisa mempertimbangkan mental states (kondisi mental) pendengar. Secondary lies muncul sekitar usia 4 tahun dimana anak-anak memahami bahwa pendengar tidak mengetahui keadaan sebenarnya sehingga pendengar bisa mempercayai pernyataan salah yang mereka buat. Sekitar usia 7-8 tahun, anak-anak mulai mencapai kebohongan tersier (tertiary lies) di mana mereka dapat menyembunyikan kebohongan mereka dengan menjaga konsistensi antara kebohongan awal mereka dan pernyataan lanjutan. Dengan demikian, semakin besar anak-anak, semakin baik mereka dalam berbohong. Oleh karena itu, kita sebagai orang tua perlu mengajari anak untuk tidak berbohong agar hal ini tidak menjadi kebiasaan bagi anak.
Bagaimana cara menyikapi anak yang berbohong dan mengajari agar mereka tidak terbiasa berbohong?
Pertama, kita sebagai orang tua atau orang dewasa perlu mencari tahu dan memahami alasan yang membuat anak-anak berbohong. Berikut ini adalah alasan umum mengapa anak-anak berbohong:
Kedua, setelah mencari tahu alasan anak berbohong, orang tua perlu bersepakat untuk menyikapi kebohongan anak sebagai suatu perilaku yang tidak dibenarkan. Meskipun kita memahami alasan mengapa anak berbohong, namun sebaiknya kita tidak mengabaikannya dan membiarkan anak menggunakan kebohongan sebagai jalan untuk mendapatkan keinginan atau menghindari suatu masalah.
Ketiga, bantu anak untuk memahami perbedaan antara fantasi (imajinasi) dan kenyataan. Ajari anak-anak untuk mengidentifikasi keinginan, khayalan atau fakta/kenyataan. Jika anak telah mengerti, namun masih melakukan kebohongan, sebaiknya Anda tidak memberikan pertanyaan tertutup apakah mereka berbohong atau tidak, misalnya “Kamu bohong lagi ya? (Anda mengetahui anak belum mengerjakan tugas, tapi dia berbohong dengan berkata sudah)”. Akan tetapi, Anda dapat bersikap bijak dengan mengubah pertanyaan, misalnya, “Kapan kamu mengerjakan tugas?”. Mengubah sikap Anda akan mendorong anak untuk mengatakan yang sebenarnya.
Keempat, kita bisa mengajak anak duduk bersama untuk berdiskusi mengenai nilai dan moral yang ingin dicapai dalam keluarga. Sampaikan pada mereka bahwa berbohong bertentangan dengan nilai dan moral yang dianut dalam keluarga. Ajak anak berpikir tentang konsekuensi dari berbohong, baik bagi mereka sendiri maupun bagi orang lain. Tunjukkan efek negatif berbohong terhadap relasi dengan orang dan harga diri. Jangan lupa untuk menyampaikan kepada anak tentang manfaat apa yang mereka dapatkan saat mereka mengatakan yang sebenarnya. Sampaikan pada anak bahwa Anda sangat menghargai ketika mereka jujur dalam situasi yang sulit. Berdiskusi tentang nilai dan moral keluarga serta harapan Anda terhadap anak akan membantu anak dalam membangun karakter sehingga mereka terdorong untuk mengambil tindakan untuk memperbaiki kesalahan (berbohong) dan berupaya menjaga nilai dan moral keluarga.
Hal kelima yang penting untuk diingat, ketika kita mengharapkan anak untuk menjunjung nilai dan moral keluarga, kita pun memberikan teladan dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua adalah model pertama dan utama yang paling kuat dalam perkembangan karakter anak sehingga kita perlu memberikan contoh nyata pada mereka. Ajarkan tentang kejujuran dengan menceritakan peristiwa dimana Anda pernah berkata jujur dalam kehidupan Anda. Diskusikan dengan anak tentang situasi sulit yang mungkin pernah Anda alami, namun Anda mampu mengatakan kebenaran. Membaca atau mendengarkan cerita yang mengajarkan kejujuran lewat buku, podcast, video atau permainan juga bisa menambah contoh konkrit tentang penerapan kejujuran dan kepercayaan.
Anda dapat mencoba melakukan tips di atas perlahan-lahan dan sesuaikan dengan situasi yang ada dalam keluarga Anda. Yakinlah bahwa anak sedang menjalani proses belajar untuk membangun dirinya dan mengenali dunia sehingga mereka punya banyak kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Begitu juga dengan kita yang tidak pernah sempurna. Kita juga berproses untuk terus belajar menjadi orang tua yang bisa menjadi teladan utama bagi anak-anak kita.
Referensi:
Puput Mariyati merupakan Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang kesehatan mental dewasa dan keluarga. Isu-isu psikologi yang ia gemari adalah depresi dan stress; parenting; perkembangan anak, khususnya anak berkebutuhan khusus (special needs); serta pendekatan terapi kognitif-perilaku dan psikologi positif. Bagi pemilik motto hidup “man jadda wajada” ini, mendalami dan berperan sebagai praktisi di bidang psikologi adalah salah satu jalan baginya untuk bisa menebar manfaat pada orang lain.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3358-21-2-1