“The fact is that child rearing is a long, hard job, the rewards are not always immediately obvious, the work is undervalued, and parents are just as human and almost as vulnerable as their children” Benjamin Spock
Momen menjadi orang tua bagi sebagian orang adalah sesuatu yang diidam-idamkan. Bersamaan dengan itu, ada harapan menjalani pengasuhan yang menyenangkan serta menjadi orang tua yang terbaik untuk anak. Pada kenyataannya, menjadi orang tua tidak selalu menyenangkan. Ada masa ketika beragam teori sudah dipelajari dan diterapkan, namun hasil yang diharapkan tidak juga terlihat. Ditambah tuntutan dari lingkungan mengenai bagaimana menjadi orang tua dan pengasuhan anak. Orang tua berkutat sendiri untuk memenuhi standar-standar yang ada, berusaha sebaik mungkin memenuhi kebutuhan anak sehingga terkadang melupakan kebutuhan dirinya sendiri, baik kebutuhan fisik maupun psikologis. Wajar saja jika sewaktu-waktu, orang tua merasa lelah menjalani perannya. Apabila kelelahan yang dihadapi tidak kunjung membaik karena orang tua tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengelola stres dan menghadapi kesulitan dalam menjalani perannya, hal tersebut dapat mengarah pada terjadinya parental burnout.
Apa itu parental burnout dan bagaimana hal itu bisa terjadi?
Orang tua yang mengalami parental burnout berada dalam kondisi dengan karakteristik, seperti kelelahan yang intens terkait dengan peran sebagai orang tua, adanya jarak emosional antara orang tua dengan anak dan munculnya perasaan ragu akan kemampuan diri sebagai orang tua. Orang tua merasa terkuras energinya dalam mengasuh anak, bahkan hanya dengan memikirkan kewajibannya sebagai orang tua sudah merasa kesulitan. Akibatnya, orang tua menjauh dari anak, keterlibatan orang tua dalam menjalin hubungan dengan anak semakin lama semakin berkurang, interaksi yang terjadi sebatas hubungan fungsional (memenuhi kebutuhan fisik anak, sekedar membelikan mainan namun tidak bermain bersama anak), sebagai ‘bayaran’ atas aspek emosional yang semakin berkurang dalam hubungan orang tua-anak.
Parental burnout terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara stres yang dihadapi orang tua dengan sumber daya yang dimiliki untuk mengatasi stres tersebut. Kondisi ini berlangsung dalam waktu yang lama. Biasanya, parental burnout terjadi secara bertahap. Tahap pertama, orang tua akan merasakan kelelahan yang luar biasa. Perasaan lelah yang dihadapi oleh orang tua berbeda-beda, tergantung pada usia anak. Sebagai contoh, orang tua dengan anak pra-sekolah merasa kelelahan secara fisik mengingat aktivitas fisik anak di usia tersebut cukup tinggi, serta dibutuhkan pengawasan yang ekstra dari orang tua. Orang tua dengan anak remaja mengalami kelelahan emosional karena sering terjadi perbedaan pendapat atau konflik dengan anak. Orang tua yang kelelahan akan mengalami stres kronis mengenai bagaimana caranya menyelesaikan semua kewajiban mereka. Hal ini berakibat pada gangguan tidur yang dapat memperparah kecemasan dan menjadikan diri mudah marah, kemudian hal ini menjadi lingkaran masalah yang berulang setiap hari.
Tahap kedua, orang tua akan menjaga jarak dari anak untuk menjaga agar energi mereka cukup (tidak kelelahan). Tahap ini kemudian diikuti oleh tahap ketiga, yakni orang tua menyadari bahwa mereka tidak lagi merasa bahagia dan puas dalam mengasuh anak. Jadi, orang tua mengakui bahwa mereka menyayangi anak mereka, tetapi disisi lain mereka tidak tahan lagi untuk berada bersama anak, bahkan tidak tahan menjadi orang tua.
Karakteristik orang tua yang rentan mengalami parental burnout
Dari penelitian-penelitian ditemukan karakteristik orang tua yang rentan mengalami parental burnout, yaitu:
Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi parental burnout?
Apabila Anda atau orang terdekat merasa memiliki karakteristik dari kondisi parental burnout yang telah dijelaskan sebelumnya, berikut adalah tips yang bisa membantu.
Ada sebuah pepatah mengatakan, “a problem shared is a problem halved”. Membicarakan masalah atau kesulitan yang dihadapi seringkali membuat beban yang dirasakan menjadi lebih ringan. Bersikap terbuka mengenai kesulitan yang dihadapi akan membukakan jalan untuk mendapat dukungan dari orang sekitar. Orang tua yang mengalami parental burnout seringkali merasa malu untuk mengakui kesulitan yang dialami sehingga menghalangi mereka untuk berdialog secara sehat dengan orang-orang yang suportif. Orang tua juga dapat mencari dukungan sosial melalui grup di dunia maya (whatsapp group, forum online, dan lainnya). Sebagai contoh: perkumpulan ibu-ibu yang memiliki anak yang seusia (biasanya berdasarkan tahun lahir anak) atau Komunitas Keluarga Kita (yang terakhir ini bahkan mengadakan pertemuan tatap muka maupun online untuk berbagi cerita seputar keluarga serta memperkaya ilmu pengasuhan orang tua). Hal ini agar orang tua merasa tidak sendirian dengan masalah yang dihadapi serta memiliki kelompok atau pihak yang dirasa aman dan nyaman untuk berbagi cerita. Orang tua dapat memilih kelompok yang mengedepankan sikap saling welas asih dan non-judgemental terhadap anggotanya.
Ketika merasa kelelahan, orang tua bisa mencoba mencari sudut pandang baru dari masalah yang sedang dihadapi. Misalnya, mencoba menemukan kesempatan untuk mengembangkan diri atau hal-hal yang bisa disyukuri dari kesulitan yang dihadapi. Menata ulang sudut pandang terhadap masalah membuat seseorang memandang kesulitan sebagai suatu tantangan, yakni sesuatu yang bisa dihadapi dan dilewati. Mencoba mencari sudut pandang baru yang lebih positif memang tidak serta merta menyelesaikan kesulitan yang dihadapi, namun demikian hal tersebut dapat menghadirkan rasa berdaya yang bisa digunakan untuk menghadapi masalah/stres.
Manusia cenderung melihat satu atau dua faktor besar yang menyebabkan stres, yang kondisinya sulit atau tidak bisa diubah. Sebagai contoh faktor pemicu stres yang sulit diubah di antaranya yaitu anak memiliki temperamen yang sulit dan pasangan sering dinas ke luar kota. Padahal, ada banyak faktor lain yang juga menyebabkan stres dan lebih memungkinkan untuk diubah. Sebagai contoh, agar tidak menambah kelelahan yang dirasakan, delegasikan beberapa pekerjaan rumah kepada pasangan, anak atau pihak lain seperti pembantu rumah tangga, jasa pembersihan rumah atau jasa cuci pakaian. Jika rutinitas harian anak yang memicu stres, orang tua bisa meminta bantuan orang terpercaya untuk menemani anak sewaktu-waktu atau menjadwalkan playdate bersama orang tua lain. Intinya adalah orang tua mencoba menyeimbangkan faktor pemicu stres yang bisa diubah dan bersikap lebih fleksibel.
Penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang perfeksionis yang memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap diri sendiri mengalami tingkat burnout yang tinggi. Hal itu disebabkan adanya harapan yang tidak realistis sehingga memicu stres yang lebih besar. Oleh karena itu, disarankan setiap kata “harus” yang muncul di benak orang tua diganti menjadi “akan lebih baik”. Sebagai contoh, umumnya orang tua mengatakan, “Aku harus lebih banyak menemani anak bermain” menjadi “Akan lebih baik jika aku lebih banyak menemani anak bermain”. Dengan mengganti kata “harus”, orang tua akan lebih mudah menghadapi kenyataan yang ada (misalnya dirasa kurang waktu menemani anak) dibandingkan dengan orang tua merasa harus melakukan sesuatu.
Istirahat bisa dilakukan kapan saja, tidak harus memakan waktu dan tidak harus pergi ke luar rumah. Misalnya, orang tua bisa menghabiskan waktu lima menit untuk mengambil nafas dalam dan mengeluarkan perlahan, menghabiskan waktu yang lebih lama untuk mandi atau duduk sejenak sambil minum teh hangat sebagai me-time. Intinya, temukan kesempatan untuk bisa rileks sejenak dari rutinitas ataupun mencari hal-hal yang menyenangkan yang bisa dilakukan sehari-hari.
Menambah pengetahuan mengenai pengasuhan bisa dilakukan orang tua dengan mengikuti seminar ataupun berkonsultasi langsung dengan tenaga ahli (konselor keluarga, psikolog). Hal ini dapat menambah keyakinan orang tua bahwa dirinya mampu mengurangi hal-hal yang memicu stres dalam pengasuhan sehingga menghindarkan diri dari perasaan kelelahan.
Perlu diingat, apabila kondisi kelelahan yang dirasakan sudah mengganggu aktivitas sehari-hari ataupun memicu pikiran untuk bunuh diri, segera datangi tenaga profesional (psikolog klinis atau psikiater) untuk mendapatkan bantuan.
Referensi
Abramson, A. (2021). The Impact of Parental Burnout: What psychological suggests about how to recognize and overcome it. American Psychological Association, 52(7), 36. Retrieved from https://www.apa.org/monitor/2021/10/cover-parental-burnout
Mikolajczak, M., Gross, J. J., & Roskam, I. (2019). Parental Burnout: What Is It, and Why Does It Matter? Clinical Psychological Science, 7(6), 1319–1329. https://doi.org/10.1177/2167702619858430
Mikolajczak, M., & Roskam, I. (2018). A Theoretical and Clinical Framework for Parental Burnout: The Balance Between Risks and Resources (BR2). Frontiers in psychology, 9, 886. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.00886
Roskam, I., Raes, M. E., & Mikolajczak, M. (2017). Exhausted Parents: Development and Preliminary Validation of the Parental Burnout Inventory. Frontiers in psychology, 8, 163. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.00163
Aisyah Ibadi merupakan seorang Psikolog Klinis dengan peminatan psikologi klinis anak.
Selain memiliki ketertarikan pada tumbuh kembang anak, ia juga tertarik dengan isu-isu kesehatan mental seperti kecemasan, parental burnout dan praktik mindfulness dalam kegiatan sehari-hari. Ia ingin ilmu psikologi yang dimiliki bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.
Alumni Sarjana Psikologi Universitas Indonesia
Alumni Magister Profesi Klinis Anak Univ. Indonesia
No. SIPP 0275-22-2-2
STR 112482123-4589179 (ED. 2028)