“On World Autism Awareness Day, we speak out against discrimination, celebrate the diversity of our global community and strengthen our commitment to inclusion for people with autism.” – Antonio Guterres, United Nations
Manajemen dan perawatan autisme di luar negeri, seperti di Amerika, Eropa dan Australia banyak menerima dukungan pemerintah dan praktisi yang terampil untuk membentuk sistem yang handal. Di Indonesia, manajemen dan perawatan autisme masih dalam tahap membangun dukungan. Tantangan yang dihadapi adalah terbatasnya akses terhadap: 1) layanan profesional seperti dokter anak, psikiater dan psikolog; 2) media dan informasi kesehatan, terutama kesehatan mental; dan 3) program manajemen dan perawatan yang andal, termasuk jaminan kesehatan, kesejahteraan sosial dan pendidikan bagi individu dengan autisme. Meskipun saat ini makin banyak anak atau individu dengan autisme yang dididik di kelas umum, namun pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap mereka masih perlu untuk ditingkatkan.
Pendidikan autisme diperlukan untuk meningkatkan kesadaran dan kepekaan dimana masyarakat bisa belajar tentang penerimaan dan kepekaan terhadap individu dengan autisme. Pendidikan autisme dapat diberikan di sekolah, masyarakat umum dan juga untuk kebutuhan keluarga dengan individu autisme. Penelitian menemukan bahwa memberikan pendidikan kepada teman sebaya (peer) dengan informasi yang akurat tentang autisme dan melibatkan orang tua dalam proses pendidikan dapat bermanfaat. Manfaatnya adalah siswa atau masyarakat bisa memahami autisme secara tepat sehingga pengakuan dan penerimaan terhadap mereka akan menjadi lebih baik. Lingkungan di sekitar individu berkebutuhan khusus pada umumnya dan autisme pada khususnya dapat terlibat aktif untuk berperan sebagai sumber dukungan bagi mereka, baik dalam interaksi sosial sehari-hari maupun dalam lingkup pendidikan.
Mendidik masyarakat tentang autisme akan menumbuhkan pemahaman yang lebih besar tentang karakteristik dan tantangan yang dihadapi oleh individu dengan autisme sehingga dapat mengarahkan pada lingkungan sosial dan pendidikan yang inklusif dan lebih welas asih. Pendidikan yang inklusif berarti bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk berinteraksi dan belajar bersama dengan teman sebaya (peer) di kelas reguler. Lingkungan yang inklusif dapat memberikan peluang bagi individu dengan autisme untuk meningkatkan interaksi sosial sehingga dapat mengembangkan keterampilan sosial mereka. Berinteraksi dengan teman sebaya memberi mereka kesempatan untuk berlatih keterampilan komunikasi, mengembangkan persahabatan, dan melihat bagaimana peer berperilaku dalam situasi sehari-hari. Peer juga dapat belajar penerimaan dan empati, bertindak sebagai panutan, dan menjadi lebih sadar akan kekuatan dan kelemahan individu dengan autisme.
Penelitian menemukan bahwa persepsi masyarakat terkait autisme akan berdampak pada bagaimana perawatan dan dukungan bagi individu dengan autisme dan keluarga mereka. Ketersediaan dukungan dipengaruhi oleh bagaimana autisme dipahami oleh masyarakat. Pemahaman budaya tentang autisme juga mempengaruhi bagaimana pengasuhan individu dengan autisme, apakah melalui mekanisme dukungan atau celaan orang tua, serta menentukan strategi apa yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan individu dengan autisme.
Mengenali Definisi dan Karakteristik Autisme
Istilah autisme pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner (1943) mendeskripsikan autisme sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan echolalia dan pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkunganya. Merujuk pada Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder (DSM) V, istilah autis dikenal dengan sebutan Autistic Spectrum Disorder (ASD). Autisme dikenal sebagai gangguan “spektrum” karena ada variasi yang luas dalam jenis dan tingkat keparahan gejala yang dialami. ASD muncul karena adanya kondisi yang berkaitan dengan perkembangan otak sehingga menyebabkan ketidakmampuan atau keterlambatan perkembangan pada interaksi sosial, komunikasi dan pola aktivitas dan minat yang terbatas.
Onset atau permulaan munculnya gangguan spektrum autisme umumnya terjadi pada usia 3 tahun. Ada peneliti lain yang berpendapat bahwa gejala ASD muncul dalam dua tahun pertama kehidupan. Untuk menegakkan diagnosa gangguan spektrum autisme dibutuhkan pemeriksaan yang menyeluruh dari dokter anak, dokter kejiwaan, terapis dan psikolog klinis, mulai dari pemeriksaan fisik, neurologis, perilaku, kemampuan komunikasi dan interaksi sosial, dan pemeriksaan penunjang jika diperlukan. Penyebab gangguan spektrum autisme sering dikaitkan dengan faktor genetis dan neurologis, namun para peneliti tidak mengetahui penyebab utama ASD. Penelitian menemukan bahwa faktor genetik dapat berpengaruh bersama dengan faktor lingkungan yang mengarahkan pada munculnya gejala ASD.
Mendidik Anak untuk Memahami dan Menerima Individu dengan Autisme
Pendidikan autisme dapat diperkenalkan pada anak atau siswa oleh guru atau orang tua. Ada berbagai cara untuk meningkatkan penerimaan sosial terhadap individu dengan autisme, seperti meminta bantuan teman sebaya untuk bertindak sebagai “teman” atau tutor bagi mereka. Misalnya dengan membantu siswa dengan autisme dalam interaksi sosial selama istirahat atau makan siang di sekolah, bermain bersama mereka, berkomunikasi dengan mereka dengan cara yang dapat diterima oleh mereka. Di bawah ini merupakan tips atau upaya yang bisa dilakukan guru atau orang tua untuk mengenalkan autisme pada anak dan mendorong penerimaan dan kepekaan terhadap individu dengan autisme:
Ajak peer untuk menuliskan pertanyaan apapun yang mungkin mereka miliki tentang autisme atau anak dengan autisme. Anda bisa berperan sebagai pemimpin diskusi untuk membahas pertanyaan-pertanyaan yang mereka miliki.
Mari kita mulai ajarkan anak-anak dan orang-orang di sekitar kita untuk memahami autisme dan individu dengan autisme dengan lebih baik. Karena dengan memahami, kita bisa menerima dan memberikan dukungan dan rasa hormat kepada mereka karena autisme seperti pelangi yang memiliki ragam warna yang indah dan sisi terang yang istimewa.
References
Puput Mariyati merupakan Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang kesehatan mental dewasa dan keluarga. Isu-isu psikologi yang ia gemari adalah depresi dan stress; parenting; perkembangan anak, khususnya anak berkebutuhan khusus (special needs); serta pendekatan terapi kognitif-perilaku dan psikologi positif. Bagi pemilik motto hidup “man jadda wajada” ini, mendalami dan berperan sebagai praktisi di bidang psikologi adalah salah satu jalan baginya untuk bisa menebar manfaat pada orang lain.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3358-21-2-1