Berbicara tentang seksualitas kepada anak tidak selalu buruk. Pendidikan seksualitas mencakup berbagai topik yang disesuaikan dengan usia dan tingkat perkembangan anak sehingga Sahabat Harapan bisa memberikannya sejak dini. Pendidikan seksual dapat membantu anak memahami bahwa tubuh dan seksualitas adalah bagian dari kesehatan mereka. Anak bisa datang kepada orang tuanya tanpa perlu merasa takut atau malu untuk mendapatkan informasi yang dapat dipercaya, jujur, dan terbuka ketika mereka memiliki pertanyaan atau rasa ingin tahu tentang seksualitas dan tubuh mereka.
Banyak mitos terkait dengan pendidikan seksual yang selama ini membuat kita ragu untuk memberikannya pada anak-anak. Pendidikan seksualitas dianggap hanya berfokus pada seks sehingga ini menjadi topik yang tabu untuk dibahas bersama anak-anak. Faktanya, dalam Standards for Sexuality Education di Eropa dijelaskan bahwa pendidikan seksualitas yang holistik adalah belajar tentang aspek fisik, kognitif, emosional, sosial, dan interaktif dari seksualitas. Pendidikan seksual bukan hanya tentang seks, anatomi, fisiologi biologis dan reproduksi seksual saja. Pendidikan seksual mencakup cara anak merasakan tentang tubuh yang sedang berkembang, identitas gender, citra tubuh dan memahami perasaan keintiman, ketertarikan, kasih sayang, serta mengembangkan hubungan yang saling menghormati dengan orang lain.
Pendidikan tentang seksualitas dasar berkaitan dengan banyak bidang, seperti toileting, sentuhan diri, play, pengaruh kehidupan keluarga, pengetahuan tentang diri sendiri, pengetahuan tentang kehidupan keluarga, keterlibatan orang tua dan kesesuaian usia. Pendidikan seksual juga membahas tentang identitas gender yang terkait dengan persepsi pribadi dan batin seseorang tentang menjadi laki-laki atau perempuan. Perkembangan seksualitas yang sehat tidak hanya terkait dengan dimensi biologis dan psikologis, namun juga dipengaruhi oleh etnis, ras, budaya, pribadi, agama, dan moral.
Pendidikan seksual bertujuan untuk mendukung dan melindungi perkembangan seksual serta memberdayakan anak dengan informasi, keterampilan dan nilai-nilai positif untuk memahami dan menghargai seksualitas, memiliki hubungan yang aman dan memuaskan, dan bertanggung jawab terhadap tubuh, kesehatan dan kesejahteraan diri sendiri dan orang lain. Perkembangan seksual dan identitas gender yang sehat juga berdampak pada kematangan psikologis, biologis, dan sosial anak. Memahami identitas dalam perkembangan masa kanak-kanak akan membantu anak untuk memahami siapa mereka. Pendidikan seksualitas dan sikap terbuka terhadap seksualitas akan melindungi anak dari kejahatan atau pelecehan. Ketika anak-anak belajar tentang kesetaraan dan rasa hormat dalam hubungan yang tercakup dalam pendidikan seksual, mereka dapat lebih mudah mengenali orang dan situasi yang kasar atau melecehkan.
Pendidikan seksual dapat dilakukan pada tahun-tahun awal kehidupan anak yang akan mendukung pengembangan identitas gender dan perkembangan seksual yang sehat. Pendidikan seksualitas tidak menghilangkan “kepolosan” dari anak-anak, namun memberi informasi kepada mereka tentang seksualitas yang akurat secara ilmiah, tidak menghakimi, sesuai dengan usia, dan menyeluruh. Pendidikan seksual dilakukan secara bertahap dan hati-hati dari awal sekolah formal (termasuk taman kanak-kanak dan pra-sekolah) hingga berkembang ke masa remaja dan dewasa. Beberapa peneliti menyarankan bahwa pendidikan seksual dilakukan di rumah sebelum usia 5 tahun. Sebagian yang lain berpendapat bahwa pendidikan seksual dapat dilakukan atau dipromosikan di setting pendidikan, masyarakat, rumah, dan layanan kesehatan.
Untuk menjalankan pendidikan seksual di rumah, orang tua atau pengasuh dapat berperan sebagai informan dan pendidik seksualitas untuk anak. Sayangnya, orang tua/pengasuh sering mengalami hambatan, seperti kurangnya pengetahuan, keterampilan komunikasi, atau kenyamanan yang mungkin menghalangi orang tua atau pengasuh untuk menjalankan peran tersebut. Banyak orang tua merasa tidak nyaman atau tidak siap untuk menangani pendidikan seksualitas kepada anak mereka dan memilih untuk menyerahkan peran ini kepada pihak sekolah. Oleh karena itu, penulis ingin berbagi tips kepada Sahabat Harapan yang ingin melakukan pendidikan seksual kepada anak sejak dini di rumah.
Untuk memberikan pendidikan seksual kepada anak, orang tua/pengasuh perlu memperhatikan usia anak dan perkembangannya, baik fisik, kognitif, emosional, maupun sosial. Tujuannya agar anak dapat menyerap informasi dan memahami topik-topik dalam pendidikan seksual sesuai dengan perkembangan dan usia mereka.
Buat suasana lebih santai dan nyaman agar Anda dan anak Anda bisa berbicara atau bertanya dengan leluasa tanpa merasa malu atau takut didengar orang lain
Memasuki usia 4-6 tahun, anak mulai mengeksplorasi tubuh sendiri, perilaku imitasi, dan memiliki penyebutan sendiri tentang organ vital. Mengajarkan anak untuk memahami bagian-bagian tubuh dengan terminologi (istilah) yang tepat akan membantu mereka memiliki pemahaman tentang seksualitas secara tepat berdasarkan pada fakta ilmiah. Misalnya tidak menyebutkan “burung” untuk mengajarkan anak laki-laki tentang alat kelaminnya.
Membersihkan tubuh dan alat kelamin dengan cara yang benar setelah anak buang air besar/kecil atau saat mandi akan membantu anak lebih mandiri dalam kegiatan toileting sehingga anak tidak membutuhkan bantuan dari orang lain. Jelaskan pada anak siapa saja yang boleh membantunya dalam kegiatan toileting ketika anak tidak bisa melakukannya sendiri.
Ini adalah sentuhan yang membuat anak tetap aman dan baik untuk mereka, misalnya pelukan, usapan di kepala, tepukan di punggung, lengan atau sekitar bahu, sentuhan untuk pengobatan atau perawatan kebersihan.
Ini adalah sentuhan yang menyakiti tubuh atau perasaan anak, misalnya, memukul, mendorong, mencubit, menendang, dan menyentuh bagian tubuh pribadi yang tertutup pakaian atau alat vital (privat body part).
Memahami dan menjaga ruang pribadi dapat membantu anak untuk tetap aman saat berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa. Ajarkan anak untuk menemukan ruang pribadi mereka, apakah selebar jarak hula hoop, satu lengan, 2-3 jengkal kaki, dan sebagainya.
Pendidikan seksualitas dapat diajarkan kepada anak melalui 3 domain pembelajaran: kognitif (informasi), afektif (perasaan, nilai, dan sikap), dan perilaku (komunikasi, pengambilan keputusan, dan keterampilan lainnya). Keterampilan komunikasi dan pemecahan masalah merupakan domain perilaku yang juga menjadi bagian dari materi dalam pendidikan seksual. Anak perlu dilatih agar anak mampu menyampaikan perasaan atau pikirannya di situasi tertentu dimana anak mendapatkan “sentuhan tidak aman”. Orang tua bisa menggunakan alat bantu atau peraga untuk bermain peran (role play) dengan anak. Anak dapat diajarkan untuk:
Jika Sahabat Harapan memiliki kesulitan untuk membahas tentang pendidikan seksual dengan anak, Sahabat dapat berkonsultasi dengan guru di sekolah atau profesional kesehatan, misalnya dokter, perawat dan psikolog. Mereka akan membantu Anda untuk merancang kurikulum pendidikan seksual yang sesuai dengan usia dan perkembangan anak Anda dan melatih Anda untuk bisa mengajarkannya kepada anak Anda.
References
American Academy of Pediatrics. (2007). Promoting healthy sexual development and sexuality. Bright Futures: guidelines for health supervision of infants, children, and adolescents. Elk Grove, IL: American Academy of Pediatrics.
Balter, A. S., van Rhijn, T. M., & Davies, A. W. (2016). The development of sexuality in childhood in early learning settings: An exploration of early childhood educators’ perceptions. The Canadian Journal of Human Sexuality, 25(1), 30-40.
Breuner, C. C., Mattson, G., Adelman, W. P., Alderman, E. M., Garofalo, R., Marcell, A. V., … & COMMITTEE ON PSYCHOSOCIAL ASPECTS OF CHILD AND FAMILY HEALTH. (2016). Sexuality education for children and adolescents. Pediatrics, 138(2).
Kakavoulis, A. (1998). Early childhood sexual development and sex education: A survey of attitudes of nursery school teachers. European Early Childhood Education Research Journal, 6(2), 55-70. doi:10.1080/13502939885208241
Menmu1r, J., & Kakavoulis, A. (1999). Sexual development and education in early years: A study of attitudes of pre-school staff in Greece and Scotland. GECD Early Child Development and Care Early Child Development & Care, 149(1), 27-45. doi:10.1080/0300443991490103
Sugiasih, I. (2011). Need assessment mengenai pemberian pendidikan seksual yang dilakukan ibu untuk anak usia 3–5 tahun. Jurnal Psikologi Proyeksi, 6(1), 71-81.
UNESCO. (2009). International Technical Guidance on Sexuality Education – an evidence-informed approach for schools, teachers and health educators. Paris
WHO Regional Office for Europe and BZgA. (2010). Standards for Sexuality Education in Europe: A framework for policy makers, education and health authorities and specialists. Cologne, BZgA
Puput Mariyati merupakan Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang kesehatan mental dewasa dan keluarga. Isu-isu psikologi yang ia gemari adalah depresi dan stress; parenting; perkembangan anak, khususnya anak berkebutuhan khusus (special needs); serta pendekatan terapi kognitif-perilaku dan psikologi positif. Bagi pemilik motto hidup “man jadda wajada” ini, mendalami dan berperan sebagai praktisi di bidang psikologi adalah salah satu jalan baginya untuk bisa menebar manfaat pada orang lain.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3358-21-2-1