“Underconfidence breeds underachievement” – Lou Holtz
Pernahkah Sahabat Harapan melihat situasi dimana seorang anak yang cerdas dan memiliki IQ yang tinggi mengalami kesulitan untuk memenuhi standar nilai dan tugas-tugas di sekolah, atau situasi dimana seorang guru sering mengeluhkan bahwa sebenarnya anak tersebut pintar tapi malas belajar dan tidak mau mengikuti proses belajar di sekolah dengan baik? Kondisi ini sering kita kenal dengan istilah underachievement, sedangkan anak yang mengalaminya disebut sebagai underachiever.
Sayangnya, kondisi underachievement pada anak seringkali dianggap bukan hal yang serius oleh orang dewasa. Banyak orang dewasa yang hanya mengandalkan potensi anak yang cerdas (misalnya dari hasil tes intelegensi atau IQ), dengan harapan bahwa kecerdasan yang dimiliki pasti akan mengarahkan anak pada keberhasilan maupun pencapaian prestasi yang optimal. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa IQ seseorang tidak selalu berkaitan dengan pencapaian prestasi dan kesuksesan. Penelitian bahkan menyebutkan bahwa anak yang masuk kategori berbakat atau gifted (berdasarkan hasil pengukuran tes terstandarisasi) memiliki beberapa permasalahan pencapaian prestasi di sekolah apabila tidak mendapatkan strategi dan motivasi belajar yang tepat.
Secara umum underachievement didefinisikan sebagai adanya kesenjangan antara prestasi/potensi yang diharapkan/dimiliki (biasanya diukur dengan tes yang terstandarisasi, misalnya tes IQ) dengan prestasi yang sesungguhnya (dilihat dari nilai, catatan prestasi, dan penilaian guru di sekolah). Underachievement juga didefinisikan sebagai kesenjangan akut antara potensi prestasi (expected achievement) dan prestasi yang diraih (actual achievement). Singkatnya, underachievement adalah kondisi dimana potensi kecerdasan anak tidak sejalan dengan prestasi/pencapaian nilai akademik.
Seseorang yang memiliki kesenjangan di atas biasanya disebut sebagai underachiever atau gifted underachiever. Anak disebut sebagai underachiever biasanya memiliki kriteria IQ rata-rata atau di atas rata-rata, sedangkan anak dengan kategori IQ superior/very superior/gifted dikategorikan sebagai gifted underachiever. Klasifikasi underachiever ini bisa ditegakkan apabila kesenjangan potensi anak memang tidak disebabkan karena adanya diagnosa permasalahan / gangguan belajar (learning disability), melainkan disebabkan karena faktor emosi dan motivasi, serta strategi atau perilaku belajar.
Fenomena underachievement memiliki prevalensi kejadian yang cukup tinggi, yaitu 15-50% dan lebih banyak dialami oleh anak laki-laki. Meski demikian, anak perempuan juga memiliki potensi yang sama untuk mengalaminya dan dengan konflik internal dan sosial yang lebih dalam.
Penelitian yang dilakukan Dewi dan Trisnawati (2017), merangkum karakteristik anak underachiever sebagai berikut, yaitu:
Anak biasanya menutupi ini dengan mengembangkan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism), seperti bertindak agresif ataupun membuat keributan/lelucon di kelas. Anda dapat membaca lebih banyak mengenai self esteem pada artikel berikut https://lembarharapan.id/artikel/self-esteem-self-worth/
Misalnya, sering mengatakan bahwa pelajaran di sekolah tidak relevan atau tidak penting karena itu mereka biasanya lebih tertarik kegiatan selain kegiatan sekolah.
Kurang keahlian dalam tugas-tugas sekolah, kebiasaan belajar yang buruk, memiliki masalah penerimaan oleh teman sebaya, konsentrasi yang buruk dalam aktivitas sekolah, tidak bisa mengatur diri baik di rumah maupun di sekolah, mudah bosan, “meninggalkan” kegiatan kelas, memiliki kemampuan berbahasa oral yang baik, tapi buruk dalam menulis, mudah terdistraksi dan tidak sabaran, sibuk dengan pikirannya sendiri, kurang jujur, sering mengkritik diri sendiri, suka bercanda di kelas (membuat keributan), ramah terhadap orang yang lebih tua, dan berperilaku yang tidak biasa.
Penelitian yang dilakukan Dewi dan Trisnawati (2017), merangkum faktor-faktor penyebab seseorang menjadi underachiever, yaitu:
Metode pengajaran, materi, ukuran keberhasilan dan kemampuan guru dapat menjadi penyebab anak mengalami underachievement. Selain materi pelajaran yang tidak sesuai kondisi anak, suasana kelas juga dapat berperan memyebabkan anak mengalami underachievement. Bagaimana guru menciptakan suasana kelas menjadi suasana belajar yang menyenangkan sangat berpengaruh terhadap minat anak untuk belajar.
Reis dan McCoach (2014) dalam penelitiannya membahas mengenai pengaruh kawan sebaya terhadap pencapaian prestasi anak di sekolah. Peers memiliki hubungan yang kuat untuk mempengaruhi perilaku anak/remaja sehingga lingkungan teman yang positif dalam bidang akademik akan membantu anak untuk memiliki pencapaian prestasi yang lebih tinggi. Data penelitian menunjukkan bahwa siswa yang bergaul dengan dengan teman yang peduli dengan kegiatan akademik memiliki hasil pencapaian akademik yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang tidak memiliki teman demikian.
Intervensi konseling berkonsentrasi pada pembentukan dinamika keluarga yang menjadi salah satu faktor dalam kondisi underachievement anak. Konseling dapat berbentuk konseling individu, kelompok/grup, dan konseling keluarga. Tujuan utama dalam konselini bukanlah untuk meningkatkan pencapaian anak di sekolah saja, melainkan membantu anak untuk menemukan makna kesuksesan/keberhasilan, kemudian strategi yang tepat bagi anak agar kembali memiliki kebiasaan dan proses berpikir yang lebih adaptif.
Memberikan apresiasi positif kepada anak, tidak hanya ketika anak berhasil, tetapi juga ketika anak berusaha untuk melewati proses belajar maupun kegiatannya. Memberikan pelukan, pujian dan mendengarkan anak dengan aktif menjadi salah satu dukungan yang dibutuhkan oleh anak. Selain dukungan dari orang tua, libatkan anak pada aktivitas-aktivitas sosial yang positif sehingga anak dapat menjalin relasi sosial lebih banyak dengan kawan sebayanya.
Anak dengan kecerdasan yang baik, cukup mampu untuk diberikan informasi atau penjelasan untuk mengatur strategi belajar. Diskusikan bersama anak tentang cara belajar seperti apa yang membuatnya lebih nyaman. Diskusikan juga bagaimana membantu anak mengatasi kebosanan maupun ketidaknyamanan ketika belajar.
Anak underachiever seringkali melakukan aktivitas lain yang lebih menantang dibandingkan menghabiskan waktu untuk belajar monoton di sekolah. Fasilitasi aktivitas anak dan bantu mereka untuk memilah aktivitas yang dapat mereka ikuti tanpa mengganggu jadwal belajar dan jadwal sekolah.
Lakukan konsultasi dengan profesional seperti psikolog pendidikan untuk mengetahui potensi anak, minat dan bakat anak. Melakukan pemeriksaan dan konsultasi psikologis diharapkan membantu anak untuk lebih memahami apa yang menjadi kendala mereka saat ini dan apa yang mereka butuhkan untuk dapat berprestasi dengan lebih optimal.
Referensi:
Dewi, R. S., & Trisnawati, M. (2017). Identifikasi anak underachievement: Underachiever dan Gifted Underachiever. Early Childhood: Jurnal Pendidikan, 1(2), 19-27.
Dowdall, C. B., & Colangelo, N. (1982). Underachieving gifted students: Review and implications. Gifted Child Quarterly, 26(4), 179-184.
Reis, S. M., & McCoach, D. B. (2000). The underachievement of gifted students: What do we know and where do we go?. Gifted child quarterly, 44(3), 152-170.
Merupakan seorang Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang perkembangan anak usia dini dan anak berkebutuhan khusus serta mengkaji kesejahteraan psikologis individu dalam lingkup karir dan kesehatan.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Udayana, Bali
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3356-21-2-1