Anak mengalami berbagai fase kehidupan. Mulai dari fase pre-natal, bayi, fase kanak-kanak, remaja hingga dewasa. Pada fase kehidupan ini, anak berhadapan dengan banyak tantangan dan pengalaman hidup. Sejak di dalam kandungan, anak sudah berjuang untuk bertahan hidup, ketika fase bayi anak juga berusaha untuk menggerakkan beragam ototnya agar bisa merangkak. Apakah kita menyadari bahwa perjuangan anak ini tidak terjadi secara instan? Pada saat mereka harus merangkak, seringkali mereka gagal mempertahankan postur mereka. Mereka menangis dan merasa tidak nyaman. Akan terapi, mereka terus mencoba sampai akhirnya menemukan sendiri posisi dan strategi yang tepat dari tengkurap hingga mulai merangkak. Ketika mereka mencoba berdiri untuk berjalan, anak akan terjatuh berkali kali, kadang anak sedikit terluka karena berbenturan dengan lantai. Tapi pada akhirnya otot kaki anak menjadi kuat sehingga perlahan-lahan anak mulai merasakan keseimbangan tubuhnya dan berhasil berjalan.
Seiring bertambahnya usia, seringkali orang tua hanya berfokus pada pencapaian anak. Tanpa disadari kita mendidik anak kita untuk menghindari sebuah kegagalan. Padahal belajar mentoleransi sebuah kegagalan adalah bekal yang perlu anak miliki untuk bisa menghadapi tantangan kehidupan atau bahkan kegagalan sesungguhnya di masa depan. Tidak mampu mentoleransi kegagalan membuat anak rentan mengalami kecemasan. Selain itu, anak juga akan takut untuk mencoba hal-hal baru karena takut mendapatkan hasil yang buruk. Apabila ini terus berlangsung, tentunya kemampuan penyelesaian masalah atau problem solving skills anak juga akan mengalami permasalahan di usia dewasa. Ketika dihadapkan pada tantangan hidup orang dewasa yang kompleks, anak yang tidak memiliki bekal untuk mentoleransi kegagalan akan mudah untuk putus asa atau merespon situasi dengan respon yang tidak efektif.
Lalu bagaimana sebaiknya orang tua mengajarkan anak mengenai makna kegagalan? Berikut adalah beberapa tahap yang dapat dilakukan:
Berempati dengan anak Anda, tunjukkan bahwa Anda memahami dan melihat bahwa dia sedang dalam kesusahan. Jangan hanya sekedar mengatakan, “Tidak apa-apa, lain kali kamu pasti bisa”. Hal ini seakan-akan membuat anak agar segera menyingkirkan perasaan negatifnya, padahal perasaan negatif dan frustrasi tersebut penting dirasakan oleh anak sebagai pengalaman. Orang tua perlu mengubah bahasa mereka menjadi “Ayah paham bahwa kamu pasti sangat kecewa, Ayah juga tahu bahwa kamu benar-benar ingin melakukan yang lebih baik dari yang sudah kamu tunjukkan”. Dengan empati, anak akan merasa bahwa orang tua memahami perasaannya, bahwa perasaannya saat ini adalah hal yang akan terjadi jika mengalami kegagalan. Membiasakan anak merasakan emosinya juga akan membuat anak belajar bagaimana mengubah perasaan negatifnya menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Anda dapat menjelaskan bahwa kegagalan adalah bagian dari kehidupan dan terjadi pada semua orang, bahkan Anda. Anda dapat membagikan contoh “kegagalan” yang Anda alami. Namun jangan membandingkan bahwa pengalaman Anda lebih buruk dibandingkan pengalaman anak Anda. Daripada membandingkan pengalaman kegagalan, lebih baik Anda membagikan pengalaman bahwa Anda juga pernah “merasakan perasaan” yang sama seperti yang anak Anda rasakan saat ini. Misalnya “Mama mengerti perasaan sedih adik membuat adik gak nyaman. Mama juga pernah merasakan perasaan sedih itu, ketika mama gagal mendapat promosi kerja di kantor”. Kemudian Anda dapat menceritakan apa hikmah atau kesempatan apa yang akhirnya muncul setelah Anda mengalami kegagalan tersebut. Hal ini penting menjadi pengetahuan bagi anak, bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana dan semua orang pernah mengalami kegagalan.
Kegagalan seorang anak adalah kesempatan bagi orang tua untuk mengajarkan penerimaan dan keterampilan problem solving (menyelesaikan masalah). Anda dan anak Anda dapat mencoba memikirkan apa yang bisa dia lakukan di lain waktu untuk peluang sukses yang lebih baik. Misalnya, bisakah dia mencoba belajar dengan cara yang berbeda atau berbicara dengan guru tentang masalah yang dia rasakan sebelum ujian. Bangun diskusi yang hangat dengan anak dan tidak menggurui. Membantu anak menemukan cara yang lebih efektif untuk melakukan suatu hal dengan lebih baik tidak harus dilaksanakan secara terburu-buru. Anda dapat memberikan waktu kepada anak untuk menenangkan perasaannya dan diskusikan kembali esok hari.
Pada saat yang sama, anak-anak perlu tahu bahwa terkadang ketika kita gagal atau menghadapi kekecewaan, tidak banyak yang bisa kita lakukan. Kita perlu belajar menerimanya sebagai bagian dari hidup dan terus melangkah maju. Jika belum ada momen yang tepat untuk melakukan ini, Anda dapat memberikan gambaran kejadian. Cobalah berdiskusi dengan anak untuk membayangkan apabila dia mengalami suatu permasalahan seperti gagal dalam sebuah lomba atau mengalami permusuhan di kalangan kawan sebayanya. Apa yang dirinya rasakan? Ketika anak merasa frustrasi akan permusuhan dengan teman, apa yang dapat dia lakukan?
Mungkin sangat sulit untuk melihat anak Anda gagal, tetapi dia hanya bisa belajar bagaimana menangani kekecewaan melalui proses trial and error. Jika anda tidak membiarkan anak untuk merasakan pengalaman ini, maka orang tua sama saja merampas kesempatan anak-anak untuk belajar pemecahan masalah, ketahanan mental dan kepercayaan diri untuk menghadapi tantangan dalam sebuah kehidupan.
Apabila anak sudah dalam kondisi yang sangat cemas dengan sebuah tantangan dan kegagalan, anak sangat takut untuk mencoba suatu kegiatan di sekolahnya, maka sebaiknya kunjungilah profesional. Bekerjasama dengan profesional dan turut terlibat aktif sebagai orang tua dalam proses terapi akan sangat membantu perkembangan anak menjadi lebih optimal.
Referensi:
Arky, B. (n.d.). How to Help Kids Learn to Fail Child Mind Institute. https://childmind.org/article/how-to-help-kids-learn-to-fail/
Merupakan seorang Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang perkembangan anak usia dini dan anak berkebutuhan khusus serta mengkaji kesejahteraan psikologis individu dalam lingkup karir dan kesehatan.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Udayana, Bali
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3356-21-2-1