Kekerasan pada anak (child abuse) adalah perbuatan orang dewasa yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan fisik maupun psikis pada anak dibawah umur. Jenis-jenis kekerasan pada anak antara lain: kekerasan fisik (physical abuse); kekerasan emosional (emotional abuse); kekerasan seksual (sexual abuse); penelantaran (neglect). Dari keempat jenis kekerasan tersebut, kekerasan yang lebih sering terkuak adalah kekerasan fisik, dimana kekerasan ini meninggalkan bukti fisik seperti luka-luka dan kondisi cedera lainnya. Kekerasan fisik juga lebih mudah diproses secara hukum karena sering adanya saksi mata yang melihat kejadian kekerasan. Lalu bagaimana dengan kekerasan emosional pada anak?
Kekerasan emosional pada anak sulit dijangkau karena sulit terdeteksi dan tidak adanya bukti fisik pada anak. Hal ini membuat kekerasan emosional menjadi sulit dicegah karena orang dewasa maupun anak tidak menyadari melakukan dan menerima kekerasan tersebut. Pada satu sisi orang dewasa merasa memiliki kekuasaan untuk mengintimidasi anak secara emosional, sedangkan anak merasa pantas menerima perilaku tersebut karena norma-norma kepatuhan anak terhadap orang tua.
Kekerasan emosional pada anak adalah perilaku bermusuhan atau acuh tak acuh yang merusak harga diri, menurunkan rasa pencapaian, mengurangi rasa memiliki, mencegah perkembangan yang sehat, dan menghilangkan kesejahteraan pada anak.
Mendefinisikan anak sebagai kegagalan, menolak untuk menunjukkan kasih sayang kepada anak, dan menolak untuk mengakui prestasi anak. Dengan kata lain, orang dewasa pada perilaku ini menolak untuk mengakui nilai-nilai positif dalam diri anak.
Orang dewasa menghalangi anak dari pengalaman sosial yang normal dengan lingkungannya. Contohnya: mencegah anak membentuk persahabatan, mengunci anak di kamar, ruang bawah tanah, atau loteng. Perilaku isolating membuat anak percaya bahwa dia sendirian atau kesepian di dunia ini.
Orang dewasa secara verbal menyerang anak, menakut-nakuti anak, menciptakan iklim ketakutan, menggertak dan menakuti anak. Perilaku terrorizing membuat anak percaya bahwa dunia adalah sebuah tempat yang mengerikan dan tidak aman. Selain itu, seringnya anak menyaksikan kekerasan / pertengkaran orang tua secara terus menerus menjadi salah satu bentuk terrorizing.
Orang dewasa tidak memberikan stimulasi, kebutuhan dan respon yang penting untuk mendukung proses perkembangan anak. Misalnya tidak memanggil nama anak, tidak memberikan anak perawatan kesehatan dan pendidikan. Anak tidak diberikan fasilitas sesuai kebutuhannya.
Orang dewasa mendorong dan menginstruksikan anak dalam kegiatan antisosial atau kegiatan kenakalan remaja, mengajar anak perilaku eksploitatif seksual, dan mengajar anak bahwa “buruk itu baik dan baik itu buruk.”
Orang dewasa melecehkan anak dengan nama julukan, ancaman keras, dan komentar sarkastik yang terus-menerus “menghancurkan” harga diri anak dengan penghinaan, atau mengatakan kepada anak bahwa dia tidak berharga dan perkataan yang menyakiti lainnya.
Harapan yang terlalu tinggi terhadap anak, kritik dan hukuman terhadap perilaku yang tidak sesuai usia. Perbandingan dan harapan orang dewasa seringkali tidak sesuai dengan kemampuan anak sehingga mereka memaksakan anak mereka agar lebih baik dari anak lain. Hal ini membuat anak selalu merasa “kurang”, “gagal” dan “tidak pernah cukup baik”.
Kekerasan emosional pada anak seringkali baru dapat dideteksi seiring bertambahnya usia. Alhasil banyak anak yang baru diketahui mengalami kekerasan emosional ketika sudah beranjak dewasa. Beberapa dampak yang ditimbulkan antara lain sebagai berikut:
Berdasarkan penelitian, orang dewasa yang memiliki latar belakang pendidikan dan sosial-ekonomi yang cenderung rendah lebih berpotensi melakukan kekerasan kepada anak. Selain itu, individu yang pernah menjadi korban kekerasan cenderung akan menjadi pelaku kekerasan selanjutnya. Hal ini terjadi karena individu tersebut sudah mendapatkan dampak dari kekerasan yang dirinya alami seperti penurunan executive function. Penurunan executive function ini menyebabkan individu mengalami kesulitan untuk berpikir ketika dihadapkan pada suatu permasalahan. Mereka cenderung mengekspresikan emosi mereka layaknya orang tua mereka sebelumnya, dikarenakan tidak memiliki referensi atau keterbatasan berpikir mencari cara lain untuk mengekspresikan emosi. Hal ini seringkali membuat individu menjadi gegabah dan memunculkan perilaku impulsif seperti memukul, memaki atau bahkan membunuh anak atau orang yang dihadapinya. Maka dari itu, seringkali para korban kekerasan pada akhirnya menjadi pelaku kekerasan pada generasi selanjutnya, sehingga menjadi siklus kekerasan yang tidak berkesudahan.
Upaya pencegahan kekerasan emosional membutuhkan integrasi dari berbagai pihak seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, kesehatan, pendidikan, keluarga dan individual. Berikut merupakan penanganan terdekat yang dapat dijangkau yaitu dari golongan keluarga dan diri sendiri (individu):
Sangat penting bagi individu untuk “menyadari” apakah pernah menjadi korban kekerasan emosional untuk memutus siklus kekerasan. Apabila Anda merasa mendapatkan perlakuan dari orangtua pada masa kecil yang mengarah pada kekerasan emosional secara terus menerus, maka Anda sangat disarankan untuk melakukan konseling ke profesional untuk mengetahui bagaimana dampak kekerasan tersebut terhadap perilaku dan diri Anda saat ini. Keputusan Anda untuk memutus siklus kekerasan tidak hanya berdampak pada anak atau generasi Anda selanjutnya, melainkan menciptakan kesejahteraan psikologis, pemenuhan cinta dan kasih bagi diri Anda sendiri.
Executive function: kemampuan individu untuk memulai inisiatif, beradaptasi, mengatur, memantau, dan mengendalikan proses informasi dan perilaku,
Working memory: sebuah kemampuan kognitif kompleks terbatas dalam menyimpan sementara dan memanipulasi informasi untuk belajar, berpikir, memberi perhatian, berhitung, mengingat, memaknai bacaan, dan memecahkan masalah.
Referensi:
Andayani, T. R., & Walgito, B. (2002). Perlakuan salah terhadap anak (Child abuse) ditinjau dari nilai anak dan tingkat pendidikan orang tua. SOSIOHUMANIKA, 15(3).
Hamarman, S., & Bernet, W. (2000). Evaluating and reporting emotional abuse in children: Parent-based, action-based focus aids in clinical decision-making. Journal American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 39(7), 928-930.
Hermahayu, H., & Wimbarti, S. Perkembangan executive functions pada anak pra sekolah di kota Magelang. Edukasi: Jurnal Penelitian dan Artikel Pendidikan, 9(2).
Howe, D. (2005). Child abuse and neglect: Attachment, development and intervention. New York: Palgrave Macmillan.
Jimenez, A. (2019). The effects of emotional abuse and neglect in adulthood. North Texas Journal of Undergraduate Research, 1(1).
Nelms, B. C. (2001). Emotional abuse: helping prevent the problem. Journal of Pediatric Health Care, 15(3), 103-104.
Putra, A. S., Tiatri, S., & Sutikno, N. (2017). Peningkatan Kapasitas Working Memory melalui Permainan Congklak pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Psikologi, 44(1), 18-27.
Ririen, A., & Hadiyanto. (2020). Peran Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Penanganan Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) pada Masa Pandemi COVID-19. e-Tech: Jurnal Ilmiah Teknologi Pendidikan, 8(2).
Merupakan seorang Psikolog Klinis yang memiliki peminatan pada bidang perkembangan anak usia dini dan anak berkebutuhan khusus serta mengkaji kesejahteraan psikologis individu dalam lingkup karir dan kesehatan.
Alumni Sarjana Psikologi, Universitas Udayana, Bali
Alumni Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas Airlangga, Surabaya
No. SIPP (Surat Ijin Praktek Psikologi): 3356-21-2-1